Memahami Gagal Paham Miko Kamal 

Langgam.id-tol

Benni Inayatullah. (Foto: Dok Benni)

Sebagaimana Miko Kamal senang dengan tulisan balasan saya, saya juga merasa senang sekali dengan dialektika yang kita bangun di media massa. Basuo rueh jo buku sehingga kita bisa menyemarakkan kembali dialektika di bumi Minangkabau ini.

Kesenangan saya yang lain adalah Miko Kamal menulis disclaimer di tulisan keduanya bahwa tulisan itu adalah pendapat pribadi bukan sebagai wakil ketua Tim Percepatan Sumbar Madani (TPSM) Sumbar. Saya senang karena Miko Kamal tidak lagi manyuruak di lalang sahalai karena walau bagaimanapun muka pasti tampak juga.

Saya percaya tidak mungkin Miko Kamal menyandera kebebasan berfikir intelektualnya hanya karena mengemban jabatan tertentu di pemerintahan provinsi. Ia secara personal berani berbeda dengan sikap Gubernur yang sekarang ligat ke sana kemari untuk menuntaskan jalan tol. Saya memberikan apresiasi soal itu. Miko Kamal telah menunjukkan kualitas sebagai seorang intelektual sejati.

Saya akan membahas kembali tulisan kedua Miko Kamal perihal jalan tol ini. Semoga pembaca nanti dapat mengambil pemahaman dari apa yang terserak dari kami berdua.

Gagal Paham Logika

Miko Kamal dalam tulisannya mengatakan bahwa jalan tol ini ibarat memaksa buruh harian mengganti makan siangnya yang setara ampera sepuluh ribu ke nasi kapau yang lebih lengkap dan mahal. Meski saya kurang suka mengandaikan warga Sumbar sebagai buruh harian tapi saya ikuti saja logika yang telah dibangun.

Saya pada tulisan sebelumnya sudah menulis bahwa hukum positif kita secara jelas menyebut jalan tol merupakan bagian dari sistem jaringan umum yang menjadi lintas alternatif. Tidak ada sama sekali kewajiban apalagi paksaan bagi pengguna jalan untuk masuk jalan tol apalagi untuk menggantikan jalan nasional non-tol yang sudah ada.

Untuk sederhananya kita juga memakai pengandaian Miko Kamal dengan menggunakan contoh buruh harian. Ibaratnya, seorang buruh yang sudah mendapatkan jatah makan siang dari perusahaan atau pihak tempatnya bekerja secara gratis. Namun bila buruh itu ingin menikmati nasi kapau yang tidak disediakan oleh perusahaan tersebut, tentu saja buruh itu harus membayar dengan uangnya sendiri.

Sesederhana itu sebetulnya untuk memahami bahwa jalan tol ini merupakan pilihan alternatif bagi pengguna jalan dan tidak ada paksaan untuk menggunakannya. Di sisi lain jalan nasional yang biasapun tetap tersedia dalam kondisi yang sangat baik sebagai bentuk kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negaranya. Disinilah terletak gagal paham dalam memaknai jalan tol itu.

Gagal Paham Filosofi

Dalam tulisannya Miko Kamal mengatakan secara konstitusional, rakyat berhak atas jalan yang lebar. Miko kemudian mendefinisikan jalan yang lebar itu untuk satu arah masing-masing tiga lajur. Saya tidak akan kembali mengulang bahwa tidak ada konstitusi menyebutkan jumlah lajur ini karena itu biarlah tugas mahasiswa hukum semester lima yang akan menjelaskan nanti.

Kita bahas secara filosofi saja tidak perlu memakai filosofi Yunani atau filosofi Barat tapi kita memakai filosofi Minangkabau yakni “Alua mungkin jo patuik”. Mungkin adalah dapat dilaksanakan dan patut adalah kepantasan atau kewajaran.

Pembaca dapat membayangkan pemerintah pusat kita minta untuk memperlebar jalan Padang-Pekanbaru dengan 3 lajur searah atau 6 lajur kanan kiri. Bila lebar satu lajur adalah 2,25 meter maka lebar jalan yang dibutuhkan adalah lebih kurang 13,5 meter ditambah dengan median jalan jadinya lebih kurang 14 meter.

