PalantaLanggam - Hampir sebulan, sejak 22 Maret sampai 19 April 2019, enam filolog yang berasal dari tiga perguruan tinggi di Sumatera Barat yang terdiri dari Pramono, M. Yusuf, dan Yerri Satria Putra (Universitas Andalas), Ahmad Taufik Hidayat dan Chairullah (UIN Imam Bonjol), Yusri Akhimuddin (IAIN Batusangkar), dan dibantu dua orang dokumenter (Surya Selfika dan Harry Sofyan) mendeskripsikan dan mendigitalkan naskah-naskah koleksi Surau Simaung di Sijunjung.
Tim yang terdiri dari delapan orang yang juga tergabung dalam organisasi profesi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) cabang Sumatera Barat tersebut telah melakukan serangkaian penyelamatan isi dan fisik naskah di surau itu.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari misi yang dijalankan oleh program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA). Program ini dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, bekerja sama dengan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC), University of Hamburg, Jerman, atas dukungan dari Arcadia Fund, lembaga filantropi asal London, Inggris, yang mendukung pelestarian warisan budaya, lingkungan, dan peradaban dunia.
Menurut Data Manager DREAMSEA, M. Nida’ Fadlan, kegiatan di Surau Simaung merupakan misi ke-11 sejak diluncurkan pada 24 Januari 2018 lalu. Program ini bertujuan untuk melestarikan naskah Asia Tenggara yang berada dalam kondisi terancam rusak karena alasan apa pun (endangered) sekaligus memiliki nilai penting (affected) dalam konteks masyarakat Asia Tenggara.
Surau Simaung memiliki koleksi 88 naskah (20.914 halaman naskah) dengan lebih dari 200 teks (kandungan isi naskah) di dalamnya. Sayangnya, sebagian besar naskah yang tersimpan di surau yang terletak di Jorong Tapian Diaro Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat tersebut sudah rusak dan mendekati kerusakan.
Selain melakukan pelestarian melalui alih media digital, DREAMSEA juga memberikan pendampingan kepada pemilik naskah mengenai tata cara perawatan fisiknya.
Naskah-naskah yang sudah didigitalkan akan diolah dan diunggah dalam sebuah repositori (perpustakaan digital) yang dapat diakses lebih luas untuk kepentingan umum termasuk kepentingan akademik.
Melalui langkah tersebut, DREAMSEA membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengeksplorasi kekayaan khazanah masyarakat Asia Tenggara di masa lampau tanpa menghilangkan jejak kepemilikannya.
Adapun fisik naskah tetap disimpan oleh pemiliknya masing-masing.
Keragaman Koleksi Surau Simaung
Menurut A. Malin Bandaro Tuangku Mudo (pewaris dan tuangku Surau Simaung), 88 naskah itu merupakan peninggalan Syekh Kitabullah yang bergelar Syekh Malin Bayang (w. 1963). Naskah-naskah tersebut selama ini tersimpan di lemari dalam salah satu bangunan surau kecil di tengah-tengah dua surau besar.
Ruangan yang minim ventilasi dan penyimpanan naskah yang bertumpuk dengan benda lain membuat naskah banyak yang rusak.
Bahkan, ada dua naskah tebal yang sama sekali tidak dapat terbaca lagi karena kertasnya hancur.
Jika dibandingkan dengan koleksi naskah di surau-surau lain di Sumatera Barat, maka koleksi Surau Simaung lebih beragam teksnya.
Beberapa naskah yang cukup penting ditemukan di surau ini, seperti naskah Mîzân al-Qarb yang berisi empat bab.
Pertama, perhitungan tahun mulai dari perhitungan tahun dunia sejak zaman Nabi Adam, lahir Nabi Muhammad, dan hari kiamat. Kedua, tentang pembagian tahun Syamsiah dan Kamariah.
Ketiga, tentang sistem kalender hijriah taqwîm. Keempat, tentang penetapan puasa.
Dalam konteks wacana Islam lokal Minangkabau, teks takwim yang lengkap ini sangat penting. Perdebatan penentuan awal bulan dalam tahun Hijriah pernah menjadi perdebatan di kalangan ulama Minangkabau pada permulaan abad XX.
Selain tema takwim, naskah yang mengandung teks tentang takwil gempa dengan uraian yang panjang dan lengkap juga ditemukan di Surau Simauang.
Hal ini berbeda dengan naskah-naskah takwil gempa lainnya yang biasanya hanya berisi uraian singkat saja.
