Risa Meutia Fiana sekali-kali menyeka air hujan yang membasahi kepala dan wajah dua orang anaknya. Hujan ringan nan awet ditampin tanpa membentengi diri dengan payung demi menanti lewatnya arak-arakan Kio (tandu) dan arakan Sipasan (sepesan atau lipan) pada puncak Festival Cap Go Meh, Minggu (5/2/2023).
Mereka memilih perempatan jalan (simpang Muaro Lasak) depan Masjid Al-Hakim dalam penantian arakan Kio dan arakan Sepesan. Lokasi yang sangat strategis, apalagi dekat dengan Masjid Al-Hakim untuk salat magrib yang segera berkumandang. Di sana, bahkan hingga menumpuk di serambi Masjid Al Hakim, ada ribuan orang dengan tujuan serupa; melihat sumarak pawai dalam rangkaian Festival Cap Go Meh yang sudah 2 tahun vakum akibat pandemi Covid-19.
Kirab budaya yang digelar komunitas Tionghoa Padang itu menebar kehangatan di tengah cuaca yang meniupkan kedinginan.
"Ingin mengenalkan ke anak-anak budaya lain selain budaya Minangkabau dan mengajarkan anak-anak mengenai toleransi sejak dini terhadap kaum minoritas," kata Risa, Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas yang jauh-jauh datang dari rumahnya di Kawasan Koto Lua, Kecamatan Pauh, Kota Padang, sekitar 20 km dari titik menyaksikan arakan Kio dan Sipasan.
Komunitas Tionghoa sejatinya adalah bagian integral Provinsi Sumatra Barat. Komunitas Tionghoa punya langgam dan ragam khazanah budaya yang berbeda tentunya dengan etnik lain di Sumatra Barat seperti Minangkabau, Mentawai, Nias, Jawa, Batak, dan lainnya. Namun ragam ini adalah kekayaan Sumatra Barat dalam bungkus kebinekaan.
Secara historis, mencuplik buku Orang Padang Tionghoa; Dima Bumi Dipijak Disinan Langik Dijunjuang karya Riniwaty Makmur, periodesasi kedatangan orang Tionghoa ke Padang atau Sumatra Barat, dapat dibagi 3 fase yakni, tatkala pedagang Cina berlayar ke nusantara dalam konteks berniaga. Mereka masuk dari sisi timur Pulau Sumatra, Selat Malaka, dan lalu masuk ke pedalaman Minangkabau.
Migrasi kedua adalah, bersamaan dengan kedatangan bangsa Eropa yakni sekitar abad 16. Hal ini masih urusan niaga, dengan magnet Selat Malaka dan Pariaman yang menjadi pusat ekspor komoditi penting zaman itu yakni lada dan emas. Ketiga, migrasi zaman Hindia Belanda, seiring meningkatnya aktivitas ekonomi.
Perantauan orang Tionghoa yang bermuara pada diaspora, membawa serta budaya dan adat mereka. Musim berganti, zaman berubah, namun adat dan budaya mereka tak lepuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Dalam praktiknya, adaptif dalam bingkai akulturasi. Salah satunya adalah tradisi Imlek dengan memanggungkan dan menjalankan Cap Go Meh.
Arakan Kio dan Arakan Sipasan menjadi puncak perayaan tahun baru Imlek (Kongzili 2574) atau Cap Go Meh di Kota Padang tahun 2023.
Wali Kota Padang Hendri Septa mengungkapkan festival tahun ini yang mengusung tema “Cap Go Meh Kita Bersama” mempunyai nilai ekonomi wisata yang dapat mendongkrak kesejahteraan warga kota Padang.
”Saya berharap agar tradisi kebudayaan ini dapat terpelihara. Ini wajib dilakukan untuk menarik wisatawan,” ujar Hendri Septa.
Dua tahun terakhir, Festival Cap Go Meh tidak dilaksanakan akibat pandemi Covid-19. Padahal biasanya digelar setiap tahun terhitung sejak 150 tahun yang lalu ketika komunitas Tionghoa mulai bermukim di Padang.
“Cap Go Meh Kita Bersama”, bukan slogan belaka. Sebab, Cap Go Meh tahun ini di Padang benar-benar menjadi festival keberagaman. Rangkaian kegiatannya menampilkan ragam budaya nusantara. Konten acara dan atmosfer yang menonton adalah perayaan kemajemukan.