Dari sisi alua jo mungkin apakah bisa kita mewujudkan jalan selebar 14 meter itu? Sidang pembaca dapat membayangkan berapa banyak rumah, lapau dan fasilitas lainnya yang akan tergusur dan perlu dibayar ganti ruginya? Saya yakin biayanya akan puluhan bahkan ratusan kali lipat dibandingkan dengan biaya pembuatan jalan tol.

Di titik ini kita pasti sama-sama memahami bahwa sangat tidak mungkin kita akan melakukan pelebaran jalan serupa definisi layak yang Miko Kamal sebut di tulisannya. Sehingga bila alua jo mungkin saja tidak lulus maka alua jo patut tidak perlu kita bahas lagi.

Kemudian Miko Kamal juga mengatakan di tulisannya paragraf 13 bahwa “ruas jalan tol yang sedang dikerjakan itu diubah saja statusnya menjadi jalan lintas.” Maksudnya menjadi jalan nasional yang tidak berbayar sebagaimana jalan tol. Kalau kita ukur dengan alua jo mungkin ini sangat bisa kita lakukan. Katakanlah biaya jalan tol Padang-Pekanbaru itu sebesar Rp80 triliun rupiah. Jumlah itu sangat kecil dibandingkan dengan APBN 2022 yang mencapai Rp1.846 triliun.

Namun apakah ini akan sesuai dengan alua jo patuik? Angka Rp80 triliun itu bila dibandingkan dengan APBD Sumbar tahun 2022 yang sebesar Rp6,6 triliun sangat besar sekali. Apalagi dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumbar yang hanya sebesar Rp2,5 triliun. Biaya pembangunan tol Padang-Pekanbaru itu setara dengan APBD Sumbar selama 12 tahun lebih atau setara dengan 32 tahun PAD Sumbar.

Pembaca dapat menilai sendiri meskipun mungkin untuk dilakukan tapi sangat tidak wajar atau patut untuk diwujudkan. Karena Indonesia ini tidak hanya Sumbar saja. Ada 33 provinsi lain yang membutuhkan pembangun fasilitas umum juga. Sumbar hanyalah bagian kecil dari Republik Indonesia ini. Bahkan secara jumlah penduduk kita ini hanya setaraf Kabupaten Bogor yang jumlah penduduknya sebanyak 6 juta jiwa lebih.

Kita tentu menyadari bahwa negara kita belumlah mampu untuk membangun jalan tol yang perai atau gratis bagi rakyatnya. Bahkan negara-negara maju dan kaya hingga saat ini masih menerapkan jalan berbayar. Karena itulah demi untuk meningkatkan akses terhadap wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, negara membangun jalan tol dengan modal pinjaman atau dengan menjual konsesi kepada swasta. Sehingga logis sekali kemudian penggunaan jalan tol ini dikenakan biaya dalam penggunaannya. Kalau menunggu negara kaya raya belum tahu entah kapan jalan tol perai ini akan terwujud.

Hal penting dalam pembangunan nasional hari ini yang patut kita awasi adalah cara yang digunakan untuk menjaga hak-hak masyarakat. Ketimbang kita menuntut negara terlalu jauh untuk hal yang berada di luar kuasanya, lebih baik kita bersama memikirkan bagaimana cara untuk dapat tetap menjalankan pembangunan yang berkeadilan tanpa ada pihak-pihak seperti masyarakat yang terzalimi.

Filosofi alua mungkin jo patuik ini sesungguhnya sebuah kebijaksaan lokal yang perlu kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin dan patuik ini mengajarkan kita realistis dalam menghadapi persoalan. Kita boleh saja menjadi seorang idealis namun kita tetap juga harus memperhitungkan realitas karena kalau kita menafikan realitas maka kita hanya akan menjadi manusia yang naif belaka.

Dalam tulisan berjudul Tentang Lingkar Kepala itu, Miko Kamal menulis begini; “Mari simulasikan pasal tersebut dengan memasukan kata tol ke dalamnya. Bunyinya akan begini: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan tol (tol sebagai pengganti fasilitas pelayanan umum yang layak)”.”

Bagi saya ini merupakah “garah” 2.0 yang dilontarkan oleh Miko Kamal. Ia secara gegabah mengganti frasa “fasilitas umum yang layak” dengan tol. Saya rasa pembaca semua paham bahwa fasilitas pelayanan umum itu tidak hanya jalan nasional saja tapi banyak fasilitas lain seperti jembatan, saluran air, irigasi, bendungan bahkan fasilitas sosial seperti pasar dan Puskesmas. Semua itu perlu diwujudkan oleh pemerintah untuk memenuhi kewajiban pemerintah sekaligus memenuhi hak kita sebagai rakyat.

