Perbincangan tersendatnya pembangunan jalan tol di Sumatera Barat yang menghubungkan Padang-Pekanbaru terus bergulir. Banyak alasan yang menjadi magnet membicarakan tol ini, beberapa di antaranya adalah mengingat besarnya dana yang masuk ke Sumbar. Tak kurang dari Rp78 triliun dibutuhkan untuk menyediakan jalan tol ini. Setara sembilan hingga sepuluh kali lipat lebih banyak dari APBD Provinsi Sumbar per tahun. Andai saja pembangunannya berjalan relatif lancar dan meski masih dalam tahap pembangunan, biasanya arus dana masuk sebesar itu dapat memberi dampak baik bagi ekonomi daerah.
Alasan lain adalah kegelisahan sebagian warga yang “mengutuk” wajah suram pembangunan Sumbar. Bayangkan saja dari delapan provinsi yang dilintasi proyek strategis nasional Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), Sumbar menjadi satu-satunya provinsi yang progresnya “yaa gitu dech, baru empat kilo meter lebih dikit”. Berbanding terbalik dengan tetangga-tetangganya yang kemajuannya sangat pesat.
Bentuk diskusi juga beragam. Ada yang cuma menjadikannya obrolan santai atau “ota lapau” sambil minum kopi bersama kerabat. Sebagian lain yang lebih serius memilih jalan melakukan seminar/webinar dan juga bertukar gagasan dalam bentuk kolom opini di media-media pemberitaan. Makanya tak heran jika dalam kurun waktu seminggu lahir lima tulisan dari tiga orang dengan dua kutub pendapat berbeda di media langgam.id.
Pemantik diskusi yang ramai belakangan ini berasal dari cuitan Miko Kamal, seorang yang memiliki jam terbang tinggi sebagai aktivis antikorupsi, berprofesi sebagai pengacara, dan sekarang sedang menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Percepatan Pembanguna Sumbar Madani (TPPSM). Cuitan awalnya mengatakan, ”Proyek tol cara negara melepaskan tanggung jawab. Itu bukan kata saya, tapi perintah konstitusi: "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak" (Psl 34 ayat (3) UUD 1945). Yg biasa berpikir pasti paham ini”. Memperjelas cuitannya tersebut dia menyebutkan negara harus membangun (jalan lintas) yang layak sekelas tol untuk rakyat. Setelah itu, kalau mau bangun tol, silahkan. Dalam pandangannya itulah pesan dari Pasal 34 (3) UUD 1945.
Sedangkan untuk standar kelayakan jalan lintas sendiri dia memberi contoh seperti highway (jalan bebas hambatan tanpa bayar) yang pernah dilaluinya dari Sidney ke Canberra. Menurutnya jalan lintas seperti pengalamannya tersebut yang mesti dihadirkan negara di seluruh negeri ini. Bukan jalan lintas seperti Padang-Pekanbaru yang berjarak lebih kurang 312 km dengan waktu tempuh enam hingga tujuh jam. Lebih jauh dan menegaskan pendapat awalnya, menurutnya hampir semua jalan lintas tidak ada yang layak, dan itu kesalahan negara yang tidak menjalankan amanah UUD 1945. Pendapat-pendapatnya ini kemudian dikembangkan dalam bentuk tulisan dan mendapat tanggapan dari dua orang kolega, Benni Innayatullah dan Boby Lukman Piliang.
Menarik untuk menguji pendapat-pendapat yang dikemukakan Miko tersebut, terlebih mengingat statusnya sebagai Wakil Ketua TPSM. Bagaimanapun juga, meski diklaim sebagai pendapat pribadi, sedikit-banyak bisa saja memberi citra tertentu terhadap kepemimpinan Sumbar saat ini. Karena itu perlu untuk memastikan, apakah berbagai pemikirannya terkait jalan tol di Sumbar dapat diterima akal sehat, dan yang paling penting memilik basis argumentasi yang kuat, apalagi pendapat awalnya berpijak pada salah satu pasal dari konstitusi negara.
Berbagai pertanyaan bisa (atau mungkin sudah) diajukan untuk menguji pemikirannya tersebut, misalnya apa regulasi pemerintah yang bisa menjadi alasan untuk mengatakan jalan lintas harus terlebih dahulu diselesaikan baru dibangun jalan tol? Bagaimana bisa muncul penafsiran bahwa negara lepas tanggungjawab hanya karena ada pembangunan jalan tol dan jalan lintas dianggap tidak layak? Lalu, peraturan apa yang digunakan untuk menilai kelayakan sebuah jalan lintas tersebut? Serta, apakah benar jalan tol baru bisa dibangun setelah tersedia jalan lintas yang layak?
Sayangnya setelah memeriksa kembali berbagai hal yang disampaikan baik di medsos, kolom opini, maupun diskusi online beberapa waktu lalu, selain pasal dalam UUD 1945, perasaannya dan keluh-kesahnya, tidak ditemukan satu pun data dan/atau regulasi yang bisa memperkuat berbagai pendapatnya tersebut.
