Langgam.id - Sepuluh tahun sudah gempa itu berlalu. Sisa-sisanya di Kota Padang, mungkin takkan lagi terlihat. Mayoritas bangunan yang roboh karena bencana itu, sudah kembali berdiri. Selain tugu gempa yang beberapa tahun setelahnya didirikan untuk mengenang para korban, bencana itu menyisakan luka dan kesedihan.
Hari ini, 30 September 2019, tanpa bermaksud mengungkit kesedihan, saya merasa perlu berbagi kenangan. Sebagai jurnalis yang sering dihadapkan pada liputan bencana, saya mesti belajar dari pengalaman. Lebih luas lagi, refleksi merupakan bagian penting dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana.
***
Lindu saat itu benar-benar menggetarkan hati. Berguncang vertikal, lalu bergoyang horizontal seperti bandul. Getarannya merayap dari pondasi ke lantai, mengayun dinding hingga ke atap, memilin besi-besi rapuh yang menahan beratnya beban beton dan meretakkan permukaan tanah.
Dalam hitungan detik, ribuan rumah, kantor, toko dan sekolah bersimpuh. Luluh lantak jatuh ke bumi, meninggalkan debu. Dan, bukit-bukit terjal yang selama ini membisu, melepaskan ribuan kubik tanah yang meliputinya. Meluncur deras menimpa kampung-kampung yang selama ini bernaung di bawahnya.
Jasad-jasad tak bernyawa di bawah reruntuhan itu, tak sempat menangis. Mereka, 1.195 orang itu, kembali kepada Tuhan, sesuai janjian takdir. Yang lain terluka, menahan kerasnya cobaan yang menimpa. Gempa 7,9 pada Skala Richter yang keluar dari dasar Samudera Hindia di depan Sumatra Barat, pada sore 30 September 2009 itu, jelas meninggalkan duka, luka dan nestapa.
Ratusan ribu manusia lainnya, yang bergidik karena gempa itu, berlari ke halaman dan jalan di depan rumahnya. Mereka terhindar dari maut karena bisa lebih cepat dari material yang akan menimpa. Sebagian lainnya selamat karena beruntung berada di bangunan yang tak ikut roboh.
Dalam ketakutan yang mencengkram, mereka lalu berlari menyerbu ketinggian. Di Padang, hampir setiap persimpangan macet, dipenuhi wajah-wajah pucat yang mengendarai mobil hingga becak dayung. Tsunami jadi hantu berikutnya yang ada dalam benak warga.
Ucapan syukur menggema. Tsunami yang ditakuti itu, tidak terjadi. Namun, di sela-sela debu bangunan yang runtuh, di antara kebakaran yang terpicu korsleting listrik, kepanikan masih kentara. Orang tua mencari-cari anaknya. Para bocah menjerit memanggil ibunya. Yang tak biasa menyebut nama Tuhan, senja itu tak putus melafalkan kalimat-kalimat-Nya. Kiamat kecil dalam versi Tuhan itu, terasa demikian beratnya.
Tak seorang pun menyangka, senja amat biasa hari itu akan masuk dalam catatan sebagai salah satu gempa bumi terbesar di negeri ini, bahkan di dunia. Untuk sejarah Indonesia, ini kedua kalinya, tanggal 30 September dicatat dalam tinta berdarah. Akronim G30S mendapat makna baru. Bila 44 tahun sebelumnya, tanggal itu dikenang karena gempa politik akibat Gerakan 30 September, kini singkatan itu mendapat arti baru: Gempa 30 September.
Selaku jurnalis, gempa Sumbar 2009 yang seterusnya disebut G30S ini, untuk saya, punya makna tersendiri. Inilah pertama kali, saya meliput bencana di mana saya ikut menjadi korban. Saya bersyukur, tidak kehilangan keluarga dan harta benda akibat gempa tersebut. Namun, siapapun yang mengalami bencana sebesar G30S dan kemudian merasakan peristiwa dampak peristiwa traumatik itu dalam kehidupan sehari-hari, merupakan korban bencana.
Hal ini yang membuat liputan G30S, bagi saya, jauh lebih berat ketimbang meliput bencana gempa Bengkulu pada 2007 , tsunami Mentawai pada 2010 dan bahkan tsunami Aceh pada akhir 2004 hingga awal 2005. Padahal, siapapun mengakui, tsunami Aceh merupakan salah satu bencana paling besar yang pernah dicatat sejarah. Bukan saja menimbulkan dampak korban besar dan kerugian dahsyat, namun juga medan yang sulit untuk jurnalis.