Kolaborasi wushu dan silat yang dimainkan oleh anak muda lintas etnis dengan iringan gendang, tambur dan talempong menghibur warga. Pertunjukan marching band IPDN, tarian api, dan reog singa dari Dharmasraya turut meramaikan. Semua ini menjadi orkestrasi yang indah dalam memanggungkan Cap Go Meh sebagai festival kemajemukan.
Wakil Gubernur Sumatera Barat Audy Joinaldi mengatakan, Festival Cap Go Meh yang didukung pemerintah provinsi dan kota ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat Sumbar yang memiliki nilai toleransi dalam kesehariannya.
"Kita bisa lihat penontonnya bukan hanya etnis Tionghoa, semua masyarakat berbaur," kata Audy Joinaldi.
Albert Hendra Lukman, selaku perwakilan DPRD Provinsi Sumatra Barat sekaligus penasehat panitia Festival Cap Go Meh menyampaikan bahwa Festival Cap Go Meh ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan omset pariwisata, tapi juga untuk merawat keberagaman yang ada di Sumatra Barat khususnya kota Padang.
Agenda Cap Go Meh merupakan satu dari 77 even pariwisata Provinsi Sumatra Barat tahun 2023. Festival Cap Go Meh merupakan satu-satunya agenda tradisi budaya Tionghoa yang masuk menjadi salah satu even Provinsi Sumbar. Tiga even lainnya dari kebudayaan Mentawai dan selebihnya terkait budaya Minangkabau.
Pada tahun 2023, Pemprov Sumbar menganggarkan sebesar Rp.350 miliar untuk 77 even tersebut. Rangkaian kegiatan di even Cap Go Meh kali ini dianggarkan sebesar Rp.1 miliar.
Selain penampilan multikultural, festival ini juga mempertontonkan tradisi kebudayaan Tionghoa. Yang paling menarik adalah Pawai Sipasan, salah satu tradisi yang hanya ada dua di dunia, yakni Padang dan Taiwan.
Pawai Sipasan adalah rangkaian tandu yang disusun dari balok kayu menyerupai binatang sepesan dan dipikul bersama-sama orang dewasa. Tandu ditunggangi oleh anak-anak yang menggunakan pakaian daerah atau kostum dewa-dewi. Sedangkan pada kepala sipasan berbentuk kepala naga.
Dalam sejarahnya, Pawai Sipasan yang diadakan kongsi Hok Tek Tong atau Himpunan Tjinta Teman (HTT) di Padang 10 tahun lalu, atau tahun 2013. Pada saat itu, dinobatkan sebagai Karnaval Sipasan terpanjang di dunia yang masuk dalam Guinness World Record yakni 243 meter, jarak tempuh 1,9 kilometer, ditunggangi oleh 223 anak dan dipikul oleh 1.440 orang secara bergantian.
“Karnaval Cap Go Meh tahun ini, ada 22 papan yang akan dipikul untuk sipasan. 11 papan dari Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan 11 papan dari Himpunan Bersatu Teguh (HBT). 1 papan berukuran 4 meter dan dipikul oleh 8 orang setiap shift. Jadi 1 papan untuk rute 3,7 km dipikul oleh 24 orang. Jika ditotalkan, untuk 22 papan sepanjang 88 meter akan dipikul oleh 528 orang secara bergantian,” papar Humas Panitia Cap Go Meh 2023 Johnson Salean.
Wujud toleransi kian terasa, tatkala azan berkumandang di waktu salat Asar dan Magrib. Ketika masuk waktu azan Asar dan Magrib itu, seluruh kontingen pawai hening.
Menurut Johnson, Kio dari beberapa keluarga marga Tionghoa memeriahkan perarakan. Tahun ini ada 12 kio yang diarak yakni 1 dari keluarga marga Tjoa, 5 dari keluarga Marga Lie-Kwee, 3 dari HTT dan 3 dari keluarga marga Lim.
Tampil pula barongsai dan tarian naga. Uniknya meskipun barongsai dan naga yang turun berasal dari keluarga marga Huang, Lim, dan HTT, namun pemainnya berasal dari anak muda multietnis, tidak hanya Tionghoa.
Arakan kio dan arakan Sipasan yang dimulai sejak Minggu siang, diikuti 9 marga warga Padang keturunan Tionghoa. Arakan Kio dimulai dari rumah perhimpunan marga masing-masing, lalu singgah di Kelenteng See Hin Kiong. Selanjutnya, menuju tempat start pawai di Jalan Batang Arau dekat Jembatan Siti Nurbaya.
Pada saat pembukaan, kelindan kebudayaan Minang dan Tionghoa memberi hiburan pada penonton yang sudah berdatangan. Pertunjukan yang digawangi anak-anak muda itu menampilkan permainan musik dari gendang china (gendang shingu), tambua tansa dan talempong, randai, dan wushu.
Usai pembukaan, kirab Cap Go Meh dimulai dengan pertunjukan marching band Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sumbar. Selanjutnya, disusul oleh arak-arakan sipasan organisasi Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT), penari api, reog, kio masing-masing marga, dan sebagainya.
Festival Cap Go Meh 2574 sudah mulai dilaksanakan Kota Padang sejak Rabu (11/1) lalu. Festival ini berlangsung selama 15 hari, dengan puncak pada Minggu, 5 Februari 2023.
Risa dan keluarga adalah bagian dari ribuan warga Padang dan luar Padang yang tumpah ruah ke sejalan sepanjang 3,8 kilometer untuk menikmati puncak Festival Cap Go Meh 2574. Festival Arak-arakan Kio dan Sepasan Cap Go Meh. Ia dan keluarga kecilnya, merasakan betul denyut kebudayaan arakan Kio dan arakan Sipasan memanggungkan keberagaman.
Panitia Cap Go Meh Padang, Albert Hendra Lukman, menyebutkan penyelenggaraan Cap Go Meh di Padang untuk menunjukkan ke publik bahwa Provinsi Sumatra Barat punya kemajemukan dan toleransi terhadap perbedaan. "Kami ingin tunjukkan kemajemukan di Kota Padang ini," pungkasnya.
Bahasa Minang Pondok, Aksara Pembauran
Harmonisasi dalam keberagaman yang dipertontonkan sepanjang even Festival Cap Go Meh di Kota Padang adalah puncak toleransi di Kota Padang.
Perlu diketahui, dinamika pembauran berjalan dalam kehidupan sehari-hari di kawasan Pondok. Kelindan pembauran akarnya ada pada cara bercakap sehari-hari di Pondok, konsentrasi utama komunitas Tionghoa Padang bermukim dan beraktivitas secara ekonomi. Praktisi dan akademisi yang punya perhatian lebih pada komunitas Tionghoa Padang menyebutnya bahasa Minang Pondok.
Bahasa Minang Pondok menjadi pembeda komunitas Tionghoa Padang dengan komunitas Tionghoa lainnya di Indonesia. Sangat jarang terdengar komunitas Tionghoa Padang menuturkan bahasa ibu mereka; Hokkian.
Langgam Bahasa Minang Pondok ini, sudah menjadi jembatan interaksi dan keakraban yang penulis rasakan ketika nongkrong di kedai kopi dan limun, Jun, generasi penerus usaha Coffee Beer Eng Djoe Bo Baru di jalan Pasar Borong.
“E… Dia sudah balek pulang,” ujar Jun, kala saya bertanya, apakah Koko ada di belakang (sedang bikin limun).
Diksi balek salah satu contoh adopsi bahasa Minang yang dituturkan oleh komunitas Tionghoa di Padang. Balek artinya 'balik' dalam bahasa Indonesia, dan penyebutan dalam bahasa Minang adalah baliak.
Masih banyak diksi lain bentuk kelindan bahasa Minang dengan dialek ala komunitas Tionghoa Padang. Misalnya, menjawab (bahasa Indonesia); manjawek (bahasa Minang); menjawek (bahasa Minang Pondok). Hitung (bahasa Indonesia, ituang (bahasa Minang); etong (bahasa Minang Pondok).
Dia (bahasa Indonesia); inyo (bahasa Minang); inya (bahasa Minang Pondok). Bawel (bahasa Indonesia); nyinyia (bahasa Minang); nyinyi (bahasa Minang Pondok).
Riniwaty Makmur dengan nama Tionghoa Mak Yie Nie, seorang profesional dan penulis buku yang lahir di Padang, menyebutkan, pergeseran bahasa Minang ke bahasa Minang Pondok dibagi dalam tiga kelompok. Yakni, cenderung menghilangkan vocal ‘a’ atau ‘I’ , dan menggantinya dengan vocal ‘e’ atau ‘o’. Contohnya adalah batuak (batuk) menjadi batok.
Lalu yang kedua, dalam bahasa Minang pada bagian depan ada imbuhan ‘ma’, ‘ta’, ‘ba’, sementara bahasa Minang Pondok diganti dengan ‘me’, ‘te’, ‘be’. Contoh, takilok (terkilir) menjadi tekilok.
Ketiga, imbuhan ‘nyo’ di belakang kata diganti menjadi ‘nya’. Contoh, apaknyo (ayahnya) menjadi apaknya.
Larry A. Samovar, Richard E. Porter, & Edwin R. McDaniel dalam Komunikasi Lintas Budaya (2010), menjelaskan, berhubung gaya komunikasi mungkin berbeda, maka setiap pelaku komunikasi harus mencari jalan tengah. Proses pencarian ini membutuhkan fleksibilitas dan adaptasi.
Dikatakan Riniwaty, umumnya jalan tengah akan diambil oleh kelompok pendatang atau minoritas sebagai pihak yang harus mengalah dan fleksibel, sehingga melakukan adaptasi.
“Situasi itulah yang terjadi pada komunitas Tionghoa di Padang secara umum. Mereka telah menempuh jalan tengah (fleksibel dan adaptif) dalam berkomunikasi dengan etnik mayoritas Minangkabau. Jalan tengah tersebut melahirkan evolusi bahasa Minang Pondok, yang pada gilirannya menjadi ciri dalam identitas etnik Tionghoa di Padang. Identitas itu merupakan hasil konstruksi yang tidak terlepas dari pengaruh lokal dan interaksi sosial dengan masyarakat Minang,” papar Rini.
Bahasa sejatinya adalah bagian kebudayaan. Bahasa merepresentasikan sistem nilai, kepercayaan, persepsi, dan norma-norma. Dan bahasa Minang Pondok adalah jembatan gumul pergaulan yang mencair penuh kehangatan. Bila minum kopi atau mencicipi kuliner di Kawasan Pondok, hal ini akan terasa, hal ini menjadi penghangat di antara mereka yang ada di sana; tak peduli etnisnya apa. Semua bercengkrama dengan tuturan bahasa Minang_bahasa Minang Pondok, semuanya bercampur aduk.
Cara komunikasi orang Tionghoa di Padang demikian, adaptif di lingkungan mayoritas, sebetulnya sama dengan langgam orang Minang di perantauan. Cara bertahan dalam bingkai harmonisasi, berpijak pada petuah; dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang (di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung).
Artinya, seseorang harus mampu beradaptasi dengan masyarakat atau tempat di mana ia berada dengan menghargai adat dan budaya tempatan tanpa harus kehilangan jati dirinya.
Gunawan (Gho Tjeng Lie), Humas HBT, satu dari 2 kongsi besar (satunya lagi HTT) di kalangan komunitas Tionghoa Padang, sehari-hari juga menerapkan bahasa Minang Pondok ini. Menurutnya, dialek Tionghoa Padang seperti perpaduan bahasa Minang dengan bahasa Indonesia.
“Khas ini. Bahkan, orang keturunan India di Padang kini bicara seperti dialek Tionghoa Padang. Dialek Tionghoa Padang lah genrenya,” katanya, tempo hari.
Menurut Gho, orang Tionghoa Padang sudah tidak pandai lagi bahasa leluhurnya. Walakin, adat istiadat dan tradisi tetap dipegang seperti sembahyang bulan 3 dan bulan 7 untuk arwah, dan lainnya.
“Dalam perkawinan dan kematian tetap dipegang. Tahun 1965 tidak ada lagi sekolah khusus Tionghoa,” tukasnya.
Ketua Dewan Masjid Sumbar Duski Samad menilai komunitas Tionghoa Padang, dari sisi pembauran, tidak sama dengan Tionghoa di tempat lain. Sebab, kata Duski, mereka sudah biasa menggunakan Bahasa Minang. "Interaksi di Tanah Kongsi bahkan menyatu dengan orang Minang," ujar Guru Besar Ilmu Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang ini.
Sudah Saling Memahami, Terlalu Naif Dibenturkan
Gho Tjeng Lie mengingat kembali masa-masa pada dekade 1970-an, kala usianya masih belasan tahun. Masa itu ada klub sepak bola yang cukup punya nama bernama Cinkama, kepanjangan dari Cino Kaliang Malayu.
Markas klub ini di Tepi Pasang dan Kota Berlian (Dobi II dan III). Sementara gelanggang mereka bermain bola berlangsung di lapangan Imam Bonjol dan juga lapang Dipo (Tamam Budaya).
“Klub bola ini tidak profesional. Hanya klub bola yang kebetulan diisi oleh mereka dari etnis Minang, Cina, dan Keling (India). Artinya guyub bersatu, bersama, harmonis. Untuk gurau dan wujud keakraban,” ungkap Gho Tjeng Lie, Ketua II Marga Go ini.
Gho Tjeng Lie melebarkan lagi dinamika kehidupan yang berkelindan harmonisasi di Padang. Misalnya di Pasar Tanah Kongsi, kata Gho, meski letaknya di Pondok, namun dari dulunya sudah didominasi tiga suku yakni Minang, Cina, Nias. Mereka penjual, dan mereka juga pembeli.
Menurutnya, sampai saat ini relasi antara mereka keturunan Tionghoa dengan orang non Tionghoa di Padang dan Sumbar umumnya berjalan dalam rel yang penuh keharmonisan.
Pengalaman Riniwaty Makmur juga menyingkap betapa toleransi sudah membumi di kawasan Pondok sedari dulu. Akhir 1970-an, Riniwaty yang kala itu berusia sekitar 8 tahun, bermain sepeda di kawasan pasar Tanah Kongsi. Namanya anak-anak, bermain tentu tak keruan, kayuh sepeda ke sana sini. Sampai pada akhirnya ia menyenggol seorang amai (sebutan perempuan agak tua di Minangkabau).
Ia kena omelan. Cukup lama. Bahkan Amai itu menahan sepeda Rini. Untung saja, waktu itu lewat Mak Hasan, salah seorang pedagang durian musiman yang biasanya berjualan di Kawasan Pondok. Singkat cerita, Mak Hasan itu membebaskan Rini dari belenggu kemarahan si Amai. Termasuk melepas sepedanya.
“Mak Hasan dan Amai bercakap-cakap dalam Bahasa Minang, entah apa yang mereka bicarakan. Tidak lama kemudian, Mak Hasan mengambil sepeda dari pelukan Amai. Kemudian, ia mengembalikan sepeda itu kepada saya,” tulis Riniwaty Makmur dalam bukunya, Orang Padang Tionghoa, Dima Bumi Dipijak , Disinan Langik Dijunjuang.
Kontemporer, relasi harmonisasi antaretnik terpatri di kedai kopi yang bertebaran di kawasan Pondok. Warung kopi yang dikelola komunitas Tionghoa juga pusat interaksi, sekaligus bursa informasi.
Bahkan dalam satu titik, ada kolerasi antar pedagang kuliner, orang Tionghoa dengan orang Minang. Misalnya di kawasan Simpang Kinol. Jika mengopi di warung kopi Saudara yang dipunyai Om Yan. Untuk mencicipi sate, martabak mesir, cukup panggil saja pedagang di luarnya. Yang berjualan itu orang Minang. Setelah menyantap semuanya, pembayaran cukup ke Om Yan saja. Nantinya ia membagi-bagikan ke masing-masing pedagang.
Nah, bisnis kuliner yang tak mengenal etnis bahkan kepercayaan terlihat gamblang di Warkop Rudi Nipah. Usaha yang dirintis oleh almarhum Rudy Iskandar itu bahkan menjadi salah satu favorit siapa pun, kalangan mana pun, untuk sarapan pagi. Sebab semuanya di sana lengkap. Mulai dari kopi hingga teh telur untuk minuman. Dan ketupat sayur (Padang) hingga beragam masakan minang lainnya.
Ridwan Tulus, salah seorang operator pariwisata sohor di Indonesia yang bermukim di Padang, termasuk pelanggan setia Warkop Nipah. Menurut Ridwan, hal yang membuat betah di sana, karena disediakannya tempat salat. Sehingga di sela-sela menikmati sarapan pagi, untuk menjalani salat Duha, tak perlu jauh-jauh, cukup di kedai itu saja.
Duski Samad pernah punya pengalaman tahun tinggal di kawasan Pondok. Ia mengingat kembali masa itu, tahun 1988 hingga 1992, tinggal di rumah mertua yang berjualan nasi Padang bernama Cimpago di persimpangan Pasar Batipuh, dekat masjid Muhammadan. Ketika itu, Duski sudah menjalani kehidupan sebagai seorang dai atau ustaz. Kendati begitu ia merasakan atmosfer pembauran yang mencair.
"Tinggal 4 tahun di sana, pembauran sebagai pergaulan biasa. Walau di tingkat elite masih ada perbedaan, tapi di level masyarakat biasa saja. Proses belanja di kedai biasa saja. Intinya sudah selesai. Kebiasaan makan di kedai Cina, kedai kopi, sudah lama saling memahami. Belanja di Tanah Kongsi, membeli orang awak, menjual mereka," beber Duski.
Ketua Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang Muhammad Taufik mengatakan, kegemaran orang non Tionghoa berboga dan mengopi di Pondok, karena tak ada keraguan soal pengolahan makanan dan minuman yang mereka lakukan. Ada keyakinan mereka mengolahnya sesuai prinsip agama (Islam).
"Tidak ada wasangka. Menariknya lagi tentu saja kemampuan mengakomodasi fasilitas tempat salat bagi muslim seperti di Warkop Nipah," ujar Taufik.
Daya tahan harmonisasi lainnya yang dirajut komunitas Tionghoa, menurut Taufik adalah kemampuan mereka beradaptasi dan terbuka. Dan sebaliknya sikap keterimaan juga dari etnik mayoritas seperti Minangkabau. Harmonisasi bahkan melintasi kesakralan dalam adat.
Misalnya yang dilakukan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nan Salapan Suku Nagari Padang yang menganugerahi gelar sangsako adat Minangkabau untuk Ferryanto Gani dengan gelar Sutan Rangkayo Nan Mudo.
KAN adalah Lembaga adat Minangkabau di tingkat nagari yang bertugas sebagai penjaga dan pelestari adat dan budaya Minangkabau.
Jauh sebelum itu, Oei Ho Tjeng (Wijaja Setia Budi), toako HTT periode 1971-1975, aktif di kepengurusan harian LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau). Oei Ho Tjeng dianggap sebagai salah satu ‘penghulu’ anak kemenakan orang Minang yang mewakili suku Tionghoa menjadi alasan LKAAM memberi ia gelar kehormatan sebagai ‘Datuak.
Toako Oei Ho Tjeng juga veteran perang kemerdekaan RI dengan peran membantu kebutuhan logistik selama perang. Ia mendapat penghargaan dari Musyawarah Besar Niniak Mamak Pemangku Adat Alam Minangkabau Sumbar.
Menurut Riniwaty, Toako juga memainkan posisi strategis dalam membina hubungan ke luar seperti LKAAM dan lembaga-lembaga lain yang diterima di dalam struktur masyarakat lokal.
Riniwaty menilai, posisi adaptif orang Tionghoa Padang, karena dilandasi hidup sebagai kelompok minoritas di tengah masyarakat Indonesia yang plural menjadi hal yang tidak mudah untuk dijalani etnis Tionghoa di Indonesia.
Secara historis, kebijakan Pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan etnis Tionghoa sebagai kelompok yang terpisah dan berbeda dari masyarakat tempatan.
"Sejumlah catatan tindak kekerasan yang menimpa etnis Tionghoa dari berbagai rezim politik di Indonesia menunjukkan bahwa posisi etnis ini sangatlah rentan, baik dalam tataran lokal maupun nasional," ujarnya.
Miniatur Keberagaman, Hal yang Alamiah
Namun situasinya agak berbeda di Padang. Pada masa-masa krisis seperti kasus 1998, apa yang dialami orang-orang Tionghoa di Padang tak separah seperti yang terjadi di Glodok dan sekitarnya di Jakarta, atau kota lain seperti Medan.
Muhammad Taufik salah seorang eksponen reformasi 1998, mengingat kembali, adanya perlindungan dari niniak mamak di Kota Padang untuk komunitas Tionghoa Padang.
"Dalam kasus 1998, waktu reformasi, kan banyak eksodus orang Tionghoa di Padang, karena situasi saat itu. Mereka eksodus ke Pekanbaru, Jakarta, luar negeri, dan sejumlah kota lainnya. Maka niniak mamak di Kota Padang, melakukan himbauan dengan mengajak orang Tionghoa balik lagi. Karena selama ini kehidupan kita yah, komunitas Tionghoa di Padang penuh kedamaian," ungkap Taufik.
Dia menilai perlakuan seperti itu tak akan didapatkan oleh komunitas Tionghoa asal Medan, Pekanbaru. Justru yang terjadi, menurut Taufik, kemungkinan besar adalah resistensi. Hal ini dipicu dengan cara masuk komunitas Tionghoa Medan dan Pekanbaru, tak mempertimbangkan langgam dan dinamika kehidupan orang Minang sebagai etnis mayoritas misalnya.
"Ada ikatan kultural Tionghoa (Padang) dengan orang Minang sendiri. Terutama isu Jakarta. Di Minang, tak ada persoalan secara ideologis. (Ada paham) tidak mungkin orang Tionghoa jadi orang Minang, maka eksistensi Minang aman-aman saja," kata Taufik.
Mengiang di benak Taufik, ada semacam kesepakatan dalam ranah niaga, bahwa orang Minang bermain di eceran, orang Tionghoa bermain di grosir. "Ini seperti bangunan relasi, orang Minang tak menganggap orang Tionghoa itu suatu masalah," imbuh dosen Sosiologi Hukum UIN Imam Bonjol Padang ini.
Sejarawan Ernawati menyebutkan, budaya itu identitas diri mereka (komunitas Tionghoa Padang). "Tidak mungkin jadi orang Padang. Padang kota plural. Walau dominasi etnis Minang tinggi, tapi Padang adalah kota metropolitan. Maka mereka masih bisa mempertahankan budaya mereka," kata Ernawati.
Ernawati yang intens mengkaji dan menulis komunitas Tionghoa di Padang, lebih jauh menjelaskan, komunitas Tionghoa Padang yang merupakan orang-orang Hokkian, adalah pedagang, seperti halnya orang Minang. Sehingga cara mereka masuk itu pun dengan kaidah atau adat orang berdagang.
"Kehidupan sehari-hari mereka sebagai orang Hokkian, orang-orang yang berdagang, maka membangun relasi dengan pedagang lainnya, baik dengan orang Minang, India, Arab. Tapi kelebihan mereka adalah punya jaringan internasional karena punya modal. Maka di sana bangun kerja sama," tandasnya.
Sesama pedagang, menurut Ernawati, Tionghoa Padang orangnya rendah hati. Karena menyadari hidup sama dengan orang yang juga pengusaha seperti orang Minang.
Hal ini terlihat di segi barang dagangan, dimana dia berdagang. Contoh kecil Pasar Gadang, dari Pondok sampai ke Ranah, itu ada 6 pasar, Kata Erniwati, mereka saling menjaga etika karena sama-sama pedagang.
"Menjaga keselarasan. Ruang berdagang tidak sampai ke bawah (kaki lima dalam artian masif). Mereka agen kebanyakan," ujar Erniwati.
Seiring perkembangan zaman, komunitas Tionghoa Padang semakin terbuka. Bahkan, mereka keluar dari zona nyaman dari sisi pemukiman. Kampung Pondok yang melekat dengan mereka adalah cerita dulu. Kini, Tionghoa Padang sudah menyebar ke mana-mana, bermukim di kompleks perumahan, sehingga mewarnai perumahan itu dalam konteks kemajemukan.
"Mereka keluar dari zonasi ditetapkan kolonial Belanda," tukas Taufik.
Perumahan yang menjadi konsentrasi bermukim komunitas Tionghoa Padang adalah perumahan Cendana di Mata Air, perumahan Jondul Rawang.
Berbeda dengan wilayah Pondok dimana mereka tersekat dan berada jauh dari pertemuan dengan pribumi, dan tanpa tembok-tembok bata yang tebal dan kokoh sebagaimana lazimnya bangunan tinggalan kolonial.
