Langgam.id - Kebutuhan hidup menuntut perjuangan hebat. Manusia bisa melakukan pekerjaan yang bahkan di luar kemampuannya sendiri. Namun, keadaan memaksanya harus mengarungi takdir.
Seperti kisah Rita (39), warga Gadut, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar). Saban hari, janda itu harus mengangkat martil seberat 10 kilogram demi menghidupi tiga orang anak dan ibunya yang sudah renta.
Perempuan yang dicerai hidup suaminya ini berprofesi sebagai pemecah batu di aliran sungai Gadut. Pekerjaan yang tak lazim untuk kaum hawa itu telah digelutinya sejak lima tahun terakhir. Mungkin, hanya ia satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai pemecah batu.
"Bulan puasa tetap kerja. Waktunya saja yang diatur agar tidak terlalu lelah," kata Rita saat dijumpai di rumah orangtuanya di Perumahan Unand Blok E Gadut, Kelurahan Padang Besi, jelang berbuka puasa, Sabtu (19/5/2019) malam.
Di hari biasa, Rita berangkat ke sungai pagi hari, istirahat saat dzuhur dan kembali lagi ke sungai hingga pukul 18.00 WIB atau berebut magrib.
"Kalau Ramadan perginya setelah salat subuh. Pas matahari mulai terik, pulang dulu. Nanti sore saat agak redup, baru kembali lagi," katanya.
Menjadi pemecah batu bukanlah pekerjaan yang dikehendakinya. Namun apa hendak dikata, hanya itu satu-satunya profesi yang bisa dilakukannya hari ini. Rita pernah bekerja memasak dengan orang lain di salah satu rumah makan. Namun, dia kerap datang terlambat. Tersebab tidak enak hati dengan majikan, Rita memutuskan untuk mengundurkan diri.
"Kerja tempat orang lain harus tepat waktu. Sedangkan saya harus ngurus anak dan ibu dulu sebelum bekerja. Kalau memecah batu ini, tidak ada yang mengatur. Saya bisa atur sendiri," katanya.
Rita bukan janda biasa. Dia berjuanga hidup tidak saja untuk anak-anaknya. Namun, juga merawat ibunya yang sudah renta dan menderita penyakit stroke. Satu dari tiga anaknya juga menderita lumpuh dan tidak bisa duduk, apalagi berjalan.
"Kata dokter infeksi jaringan otak, karena dulu panasnya terlalu tinggi," kata Rita menceritakan penyebab lumpuh anak bungsunya itu.
Faktor ekonomi lah yang menguatkan tenaga perempuan kurus berkulit sawo matang itu. Dia harus memecah bantu hingga memenuhi satu pick-up L300. Biasanya, itu baru terkumpul selama dua hari.
Satu mobil itu, batu pecahan sungai itu hanya dihargai Rp85 ribu. Dengan begitu, sehari, Rita hanya mengantongi pendapatan sekitar Rp40 ribu.
"Itu kalau mobil masuk lancar. Kalau macet, saya biasa ngutang dulu. Nanti pas mobil masuk, baru dibayar," ceritanya.
"Kadang pas batu terkumpul, air sungai besar. Hanyutlah batu dibawa air," sambungnya.
Rumah Menunggu Roboh
Rita tidak saja dirundung masalah pekerjaan, orangtua stroke dan anaknya yang lumpuh. Kondisi rumah tempatnya berteduh juga memiriskan. Semua kuda-kuda atap rumah lapuk dan kini menunggu roboh.
Kondisi ini terlihat dari ruangan tamu, tengah dan belakang. Hanya ruangan pojok depan yang cukup baik. Itupun diperuntukkan bagi ibunya yang menderita penyakit stroke.
"Kalau di kamar, ruang tengah bocor saat hujan. Hanya tempat ibu saja yang tidak kena hujan," kata Rita.
Keluhan rumah bocor dan nyaris roboh itu sudah lama dialaminya. Namun, Rita tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, untuk hidup, makan dan minum saja, dia hanya mampu menghasilkan Rp40 ribu setiap hari.
Kisah perjuangan hidup Rita ternyata diketahui oleh Ketua TP-PKK Padang Harneli Bahar. Dia pun memutuskan untuk berbuka bersama di rumah Rita. Tujuannya tak lain untuk melihat secara ril kondisi dan mendengar cerita langsung dari Rita.
"Saya tau buk Rita ini dari program wanita tangguh Pemko Padang di hari Kartini," kata Harneli Bahar.
Istri Wali Kota Padang mengaku terenyuh melihat kondisi Rita. Menurutnya, memecah batu dengan martil seberat 10 kilogram bukanlah pekerjaan perempuan.
"Saya dulu pernah mencari kayu ke bukit-bukit. Tapi tidak pernah memecah batu. Ingin pula rasanya mencoba memecah batu itu gimana. Tapi ini tidak pekerjaan perempuan," tegas Harneli.
Harneli berjanji akan segera mencarikan solusi untuk Rita. Sehingga, dia bisa menjaga anaknya disabilitas dan merawat orangtua yang stroke tanpa harus meninggalkan rumah.
"Sampai dimana tenaga perempuan. Nanti kita buatkan Rita kedai di depan rumah agar tak lagi memecah batu," katanya.
Begitu juga soal rumah Rita yang sudah reyot dan lapuk. Harneli juga memastikan upaya untuk melakukan bedah rumah. Dengan catatan, rumah tersebut milik pribadi keluarga Rita.
"Kalau bisa secepatnya kita bedah dengan cara apapun. Seperti Baznas, Semen Padang dan bantuan-bantuan lainnya, komonitas facebook juga ada nanti. Saya yakin,
dengan kebersamaan tidak ada yang sulit," sebutnya optimis. (*/RC)