Tidaklah mencengangkan bila ada yang meyakini Imam Bonjol dan pendukung gerakan Padri terpapar aliran Wahabi. Sebab, literatur yang tersedia menyatakan begitu. Debat-debat kekinian juga menyatakan Tuanku Imam Bonjol merupakan pelopor radikalisme Salafi Wahabi di Minangkabau.
Sebenarnya, bukan hanya Wahabi yang tersebut dalam literatur. Meski tak mengaitkan langsung dengan Tuanku Imam Bonjol, beberapa literatur juga menyebut adanya jejak Mazhab Hambali dan Hanafi dalam gerakan Padri. Sesuatu yang perlu diuji kesahihannya.
Baca juga: Sosok Tuanku Imam Bonjol dalam Catatan Belanda
Daripada bertengkar mengenai pendapat tersebut, lebih baik memeriksanya dengan membandingkan gerakan Padri di Minangkabau dengan gerakan Wahabi di Makkah.
Kadar Wahabi-Hambali Padri
Sumber lokal yang secara ugal-ugalan menyebut Padri sebagai gerakan mazhab Hambali adalah Mangaradja Onggang Parlindungan. Tahun 1964 ia menulis buku berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833.
Yang akan dicatat di sini adalah Mazhab Hambali. Pengikut Hambali mengklaim dirinya sebagai mazhab berhaluan (manhaj) salaf. Orang-orang salaf lebih memprioritaskan nash dan fatwa sahabat dalam menyelesaikan persoalan keagamaan.
Jika dilihat fakta sosial sekitar agenda gerakan Padri, sama sekali tak mencerminkan persoalan perdebatan sumber hukum atau fatwa. Tetapi persoalan maraknya pelanggaran sosial di tengah masyarakat. Debat-debat tentang mazhab di Minangkabau justru terjadi setelah Padri.
Agak meragukan, bila ada penganut mazhab Hambali dalam pasukan Padri yang besar itu. Apalagi menyebut teror mengatasnamakan teror mazhab Hambali yang penganutnya sama sekali diragukan keberadaannya di Minangkabau.
Mazhab Hambali bukanlah mazhab yang populer di dunia Islam. Menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya Husnil Muhadlarah fi Tarikj Mishr wal Qahirah, mazhab Hanbali baru tersebar ke luar Irak sejak abad ke 4 H. Ketenaran dan perkembangan mazhab Hanbali mulai memudar sejak abad ke 7 H. Jarang ditemui orang penganut mazhab ini setelah abad tersebut.
Kata Ibnu Khaldun di dalam bukunya Muqaddimah, mazhab ini tidak berkembang karena meminimalisir penggunaan akal dan lebih memprioritaskan riwayat hadis-hadis Nabi dalam menyelesaikan persoalan keagamaan. Karena begitu ketat dan rigid ajarannya, mazhab ini tak banyak pengikutnya.
Sampai di sini, M.O. Parlindungan bermasalah dalam penetapan aspek temporal kehadiran mazhab Hambali di Minangkabau. Bisa disebut, hanya Arab Saudi setelah revolusi Wahabi saja yang menjadikan Mazhab Hambali ini sebagai mazhab resmi negara.
Hanafi atau Sanusi?
M.O. Parlindungan menunjukkan adanya peran Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik dalam revolusi Wahabi. Ketiga haji asal Minangkabau ia sebut sebagai eks tentara Jenissari Turki Usmani. Ini sesuatu yang berlawanan dengan gerakan Wahabi yang mengusung mazhab Hambali.
Turki Usmani adalah penganut mazhab Hanafi. Ketiga haji ini mestinya adalah pengikut mazhab Hanafi. Sejak abad ke-16 Kekhalifahan Turki Usmani mengadopsi Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Para pejabat, tentara, dan para hakim bermazhab Hanafi. Syaikhul Islam, jabatan mufti tertinggi negara, selalu dipegang ulama pengikut bermazhab Hanafi.
Mazhab ini dikenal dengan mazhab rasional, tidak selalu berpaku pada teks (nash) yang ketat, baik dari al Quran maupun al-Hadis. Mazhab ini memberi tempat luas terhadap rasio dan konteks sosial historis saat perumusan produk hukum.