Yudhi Andoni dalam sebuah jurnal berjudur, Antara Menjadi Urang Awak dan WNI:Perumnas dan Etnis Turunan Tionghoa di Kota Padang, menerangkan, di Jondul dan Cendana Tionghoa peranakan mesti berbagi ruang publik dengan etnis lain. Kehadiran mereka di dua pemukiman di kota Padang karena bagian dari hak sebagai warga negara sesuai UU No. 1 tahun 1964 dan kemudian disempurnakan dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang perumahan. Selain itu, juga sebagai bagian pelaksanaan politik asimilasi publik mereka oleh rezim.
Menurut UU No. 5 tahun 1992, bab 3, pasal 5, huruf 1, bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/ atau menikmati dan/ atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Dalam pasal 25 UU ini juga disebutkan para pengembang pemukiman mesti juga menyediakan sarana-sarana publik atau utilitas umum.
Dengan demikian, dengan dibolehkannya komunitas Tionghoa peranakan tersebut tinggal dan memiliki rumah secara hak milik di dua pemukiman, secara langsung negara sudah mengakui mereka sebagai warga negara.
Selain itu, penyediaan ruang publik dan tata ruang yang “demokratis” telah memungkinkan para penghuninya saling sapa dan tegur tanpa tersekat-sekat oleh tembok dinding pemisah, serta pagar yang tinggi.
“Gang Indonesia saya namakan demikian, karena komposisi penduduknya yang heterogen, merupakan gambaran yang unik bagaimana relasi Tionghoa peranakan berinteraksi sebagai warga negara yang sadar dengan etnis lain," ujar Yudhi Andoni, sejarawan Universitas Andalas yang meneliti intens soal pembauran ini.
Yudhi menambahkan, ketika mereka mulai menghuni rumah-rumah mereka di tahun 1990/1991, anak-anak merupakan langkah awal yang baik untuk mempertemukan mereka.
Menurut Yudhi, anak-anak itu membimbing tangan orang tua mereka untuk saling mengenal, dan akhirnya membentuk kehidupan sosial yang cukup harmonis. Selama menjadi warga di Perumnas itu dari kurun 1989-1995, yang menarik adalah potensi konflik yang ada justru melibatkan antara Minang-Minang, dan Tionghoa peranakan-Tionghoa peranakan. Bukan di antara dua etnis, atau dengan etnis lain.
"Seingat saya tidak ada konflik yang melibatkan dua etnis ini. Konflik di sini lebih karena persoalan anak, tidak menyangkut hal yang sensitif seperti agam, dan sebagainya. Ada tiga ruang dan arena publik yang mempertemukan Tionghoa peranakan itu; lepau atau warung kecil, jalan setapak, dan hari-hari besar agama," tandas Yudhi.
Sejarah panjang dan segala dinamika pembauran komunitas Tionghoa di Padang, tentu sangat memprihatinkan dengan kemunculan kelompok-kelompok tertentu untuk mengutak-atik rajutan harmonisasi tersebut.
Duski Samad menyebutkan, berhubung negara kita menjunjung kebebasan, imbasnya semua orang punya intrik masing-masing. Dia menyarankan ke Pemda untuk menyikapi dengan bijak.
Pertama, sikapi dengan bijak, bahwa kebudayan itu universial, kebudayaan itu hiburan bagi masyarakat. Karena kebudayaan, hiburan, kita pahami sebagai relasi sosial, sejarah, dan kemanusiaan.
"Sebagai realitas kebudayaan, sebelum lahirnya budaya kini, budaya kan melekat," ujarnya.
Kedua, sambung Duski, jangan tunjukkan arogansi. Ketiga, bahwa konteks negara semuanya punya peran masing-masing, tapi sama menjaga peran itu.
"Budaya cukupkan budaya, jangan naikkan kelas menjadi kelas (keyakinan agama). Bermasalah dia. Kalau seperti itu, maka harmonisasi bisa terancam," tukasnya.
Sebenarnya, kata Duski, di Kampung Pondok itu, sudah selesai semua. Tak ada benturan soal agama. Ia mengingat kembali semasa tinggal di Pondok, dimana obrolan di warung kopi itu dihiasi soal perasaian, atau omongan politik saja.
"Bagi saya kehidupan di Pondok itu bagian dari miniatur keberagaman. Jadi hal yang sudah kultural. Mensejarah saja, tak ada masalah. Melihatnya secara alamiah saja. Tak perlu dihebohkan. Dengan cara dia tak pernah bersinggungan dan menyinggung sekali pun," pungkasnya.