Kondisi Aceh di minggu-minggu pertama pascatsunami seolah jadi tempat uji nyali dan ketahanan fisik bagi jurnalis. Hampir sama dengan mayoritas jurnalis dari berbagai belahan dunia yang meliput di Aceh saat itu, itulah pertama kali seumur hidup saya melihat ribuan jenazah yang sudah tidak utuh, merekam kedahsyatan yang tak terbayangkan sebelumnya, serta melaporkan kesedihan tiada tara.
Tidur beralas tikar di lantai semen karena hotel dan penginapan sudah hancur, makan seadanya bersama relawan karena tidak ada rumah makan yang buka dan kesulitan untuk sekedar mandi dan buang air, bukan kondisi sulit yang harus dikeluhkan.
Hal-hal tersebut tidak pernah jadi alasan penghambat kinerja bagi para pencari berita. Barangkali, umumnya jurnalis yang masuk ke Aceh saat itu, sudah menyiapkan mental. Motivasi yang kuat untuk liputan, mengabarkan duka Aceh kepada khalayak, sekaligus mengawal proses penanganan tanggap darurat dan distribusi bantuan untuk membantu masyarakat, membuat kesulitan teknis di luar liputan itu tidak mengganggu produktivitas berita.
Kesulitan seperti di Aceh, tersebut tidak akan jumpai ketika liputan gempa Bengkulu, pada 2007. Meski harus liputan sambil menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi yang berpuasa, kondisi Bengkulu tidaklah sulit. Ketika itu, masih banyak hotel dan rumah makan yang buka, sehingga tidak ada persoalan untuk makan sahur dan santap berbuka.
Bila ada kesulitan yang sedikit menandingi Aceh, adalah Kepulauan Mentawai, ketika tsunami menyapu wilayah itu Oktober 2010 lalu. Namun, sedikit berbeda dengan Aceh, kesulitan di Mentawai, terkait masalah transportasi menuju tempat liputan. Hadangan gelombang yang mencapai tinggi enam meter, menjadi penghalang terbesar.
Meski demikian, toh laporan dari Mentawai dari banyak jurnalis tetap mengalir ke ruang publik. Halangan di luar diri jurnalis yang meliput, ternyata bisa disiasati dengan banyak cara, agar bisa tetap melaporkan perkembangan kejadian kepada masyarakat.
Kendala terbesar dalam liputan bencana, menurut saya, baru terjadi ketika jurnalis menjadi korban bencana, sekecil apapun dampak bencana itu ia rasakan. Itulah yang terjadi pada banyak jurnalis yang berdomisili di Sumbar ketika harus meliput pasca kejadian G30S.
Memang tidak ada jurnalis aktif yang meninggal ketika gempa terjadi. Namun, beberapa dari jurnalis Sumbar itu, ada yang anggota keluarganya meninggal. Lebih banyak lagi yang rumahnya rusak berat hingga ringan karena gempa tersebut. Yang paling ringan, adalah mereka yang tidak mengalami kerugian berarti, namun tetap merasakan dampak pascagempa.
Bagi saya, G30S begitu mengerikan. Saya terkurung di dalam gedung, hampir satu menit, selama gempa itu terjadi. Berdua dengan Yonda Sisko, jurnalis detik.com Padang yang saat itu berkunjung ke kantor biro/perwakilan Media Indonesia, Jalan Veteran Padang, tempat saya bekerja ketika itu, saya merasakan kengerian yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Ketika gempa terjadi sekitar pukul 17.16 WIB, saya dan Yonda sedang berada di lantai II gedung tersebut. Goncangan besar memutus obrolan kami. Saya dan Yonda sama-sama terlompat berdiri dan langsung berlari menuruni tangga dari lantai II ke lantai I, tanpa alas kaki dan tanpa sempat membawa barang apapun.
Gempa terus makin besar, mengguncang seluruh bangunan dan isinya. Televisi jatuh ke lantai, lemari besar seperti akan jatuh didorong dinding yang bergetar kencang, lantai seperti bergelombang, berguncang, mengganggu keseimbangan yang membuat susah berdiri. Sementara, kami tidak bisa langsung lari ke luar. Pintu kaca kantor tersebut terkunci.
Saya memang orang terakhir yang berada di kantor sore itu. Semua rekan-rekan Media Indonesia maupun Metro TV di Biro Padang, sudah pulang. Dalam guncangan besar itu, saya merogoh kantong. Sialnya, ada dua ikat kunci di kantong sehingga menyulitkan mencari kunci pintu kaca. Saya dan Yonda semakin panik karena melihat ruko mebel di depan kantor sujud ke tanah, sementara kami masih berada di dalam gedung. Kabut putih menyeruak dari reruntuhan ruko itu, hingga ke jalanan di depan kantor kami. Beton-beton di kantor tempat kami terkurung mengeluarkan suara bergemuruh penuh kengerian.
Dengan bersusah payah, pintu akhirnya bisa dibuka. Kami melompat ke luar gedung, seperti dilesatkan panah. Sejurus kemudian, gempa berhenti. Hati saya tak karuan. Antara takut, khawatir dan sedih. Wajah putra pertama saya yang sedang belajar tersenyum, langsung muncul dalam bayangan. Tuhan, bila saya saja terguncang karena gempa ini, bagaimana ia yang masih berusia satu bulan lima hari. Segala pikiran buruk menyerbu. Anak, istri dan semua keluarga bergantian dalam pikiran buruk itu.
Saya memutuskan, segera harus pulang. Sepeda motor yang rebah karena gempa, saya dirikan. Setelah melihat kantor biro masih cukup kuat dan hanya retak-retak, saya memberanikan diri naik ke lantai II. Lantai I hingga ke lantai II sudah berantakan dipenuhi beragam isi kantor. Dalam waktu beberapa detik, saya menyambar tas dan barang milik Yonda, sepatu serta tas milik saya dan kembali berlari ke lantai I untuk keluar bangunan kantor.
Setelah menyerahkan barang milik Yonda, saya bergegas mengunci pintu. Tanpa banyak bicara, Yonda langsung pergi. Saya tak sempat bertanya ia akan lewat jalur mana. Ia terlihat sangat panik.
Gempa baru berlalu sekitar 5 menit. Jalan raya di depan kantor biro Media Indonesia saat itu, dipenuhi material reruntuhan ruko mebel yang terletak di arah depan. Sebuah mobil minibus ringsek tertimpa bangunan yang roboh itu. Yang terlihat hanya buntut mobil, sementara bagian depan mobil tersebut ringsek tak bisa diselamatkan. Di depan bangunan itu, sebuah show room mobil juga ambruk sampai ke tanah. Tentu, puluhan mobil lagi yang tertimpa di sana.
Saya sempatkan melemparkan pandangan ke kejauhan. Terlihat debu terbang di mana-mana. Karena pekatnya debu, ketika itu saya mengira, hampir seluruh bangunan di Jalan Veteran sudah ambruk. Di beberapa titik, terlihat asap mengepul. Saya yakin, kebakaran itu, dipicu korsleting listrik akibat gempa.
Masih dalam suasana panik, karyawan toko di sebelah kantor mengunci tokonya dengan tergesa. Temannya menunggu di atas sepeda motor yang sudah dihidupkan. Ia berteriak, agar semuanya cepat menyingkir ke ketinggian. Di jalanan, sebuah mobil angkutan kota tersekat tak bisa berjalan. Ia kesulitan menghindari material bangunan yang berserakan di jalan.
Seorang siswi SLTP menangis sesenggukan, sambil terus berjalan. Dari arah berlawanan, beberapa perempuan berpakaian kantoran menghapus air mata, sambil terus berpegangan. Beberapa sepeda motor, terlihat memacu kecepatan ke arah Jalan Karet, di sisi kantor saya. Saya coba mengontak isteri. Jaringan sinyal telepon seluler ternyata mati total, menyusul aliran listrik yang telah lebih dulu terputus.
Saya menghidupkan sepeda motor, menaikinya dan memacunya masuk ke arah Jalan Karet. Dari sana, saya berbelok ke Jalan Ujung Gurun dan terus menuju timur, berbelok ke utara masuk ke Jalan Rasuna Said hingga sampai di jembatan Padang Baru. Saya berpikir, tidak mungkin meneruskan perjalanan terus ke utara menuju ke arah rumah di Kawasan Dadok Tunggul Hitam. Saya yakin akan terjebak macet di Air Tawar, yang berada di "zona merah" tsunami.
Saya memutuskan secepat mungkin menuju "zona hijau" tsunami. Saya ingat kesepakatan saya dengan istri sebelumnya, bila terjadi gempa dan kemungkinan tsunami, kita akan bertemu di TVRI, di Jalan By Pass yang berada di zona hijau. Saya berbelok ke arah timur, mengikuti jalan di sisi sungai Banda Bakali hingga sekitar dua kilometer.
Sebelum mencapai jembatan Simpang Haru, jalan kecil itu macet. Tak mungkin lagi lewat, karena jalanan semakin padat. Tiba-tiba saya sadar. Tempat yang berdekatan dengan sungai, sangat berbahaya bila terjadi tsunami. Sungai ibarat jalan tol bagi air bah itu. Jarum jam saya menunjukkan, 20 menit pascagempa. Itu berarti, saya hanya punya waktu 10 menit sebelum masa 30 menit pascagempa, yang sering disebutkan di buku-buku, sebagai saat tsunami diperkirakan akan menghantam.
Begitu melihat jalan kecil yang mengarah ke Ampang, saya mengikutinya dan tembus di jalan Ampang-Kampung Kalawi, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari sungai Banda Bakali. Saya terus menyusuri jalan itu ke arah timur. Namun, belum sampai ke Kampung Kalawi, jalan kembali macet. Saya melirik jam, persis 30 menit pascagempa. Bila tsunami terjadi, saya masih punya waktu untuk lari, karena tempat saya berdiri sudah sekitar 4 kilometer dari bibir pantai dan lebih dari 1 km dari sungai terdekat.
Dalam kemacetan itu, gerimis turun menerpa. Saya kembali memperhatikan akibat kerusakan di kanan-kiri jalan. Ternyata masih banyak rumah yang berdiri. Yang terlihat rusak berat, hanya rumah yang bertingkat dua. Pikiran saya agak lega, karena rumah yang kami diami hanya satu lantai. Saya terus berdoa, untuk seluruh keluarga. Tak terasa, kemacetan itu sedikit melonggar, sehingga akhirnya saya bisa mencapai By Pass menjelang magrib dan langsung ke TVRI mencari istri. Karena saya tak menemukan mereka di sana, saya terus menuju ke arah rumah di Kawasan Dadok Tunggul Hitam.
Pikiran saya lega setelah melihat istri, anak, keluarga dan rumah tidak apa-apa. Mereka tidak mengungsi, karena tahu air laut tidak surut. Rupanya, mereka terus memantau radio polisi yang melaporkan kondisi dari pinggir pantai. Karena sudah lebih dari satu jam dan sudah lewat dari bahaya tsunami, usai Salat Magrib, saya minta izin untuk melihat kakak-kakak dan keponakan di kawasan Lubuk Buaya dan Balai Gadang.
Setelah memastikan semua baik-baik saja, saya baru mengontak kantor di Jakarta, melalui telepon rumah dari rumah kakak di Lubuk Buaya tersebut. Ketika itu, saya laporan lewat telepon dan minta tolong diketik di kantor Jakarta. Dalam ketiadaan listrik, internet dan jaringan telepon seluler, tidak mungkin saya mengetik berita seperti biasa.
Saat itu, saya sedikit merasa beruntung jadi jurnalis tulis. Teman-teman jurnalis televisi dan fotografer, banyak yang tidak sempat mengecek keluarga terlebih dahulu seperti saya, sebelum melaksanakan tugas liputan, senja hingga malam itu.
Ya, sejak senja sampai malam itu, para jurnalis di Sumbar sudah berkeliling, memantau perkembangan ratusan korban yang terjebak di Hotel Ambacang, STBA Prayoga dan tempat kursus Gamma, Padang. Para wartawan itu, sesungguhnya juga korban bencana. Namun, tugas sebagai jurnalis memanggil. Petaka senja itu, harus cepat dikabarkan ke seluruh negeri.
Di berbagai titik terparah, beberapa puluh menit pascagempa, evakuasi sudah dimulai. Di Gamma, di STBA Prayoga, tak terbayang kepedihan di wajah puluhan orang tua yang menanti nasib anak-anak mereka. Di seluruh tempat, tangisan pecah, rona kepedihan terus berpendar.
Liputan evakuasi korban berlanjut keesokan pagi, hingga terus berlangsung sampai lebih dari sepekan. Mayat, tangisan dan kesedihan, terus mewarnai laporan demi laporan. Sejak dari Padang, Padang Pariaman hingga ke Agam, aroma duka terus menyayat.
Memotret kesedihan, di tengah bertambahnya beban keluarga akibat kesulitan pascagempa, benar-benar memberatkan. Meski tentu lebih beruntung dari mereka yang tinggal di tenda, kehidupan keluarga-keluarga yang masih bisa bernaung di dalam rumah, satu bulan pascagempa belum normal. Hal ini karena kerusakan listrik, PDAM, kelangkaan BBM dan kerusakan berbagai fasilitas lainnya.
Listrik, misalnya, baru berangsur-angsur kembali menyala setelah dua pekan. Ketiadaan listrik, membuat mesin air tak bisa dinyalakan. Yang punya sumur, harus menimba air dulu sebelum mencuci dan mandi. Yang tak punya sumur harus pergi ke sungai tiap pagi dan sore hari. Mencucipun harus kembali dilakukan dengan cara manual, karena tentu mesin cuci juga tak bisa dinyalakan.
Tanpa aliran listrik, tentu tak bisa mengharapkan hiburan televisi. Bahkan, untuk sekedar mengecas telepon seluler, warga harus menumpang ke sana ke mari mencari tetangga yang memiliki genset. Yang punya genset, juga belum tentu bisa langsung dinyalakan, karena sulitnya mendapatkan bensin atau solar. Antrian di pom bensin mengular hingga hitungan satu kilometer selama tiga hari pascagempa. Kondisi tersebut, membuat tanggung jawab setiap kepala keluarga bertambah.
Satu demi satu rekan-rekan jurnalis yang berdomisili di Padang saat itu, saya perhatikan berubah jadi kuyu beberapa hari pascagempa. Mengalami peristiwa traumatik ditambah berbagai kesulitan pascagempa, membuat mereka kehabisan energi. Beberapa teman terlihat tidak bisa fokus liputan, beberapa yang lain jadi sensitif dan emosional.
Sepekan setelah gempa, saya merasakan gejala yang sama. Tuntutan tugas liputan dari kantor terasa semakin berat. Padahal, tugas-tugas liputan bencana untuk G30S sama saja dengan tugas liputan bencana-bencana sebelumnya yang sudah biasa saya lakoni. Namun, kali ini saya merasa berbeda. Saya mulai merasa sulit konsentrasi , agak sensitif dan cenderung emosional.
Saya dan Ade Irwansyah, dua jurnalis Media Indonesia yang saat itu bertanggung jawab untuk wilayah liputan Sumatra Barat, merasa terbantu ketika rekan kami Naviandri dari Lampung dan Rudi Kurniawansyah dari Pekan Baru datang membantu. Namun, karena banyaknya tugas dari kantor, beban itu masih terasa berat.
Saya kemudian menelpon kantor, menjelaskan kondisi psikologis kami dan minta tolong agar tugas untuk saya sedikit diringankan. Saya mengatakan, masih sanggup membantu meliput dan membuat laporan, tapi, tidak sanggup mengkoordinasikan teman-teman yang saat itu meliput di Sumbar. Kantor saya mengerti dan kemudian menambah tenaga baru dari Jakarta ke Padang.
Saya dan beberapa teman jurnalis Sumbar yang sering berkumpul di sela-sela liputan ketika itu, menjadi lebih labil setelah Jurnalis Posmetro Padang Harfianto meninggal dunia sekitar 12 hari setelah G30S. Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang tersebut, berpulang setelah mengalami luka parah akibat kecelakaan lalu lintas. Tugas sebagai Ketua AJI Padang, yang sejak gempa sudah padat karena harus mengurus anggota dan juga berkoordinasi dengan AJI Indonesia serta jurnalis anggota AJI lainnya dari berbagai kota, bertambah berat karena kejadian ini.
Beberapa hari kami menunggui sahabat itu koma di rumah sakit, hingga kemudian hati kami yang sudah hancur menjadi tambah berantakan, menghadapi kenyataan kepergiannya. Saya tak sanggup lagi menangis, ketika mengantar jenazah Harfianto ke peristirahatan terakhir di Pesisir Selatan. Semoga ia tenang di alam sana.
Kejadian demi kejadian berat itu, jelas mempengaruhi kondisi kami. Hasil diskusi saya dengan beberapa teman –menyimpulkan dengan bahasa sendiri – kami dalam kondisi sakit secara psikis. Teman saya, Abdullah Khusairi, seorang dosen jurnalistik yang ketika itu masih jadi pemimpin redaksi portal online menduga, ini karena trauma gempa ditambah kelelahan karena liputan.
Tak tahu harus bagaimana ketika itu. Yang terbayang hanya satu, kita perlu libur dan hiburan. Tapi, Yayasan Pulih tiba-tiba mengontak saya, menawarkan untuk memulihkan kondisi psikis anggota AJI Padang, pascagempa.