Pemerintah tidak hanya memikirkan jalan nasional saja untuk dibangun di Sumbar. Pembaca semua pasti mengetahui bahwa pemerintah pusat telah menganggarkan APBN yang tidak kecil untuk membangun fasilitas umum di Sumbar. Sebut saja revitalisasi pasar atas Bukittinggi setelah kebakaran. Total APBN yang dicairkan sebanyak Rp292 milyar. Setelah itu pemerintah juga siap menggelontorkan APBN sebesar Rp400 miliar untuk revitalisasi pasar bawah tahun depan.

Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah Rp92 miliar untuk pembangunan pasar di Pariaman. Pemerintah juga menganggarkan pengaspalan jalan serta pembangunan jembatan di jalan Wisata Mandeh sekitar Rp329 miliar. Semua itu pemerintah lakukan demi memenuhi hak kita sebagai warganegara untuk mendapatkan fasilitas umum yang layak.

Baca juga: Ini Soal Ukuran Lingkar Kepala

Justru dengan mengubah frasa fasilitas umum dengan mengerucutkan ke jalan tol saja kita seolah sedang mengecilkan lingkar kepala para pendiri bangsa kita yang sangat revolusioner itu. Hatta, Yamin dan Agus Salim sejak negara ini belum berdiri telah memikirkan Indonesia sebagai satu kesatuan. Mereka tidak hanya memikirkan Sumbar an sich. Mereka telah berlaku dan menjadi milik Indonesia sehingga kita hanya akan membuat malu mengecilkan mereka dengan menarik nama mereka ke persoalan jalan tol ini.

Sebagai generasi pelanjut perjuangan tokoh bangsa itu kita justru harus mewarisi ide progresif dan ide revolusioner mereka. Menolak pemerataan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat saat ini dalam hal ini jalan tol adalah sebuah ide revolusioner sungsang atau boleh disebut sebagai kontra revolusioner. Kita selalu menolak bahwa PRRI tahun 1958 dikatakan sebagai sebuah pemberontakan. Kita selalu mengatakan PRRI itu adalah sebuah koreksi atas ketimpangan pembangunan yang hanya terfokus di Jawa saja. Kini ketika pemerintah membangun jalan tol tidak hanya di Jawa saja melainkan juga di halaman belakang rumah kita, malah kita tolak dengan dalih yang dibuat-dibuat.

Jadi tentang lingkar kepala itu bagi saya bukanlah sebuah hal yang penting-penting amat. Perihal yang lebih subtansil adalah persoalan “kincia-kincia”. Apa gunanya lingkar kepala besar bila “kincia-kincia” tidak berputar? Ia hanya akan menjadi tempat bertenggernya kopiah saja. Sebagai sebuah aksesoris, tak lebih.

Benni Inayatullah (Peneliti Senior The Indonesian Institute Jakarta)

Baca Juga

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono meninjau Jalan Tol Padang-Pekanbaru Seksi 1 Padang-Sicincin
Agar Tol Padang-Sicincin Rampung Juli 2024, Menteri PUPR Instrusikan Tambah Tenaga Kerja
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mempercepat pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS) dari Lampung
Ditargetkan Fungsional Juli 2024, Progres Kontruksi Tol Padang-Sicincin Capai 47,22 Persen
Jalan Tol Binjai – Pangkalan Brandan yang dikerjakan oleh PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI) menjadi pilot project untuk penerapan green
Jalan Tol Binjai–Pangkalan Brandan Jadi Pilot Project Konstruksi Berkelanjutan Hutama Karya
Tingkatkan Layanan, HK Gunakan Teknologi Canggih di Sepanjang Jalan Tol
Tingkatkan Layanan, HK Gunakan Teknologi Canggih di Sepanjang Jalan Tol
Badan Pangatur Jalan Tol (BPJT) PUPR membagikan informasi terkait perkembangan pembangunan Jalan Tol Padang-Sicincin.
Konstruksi Jalan Tol Padang-Sicincin Capai 41,34 Persen
Memasuki akhir 2023, pemerintah mengejar penyelesaian pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta melakukan kajian terhadap PSN yang
Sejumlah Ruas Ditinjau Ulang, Hutama Karya Fokus Penyelesaian JTTS Tahap I dan II