Keluhan atau ketidakpuasan atas kebijakan dan hasil kerja negara atau pemerintah sebenarnya sesuatu yang lumrah disuarakan. Hanya saja keluhan tersebut perlu jelas, kalau misalnya ada kewajiban yang belum ditunaikan oleh pemerintah menurut aturan perundang-undangan, tunjuk secara jelas. Ambil contoh tentang somasi kelompok masyarakat sipil beberapa waktu lalu yang menolak kebijakan pemerintah melakukan vaksin berbayar (vaksin gotong royong). Mereka mampu menunjukkan mulai pasal-pasal dalam konstitusi negara, dan juga pasal-pasal perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Begitu pun dengan keluhan jalan tol dan jalan lintas yang tak layak ini, tidak cukup kiranya sekadar mengutip pasal dalam UUD 1945 sementara terdapat aspek teknis yang dikeluhkan dimana regulasi tentang hal tersebut diatur dalam perundang-undangan yang lebih rendah.
Ketiadaan data dalam diskusi yang menjadikan konstitusi negara sebagai pijakan awal pendapatnya tentu menyedihkan, mengingat Miko tergolong seorang cendikiawan yang memiliki latar belakang keilmuan di bidang hukum dan menyelesaikan pendidikan master serta doktoral di luar negeri. Sehingga tak berlebihan jika akhirnya berbagai pandangannya itu cukup dikategorikan sebatas harapan saja.
Meski demikian, sebagai sebuah harapan tak ada salahnya pula untuk terus dipelihara. Mungkin saja bisa terwujud di masa mendatang seperti “jalan raya rasa tol” yang dibangun di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Panjang jalan tersebut kira-kira 40 km, terbentang dari Mataram hingga Mandalika. Hanya saja model jalan seperti ini hampir mustahil bisa dibangun di banyak tempat di Indonesia dengan mempertimbangkan kemampuan fiskal negara yang terbatas. Upaya pembangunan yang terus dilakukan pemerintah di berbagai sektor di seluruh wilayah Indonesia, mungkin bisa dianalogikan seperti seorang kepala keluarga yang tengah berusaha membangun sebuah rumah bagi anggota keluarganya agar bisa hidup layak. Ruang bagi anak-anaknya juga disesuaikan dengan kebutuhan, tidak dipukul rata. Misalnya tidak semua harus mendapat fasilitas yang sama sedangkan secara usia mereka berbeda. Analogi sederhana ini hanya ingin menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dan rasa adil menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah dalam proses pembangunan, semua wilayah diupayakan menikmati pembangunan meski bentuk pembangunannya dapat saja berbeda.
Catatan lain yang layak mendapat perhatian adalah inkonsistensi pemikiran Miko yang tidak hanya “ajaib” tapi bisa membuat mulut ternganga untuk beberapa saat. Setelah berpanjang-panjang menguraikan agar dibangun jalan lintas selayak tol sebelum membangun tol, di tengahnya terselip pernyataan “saya tidak anti-tol”. Pernyataan terakhir ini tidak jadi masalah jika saja di Sumbar tidak ada proyek pembangunan tol. Konteks ini selayaknya diperhatikan oleh Miko secara cermat sebelum mengemukakan berbagai pemikirannya.
Dengan pendapat yang saling berlawanan terhadap satu persoalan, dikhawatirkan muncul berbagai spekulasi. Dengan jabatannya sebagai Wakil Ketua TPPSM, bisa saja orang menganggapnya sangat mungkin memiliki tujuan politik tertentu di masa mendatang. Toh, kebijakan pemerintah membangun jalan tol tetap didukung, meski pemikiran pribadinya mengatakan sebaliknya. Spekulasi lain yang bisa saja menjadi sorotan adalah pemikiran mengutamakan “jalan lintas selayak tol sebelum membangun tol” terlihat seperti narasi yang tengah disiapkan jika kelak proses pembangunannya tidak mengalami kemajuan berarti. Dugaan seperti ini cukup beralasan, selain terlihat seperti mencari pembenaran atas kondisi tol Sumbar saat ini, pendapat tesebut rasanya baru pertama kali dan tidak pernah didengar sebelumnya di daerah-daerah lain yang proses pembangunan jalan tolnya berjalan cukup lancar.
Akhirnya, di tengah banyaknya pembahasan mengenai pembangunan infrastruktur tol Sumbar, beberapa catatan yang disampaikan di sini tak lebih dari upaya mengajak sidang pembaca agar kritis dan jernih mengikuti berbagai pendapat yang dikemukakan oleh banyak pihak. Kewarasan tetap harus dijaga, sehingga kita tidak terjebak mengikuti pendapat yang kontra-produktif dan justru berpotensi menghambat atau bahkan merusak kerja keras yang telah dilakukan pemerintah lokal di Sumbar untuk menyegerakan terealisasinya jalan tol ini. Dengan kata lain, perdebatan tentang jalan tol ini boleh sekeras apapun, asal orientasinya jelas yaitu mempercepat proses pembangunannya selesai. Begitu kira-kira. (*)
Radi Setiawan adalah Peneliti Jilatang Institute
Baca Juga:
Jalan Lintas Layak Dulu, Baru Tol
Ini Soal Ukuran Lingkar Kepala
Macet Nalar Tol Ajo Miko Kamal
Memahami Gagal Paham Miko Kamal
Lingkar Kepala Memang Berbeda dengan “Kincia-kincia”