Psikolog Clara Handayani, yang jadi fasilitator dalam diskusi tersebut mengatakan, banyak jurnalis yang ada di Sumbar saat itu mengalamidampak akibat peristiwa traumatik. Makanya, jurnalis di daerah bencana yang merasakan dampak, sekecil apapun itu, juga harus dipandang sebagai korban.
Menurutnya, masing-masing orang punya ketahanan yang berbeda menghadapi peristiwa traumatik. Sehingga, dampaknyanya bagi setiap orang juga tak sama. Clara menyebutkan, media tempat jurnalis bekerja mesti memahami persoalan ini dan harus menjalankan kebijakan pergantian jurnalis peliput bencana setelah beberapa waktu tertentu.
Berdasar pengalaman liputan di beberapa wilayah bencana, menurut saya, untuk kategori bencana besar seperti G30S, seorang jurnalis hanya mampu bekerja normal selama satu pekan. Rentang satu minggu tersebut, relatif tak terlalu lama dan juga tak terlalu sebentar. Untuk beberapa orang tertentu yang teruji kuat mental dan tidak merupakan bagian dari korban bencana, masa tersebut mungkin masih bisa ditambah beberapa hari, sebelum harus diganti dengan jurnalis lainnya.
Betapa pentingnya persoalan ini, jurnalis dari luar daerah bencana pun sebenarnya bisa mengalami dampak peristiwa traumatik setelah beberapa lama di lokasi bencana. Menurut Yayasan Pulih, jurnalis yang menyaksikan peristiwa traumatik yang sangat menyakitkan bisa berefek trauma sekunder. Trauma sekunder merupakan trauma yang dialami oleh mereka yang tidak secara langsung mengalami kejadian.
Makanya, untuk menghindari efek negatif dari peliputan dan pemberitaan peristiwa traumatik, jurnalis dan media perlu membekali diri mereka dengan pemahaman yang baik tentang dampak dan respon dari peristiwa traumatik terhadap jurnalis.
Menurut Kristi Poerwandari dalam artikelnya ‘Menata Hidup setelah Trauma’ di website Yayasan Pulih, respon-respon umum yang muncul dari orang yang mengalami dampak peristiwa traumatik di antaranya: merasa seolah peristiwa terjadi kembali, respon-respon fisik seperti dada berdebar, munculnya keringat dingin, lemas tubuh atau sesak nafas, kewaspadaan berlebih, mimpi buruk, gangguan makan, kesulitan mengendalikan emosi atau perasaan, seperti sensitif, cepat marah, tidak sabar, serta kesulitan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih.
Bila kejadian ini terjadi pada jurnalis yang sedang melakukan liputan, tentunya tidak mungkin bisa menjalankan tugas dengan baik. Padahal, melalui karya jurnalistiknya, peran jurnalis dalam pemulihan pascabencana salah satunya harus ikut membantu masyarakat untuk bangkit. Logikanya, sebelum membantu orang bangkit, jurnalis mestinya tidak dalam pengaruh dampak trauma.
Perlunya pergantian shift, memberi waktu kepada jurnalis memulihkan diri dari dampak peristiwa traumatik tersebut. Dampak peristiwa traumatik itu bisa dipulihkan, seiring waktu. Untuk tingkat yang lebih tinggi, trauma bisa pulih dengan dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat serta usaha untuk mengambil hikmah dari peristiwa yang dialami. Jurnalis juga manusia. Ketika ia jadi korban bencana, jurnalis perlu pulih sebelum kembali bisa bertugas dengan baik.
Pemulihan dari dampak peristiwa traumatik ini amat penting, karena jurnalis tidak diharapkan hanya meliput pada saat bencana dan sebatas penanganan tanggap darurat saja. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana perlu terus mendapat pengawalan, pemulihan korban bencana agar cepat bangkit mesti terus diperhatikan, kebijakan mitigasi bencana dari pemerintah harus terus diingatkan.
Jurnalis dibutuhkan di semua tahap itu. Jurnalis, memang tidak hanya meliput untuk hari bencana itu saja. (Hendra Makmur)
Catatan: Tulisan ini semula berjudul "Kita Meliput Bukan untuk Hari Itu Saja", termuat dalam Buku "Jurnalis di Titik Nol" (2011), kumpulan tulisan jurnalis Sumbar yang diterbitkan Jaringan Jurnalis Siaga Bencana. Penulis, jurnalis langgam.id, menyunting dan menerbitkannya kembali untuk langgam.id.