Dalam bidang tasawuf, koleksi Surau Simaung cukup lengkap, mulai naskah yang berisi ajaran martabat tujuh yang termuat dalam karya Syamsuddin Sumatrani (Rubai Hamzah Fansuri dan Tubayyin al-Mulahazah al-Mawwâhib wa al-Mulhîd Fî Zikrillâh); karya Syekh Abdurrauf Singkel (Tanbîh al-Masyi); bahkan salinan naskah karya Ali Sirnawi, guru dari Syekh Ahmad al-Qusyasi yang berjudul Mawâhib al-Khamsiyahdan; dan, karya Sayyid Mahumud al-Husni al-Bukhari al-Qadiri al-Syattari yang berjudul Diwâr al-Wujûd fi ‘Ilm al-Haqâ’iq.
Menariknya, di surau ini juga ditemukan naskah-naskah berkenaan dengan ajaran tasawuf dari tarekat Naqsyabandiyah yang ditulis oleh Arif Billah Ahmad Ibrahim.
Koleksi naskah di Surau Simaung juga diperkaya dengan naskah-naskah yang berisi teks pengetahuan tradisional, seperti cara menentukan kecocokan jodoh dengan menghitung nama pasangan, menenentukan kecocokan yang mengobati dengan yang diobati berdasarkan nama, melihat jenis pasangan dengan nama, melihat hal yang baik dan buruk berdasarkan pala (perjalanan) dan peredaran naga, bulan-bulan yang baik dalam satu tahun berdasarkan bulan-bulan yang dinamai dengan jenis binatang, hari yang baik untuk berjalan dan mendirikan rumah, meramal anak yang sedang dikandung apakah laki-laki atau perempuan, dan tanda-tanda gerak tubuh.
Penting juga dikemukakan bahwa, beberapa naskah di surau tersebut juga berisi teks genealogi tarekat Syattariyah di Minangkabau yang secara umum tidak diketahui sebelumnya.
Hal ini tentu saja menjadi informasi penting untuk mengungkap jaringan ulama lokal Minangkabau secara luas.
Potensi Naskah-Naskah Surau Simaung
Surau Simaung adalah surau tarekat Syattariyah yang hingga kini masih dikunjungi oleh ribuan penziarah setiap tahunnya. Surau ini merupakan salah satu tempat wisata religi ziarah.
Sepanjang tahun, ribuan orang datang ke surau-surau tersebut untuk berbagai tujuan, baik membayar nazar, berziarah ke makam ulama, dan lain-lain.
Sayangnya, naskah-naskah dengan kekayaan kandungan (sastra, sejarah, hagiografi, agama, pengobatan tradisional dan lain-lain) dan keragaman iluminasi (ragam hias di dalam naskah) yang tersimpan di surau-surau tarekat itu belum terkelola dan dikembangkan.
Padahal, melalui penerbitan edisi teks dan rekayasa iluminasi menjadi motif kain (batik) akan memberi peluang untuk pengembangan ekonomi kreatif masyarakat pendukung surau-surau tarekat di Sumatera Barat.
Terbitan edisi teks naskah dan rekayasa iluminasi tersebut dapat menjadi ‘buah tangan’ bagi penziarah atau wisatawan.
Selain itu, naskah-naskah yang sudah dikemas rapi saat ini, dapat dipajang untuk dilihat oleh penziarah.
Penziarah dapat melihat khazanah naskah tersebut sebagai warisan intelektual ulama pada masa lampau.
Tentu ini akan menjadi nilai lebih Surau Simaung sebagai tujuan wisata ziarah religi.
Selain itu, tentu saja melalui naskah-naskah koleksi Surau Simaung akan membuka penelitian-penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan, kesusastraan, kebahasaan, dan kajian-kajian dengan sudut pandang yang lain.
Semoga digital naskah koleksi surau ini segera dapat diakses secara daring oleh khalayak luas. Harapan besar ini sesuai dengan tujuan akhir dari program DREAMSEA, yakni terbentuknya sebuah repository naskah digital Asia Tenggara yang dapat dimanfaatkan secara luas untuk memperkuat persatuan dalam keragaman bangsa Asia Tenggara.
Bagi pemerintah, khazanah naskah koleksi Surau Simaung merupakan aset kebudayaan. Naskah-naskah tersebut merupakan salah satu objek penting dalam pemajuan kebudayaan.
Pemerintah melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017 telah menempatkan naskah kuno (manuskrip) pada urutan kedua dari sepuluh objek pemajuan kebudayaan yang telah ditetapkan.
Pemajuan kebudayaan di dalam undang-undang ini diartikan sebagai upaya meningkatkan ketahanan budaya dan konstribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan (Pasal 1 Ayat 3).
Pemajuan kebudayaan ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.