Untuk memeriksa jejak Hanafi dalam gerakan Padri agaknya tidak terlalu sulit. Misalnya dengan cara melihat surau-surau yang dibangun Padri. Biasanya tempat wudhu’ di masjid-masjid penganut Mazhab Hanafi, disediakan bangku duduk di depan pancuran air wudhu’.
Dalam mazhab Hanafi, sangat dianjurkan duduk di tempat agak tinggi (al-julus fi makanin murtafi'in) saat berwudhu’. Tujuannya untuk menghindari percikan air bekas wudhu’ yang dianggap air musta’mal (air bekas pakai) dan cendrung bernajis.
Justru yang sulit itu mencari surau-surau atau masjid-masjid Minangkabau peninggalan Padri yang mengikuti model masjid pengikut Hanafi. Kecuali zaman sekarang, akibat perkembangan pengetahuan fikih bersuci (thaharah) dan juga perkembangan arsitektur masjid modern.
Pendapat berbeda muncul dari R.S O’Fahey (1987). Dalam bukunya Enigmatic Saint – Ahmad Ibn Idris and The Idrisi Tradition ia menyatakan bahwa tiga orang haji asal Minangkabau itu adalah pengikut Ali Ibn Sanusi, pendiri tarekat Sanusiyyah yang berpusat di Afrika Utara.
Salah satu jejak Sanusiyyah yang dapat dilihat kasat mata adalah pakaian putih-putih sebagai ciri khas mereka. Kaum Padri pun menggunakan pakaian putih-putih, sehingga mereka digelari juga dengan kaum putih.
Berat dugaan, tiga haji fenomenal itu berjuang atas nama Tarekat Sanusiah melawan Turki Usmani, dan bukan atas nama Gerakan Wahabi.
Tarekat Sanusiyah punya rekam jejak perlawanan yang panjang. Selepas menyebut tiga haji dan Padri, jejak perlawanan tarekat ini juga dapat dilihat dari perjuanagan Omar Mokhtar (1858-1931), seorang pengikut tarekat Sanusiyyah yang digelari Singa Padang Pasir (The Lion of Desert). Ia sangat ditakuti Italia di wilayah Afrika Utara.
Apa mazhab Tuanku Imam Bonjol?
Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat tahun 1772. “Ia adalah salah seorang anak kampung,” kata Jefrey Hadler dalam bukunya Sengketa Tiada Putus, Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (2010).
Selain belajar dari ayahnya, Khatib Bayanudin, ia juga belajar dari surau-ke surau. Belajar dari guru menurut spesialisasi mereka. Kemudian ia bergabung dengan surau ayahnya sebagai seorang guru.
Pada tahun 1792 ia bersama Datuak Bandaro, berguru kepada Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek, Agam. Tuanku Nan Tuo menganut aliran tarekat Naqsabandiyah. Tarekat ini dianggap lebih dekat dengan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Sunni).
Selain belajar ilmu agama, ia juga mempelajari keahlian pandai besi, dan silat. Azyumardi Azra dalam bukunya Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003) menulis, murid-murid Tuanku nan Tuo juga tersebut sebagai pesilat yang tangguh. Kata Azra, pelajaran silat merupakan bagian dari mata pelajaran terpenting yang diajarkan di surau-surau Minangkabau.
Berdasarkan riwayat pendidikannya tersebut, diduga kuat Tuanku Imam Bonjol adalah penganut Mazhab Syafi’i dan pengamal tarekat Naqsyabandi. Bukti lainnya, beliau mendapat semangat perjuangan dari sahabat dekat dalam tarekat Maulana Syekh Ibrahim Al-Khalidi Kumpulan, tokoh tarekat Naqsyabadiyah al Khalidiyah yang juga ditakuti Belanda saat itu.
Setelah membaca uraian di atas, sulit meyakini bahwa Tuanku Imam Bonjol dan Kaum Padri adalah pengikut kaum Wahabi. Apalagi harus mencari hubungan langsung antara kedua gerakan itu. Informasi tentang konflik mazhab dalam gerakan Padri pun tak tercatat.
Maka sudah pas bila Tuanku Imam Bonjol ditempatkan sebagai Pahlawan. Tokoh pergerakan pemurnian Islam, cum pejuang melawan penjajah Belanda. Bukan sebagai tokoh pelopor radikalisme salafi Wahabi.
Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang