Memoar Kemesraan Muhammadiyah-Nahdhatul Ulama Versi Prof Haedar-Gus Yahya

Memoar Kemesraan Muhammadiyah-Nahdhatul Ulama Versi Prof Haedar-Gus Yahya

Ketua PW Muhammadiyah Sumbar Shofwan Karim. [Dok. Muhammadiyah Sumbar]

Pada Ahad pagi, 4 September lalu datang berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (Ketum PB NU) dengan Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Ketua Panitia Pelaksana Religion Twenty (R20) Ahmad Suaedy.

Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah didampingi oleh Sekum, Prof. Dr. Abdul Mu’ti dan Ketua Hajriyanto Y Tohari, menyambut dengan hangat.

Ketum PB NU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyimpulkan seperti dikutip situs resmi Muhammadiyah.or.id, tujuan silaturrahim petinggi Ormas tadi adalah sebagai berikut.

Pertama, silaturrahim awal setelah Gus Yahya terpilih sebagai Ketum PB NU di Muktamar Lampung 22-24 Desember 2021.

Kedua, memperkuat dan memperat kerjasama kedua Ormas Islam terbesar di dunia itu.

Ketiga, mengundang Muhammadiyah hadir pada pertemuan besar Religion for Twenty (R-20) di Bali, 3-4 November 2022.

Kunjung-berkunjung antara petinggi kedua Ormas itu sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Indonesia.

Bukan kali ini saja, sudah setiap masa periode kepimpinan dua organisasi umat yang lahir sebelum kemerdekaan ini telah melakukan hal yang sama.

Tidak diragukan lagi sejak Muhammadiyaah lahir 1912 dan NU 1926, silaturrahim itu telah menjadi tradisi.

Bahkan oleh Ustazd Adi Hidayat (UAH) diviralkan dalam Channel YouTube bahwa pendiri kedua organisasi besar ini, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari adalah satu nasab keatas dari kakek-buyut mereka dalam rentang silsilah yang dekat.

Akan tetapi apakah “kemesraan” tingkat nasional itu sampai kebawah cukup merata? Tentu saja tidak serta merta dapat dijawab, ya atau tidak.

Pada daerah, wilayah atau provinsi tertentu keadaan itu mungkin, ya. Akan tetapi pada wilayah lain, bisa jadi, tidak. Baik itu secara kuantitatif maupun kualitatif, apalagi kasat mata.

Memoar ASM-AHM

Di Sumatera Barat, pada pasca reformasi, nuansa itu terasa amat akrab antara Muhammadiyah dan NU. Hal itu lebih kepada memoar atau kenangan indah.

Terutama di masa kepemimpinan nasional Muhammadiyah di tangan Buya ASM (Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, 1998-2005) dan NU di bawah kepemimpinan AHM (Drs. KH Ahmad Hasyim Muzadi, 1999 – 2010).

Di Sumbar kala itu PWM diketuai oleh Shofwan Karim. Dan PWNU di bawah kepemimpinan M Kasli.

Ahmad Hasyim Muzadi, AHM (8 August 1944 – 16 March 2017) dan Ahmad Syafii Maarif, ASM (31 Mei 1935 – 27 Mei 2022) sering datang sendiri-sendrii dan sekali-sekali berdua berkunjung ke Sumatera Barat dalam masa kepemimpinan mereka.

Untuk yang sendiri-sendiri, tentulah tidak perlu ditayangkan di sini. Akan tetapi yang datang berdua untuk satu tujuan, merekat silarurrahim antara tokoh serta warga Muhammadiyah dan NU di Sumbar, tentulah sangat bermakna.

Terutama bagi warga akar rumput kedua persyarikatan dan jam’iahini. Dan selebihnya menjadi uswah bagi masyarakat di Sumbar secara umum kala itu.

Sewaktu Jusuf Kalla Wakil Presiden RI, 2 Periode, 2004-2009; 2014-2019 dan sebelumnya JKmenjabat Menko Kesra 2002 di bawah Presiden Megawati ada silaturrahim yang amat kompak.

Ketiga tokoh ini, JK, ASM dan AHM menjadi pembicara kunci dan narasumber suatu agenda Dialog Interaktif Muhammadiyah-NU melawan korupsi.

Agenda itu berlangsung di Asrama Haji Parupuk Tabing pada ujung tahun 2002. Ada sekitar seribuan orang yang menjadi peserta. Tentu saja yang hadir lintas Ormas dan tokoh serta masyarakat luas kala itu.

Menko Kesra JK menjadi pembicars kunci dan membuka acara, serta ASM dan AHM menjadi nara sumber seminar berformat talk-show kala itu.

Sketsa itu membawa kepada suasana sejuk bagi Ormas Islam terbesar itu di Sumbar. Bahkan belakangan, ketika AHM datang sendiri ke Sumbar, beliau dengan hati lapang dipersilahkan oleh PW Muhammadiyah menjadi Khatib Shalat Jumat di Masjid Raya terbesar Muhammadiyah Sumbar Jl. Bundo Kandung No. 1 Padang kawasan Pasar Raya.

Konon, belum pernah ada tokoh apalagi Ketua Umum PB NU yang dipersilahkan menjadi Khatib Jumat di Masjid Muhammadiyah yang seperti itu.

Kini, apa yang terjadi? Setelah berlalu memoar masa kepemimpinan dua tokoh bangsa tadi, antara ASM dan AHM, dari daerah atau wilayah provinsi, hubungan kedua persyarikatan dan jam’iahitu, tampaknya lebih bersifat formalistik. Tentu saja ada yang tetap substantistik-bermakna. Walaupun keadaan yang terakhir ini sulit dilacak.

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) di Lampung, Jumat (24/12/2021) memilih Yahya Staquf sebagai Ketua Umum PB NU. Beliau baru datang silaturrahim ke PP Muhammadiyah seperti pada intro tulisan ini, Ahad, 4 September 2022 kemarin.

Ini berarti memerlukan rentang waktu lebih kurang 9 bulan pasca Muktamar NU tadi. Apa makna tersirat?

Boleh jadiGus Yahya menunggu Pak Haedar untuk datang ke Kantor PB NU bersilaturrahim sekaligus mengucapkan selamat. Akan tetapi penantian itu terlalu lama. Maka dengan lapang dan besar hatiGus Yahya datang.

Makna lain, di sisi Pak Haedar. Yang harus datang ke PP Muhammadiyah tentu “squad” GusYahya yang terpilih ujung tahun 2021 itu untuk mengenalkan diri.

Secara senioritas, Pak Haedar terpilih sebagai Ketum Muhammadiah pada awal Agustus 2015. Artinya secara kepemimpinan Ormas, beliau yang kini sudah mau 7 tahun memegang pucuk tertinggi Muhammadiyah, secara tradisi harus menunggu.

Lebih dari itu, mungkin juga Pak Haedar akan berkunjung ke PB NU dalam waktu yang tidak lama, kalau Gus Yahya tidak datang. Walaupun mungkin, tepat setelah Gus Yahya terpilih pekan akhir 2021 lalu, Pak Haedar sudah mengucapkan selamat via telepon langsung atau daring. Apalagi masa itu Pendemic Covid-19 masih menjadi momok.

Jadi soal kunjung berkunjung atau silaturrahim luring-off line tidak terlalu mendesak dan urgent.

Baca Juga: Kenang Buya Syafii Maarif, Ketua PW Muhammadiyah Sumbar: Beliau Orang yang Rendah Hati

Ataukah dapat dipahami lain. Misalnya, Gus Yahya melihat mata angin. Kemana arah angin akan bertiup pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, 18-20 November 2022 nanti? Akankah Pak Haedar akan terpilih lagi sebagai Ketum PP Muhammadiyah 2022-2027?

Kalau ini yang menjadi pemahaman lain itu, maka Gus Yahya dapat dianggap mempunyai “filling-naluri”, bahwa Pak Haedar masih tetap pantas menjadi partner kepemimpinan Ormas terbesar ini pada periode berikutnya. Maka kunjungannya ke PP Muhammadiyah kemarin itu tidaklah terlambat amat.

Dan nostalgia memoar ASM-AHM, kemesraan Muhammadiyah-Nahdhatul Ulama hidup kembali. Paling tidak, sekarang adalah versi Haedar-Gus Yahya. Wa Allah al-‘alam bi al-shawab.***

Shofwan Karim adalah Ketua PW Muhammadiyah Sumbar 2000-2005 dan 2015 hingga sekarang, Ketua Umum Pusat Kebudayaah Minangkabau-YPKM dan Dosen Pascasarjana UM Sumbar.

Tag:

Baca Juga

Tiket Terakhir Olimpiade Paris, Andre Rosiade Semangati Punggawa Timnas U23
Tiket Terakhir Olimpiade Paris, Andre Rosiade Semangati Punggawa Timnas U23
Momen Wisuda ke 81, UBH Catat Sudah Luluskan 57.990 Alumni
Momen Wisuda ke 81, UBH Catat Sudah Luluskan 57.990 Alumni
Targetkan Raih Indeks SAKIP Predikat A, Sekda Hansastri Minta OPD Pemprov Sumbar Maksimalkan Peran
Targetkan Raih Indeks SAKIP Predikat A, Sekda Hansastri Minta OPD Pemprov Sumbar Maksimalkan Peran
Raker APEKSI di Pekanbaru, Wawako Padang Pamit ke Rekan Sejawat
Raker APEKSI di Pekanbaru, Wawako Padang Pamit ke Rekan Sejawat
KAI, kereta padang pariaman
Gubernur Sumbar: Rencana Reaktivasi Jalur Kereta Api Sudah Masuk RPJP
Milad PKS, Hidayat Nur Wahid Titip Pesan ke Mahyeldi
Milad PKS, Hidayat Nur Wahid Titip Pesan ke Mahyeldi