Memahami Pedusi Minangkabau

Pedusi Minang

Fotograaf: C.B. Nieuwenhuis Sumber: delpher.nl

Langgam.id - Suatu hari yang bergelimang cahaya, saya menyambangi rumah berkonstruksi panjang dengan pagar diselimuti tanaman pekarangan, di kawasan Lapai, Padang. Di ruang tengah, seorang perempuan tua empunya rumah tengah duduk di sofa. Baju kuruang basiba— pakaian pedusi Minang, membungkus sekujur tubuhnya, dengan paduan kerudung hitam menutup kepala, hal yang menegaskan dia adalah perempuan yang menjunjung tinggi cara berpakaian sesuai adat dan tradisi Minang.

Puti Raudha Thaib atau Buk (Bundo) Upik, begitu dia dikenal banyak orang, wajar bila baju bakuruang basiba amat lekat dengan kesehariannya, sebab dia adalah pewaris Kerajaan Pagaruyung dengan nama pada ranji, Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib.

Ia terlahir dari pasangan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Basa dan Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang.

Sebab itu, Puti Raudha Thaib tak bisa mengelak dari takdir, sebagai limpapeh rumah gadang, persisnya Istano Salinduang Bulan— rumah gadangnya pewaris Pagaruyung.

Limpapeh dalam tafsiran adat digambarkan bahwasannya wanita Minangkabau yang mendiami rumah gadang, adalah wanita yang dihormati  atau ditinggikan (atau anjuang yakni bagian yang ditinggikan pada rumah gadang) di setiap kaum.

Seringkali mereka disebut bundo kanduang atau mande sako. Gelar mutlak milik perempuan sekaligus ‘hierarki’ tertinggi dalam struktur etnis penganut sistem matrilineal; garis kekerabatan atau keturunan yang berlaku di Minangkabau.

“Mande Sako di Istano Salinduang Bulan ada 6 orang, tapi didahulukan selangkah saya,” ujar Raudha Thaib.

Dewasa ini, Raudha Thaib memainkan peran sebagai bundo kanduang pada dua arus dengan muara yang nyaris sama. Pada pewaris Kerajaan Pagaruyung, dia menjadi limpapeh Istano Salinduang Bulan, dalam pengertian bundo kanduang atau mande sakonya. Sementara di organisasi Bundo Kanduang Sumatra Barat, dia menjadi ketua dengan rentang waktu hingga tahun 2021.

Dia representasi dari pewaris Pagaruyuang karena kedalamannya memahami soal adat dan nilai-nilai Minang. Di internal Pagaruyung, dia menjadi mandeh sako yang didahulukan selangkah, dalam pengertian tempat bertanya, dan tempat berembuk (baiyo).

Sultan dr. H. Muhammad Farid Thaib Tuanku Abdul Fatah yang menyandang gelar Raja Alam Minangkabau Pagaruyung Darul Qorror adalah adik Raudha Thaib. Bukan sekedar kakak, bagi Sang Raja, Raudha Thaib adalah muara pengaduan, sekaligus tempat bertanya untuk urusan Paguruyung.

Raudha Thaib adalah perempuan yang sulit ditafsirkan tunggal dalam konteks rutinitasnya. Dia adalah Guru Besar Pertanian Universitas Andalan, dengan keahlihan benih. Di kalangan budayawan dan sastrawan, dia dikenal dengan sebutan Upita Agustine, dengan seabrek karya.

Istri mendiang budayawan Wisran Hadi ini, bukan hanya produktif menulis proses kreatif melainkan juga pokok pikirannya tentang adat dan budaya Minang melalui sebaran artikel di koran-koran, dituangkan ke dalam buku, hingga nyinyir di berbagai forum yang tidak berhenti hingga detik ini.

Purna tugas sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang, hari-hari Puti Raudha Thaib bukannya lapang dengan aktivitas santai, malah kesibukan sejibun.

Di pundaknya marwah pedusi Minangkabau terus ditarik ke trek yang benar sebagaimana terpatri dalam adat.

Alkisah, seorang perempuan paruh baya mengetok pagar Raudha Thaib, menjelaskan maksudnya yakni minta mukenah.

“Minta mukenah bundo, mukenah saya sudah buruk,” pinta perempuan itu.

Lantas Puti Raudha Thaib mempersilahkan masuk. Lalu, mengambil mukenah yang ada untuk diberikan ke perempuan tersebut.

Kejadian nyata di depan mata ini, menjadi sumber empiris mendefenisikan arti sesungguhnya Bundo Kanduang dalam alam Minangkabau; sebagai tampaik batanyo (tempat bertanya) dan tampaik mangadu (tempat mengadu).

Membentangkan Mandeh Sako, dan Menakar Perjuangan Kartini

Hari ini, Rabu (21/4/2021), selalu diperingati sebagai Hari Kartini, penanggalan untuk mengingatkan kembali perjuangan Kartini memperjuangkan emansipasi wanita di masa kolonial.

Kartini, lahir di Jepara 21 April 1879, adalah seorang perempuan Jawa. Menyimak sepak terjang perjuangannya, erat berbasiskan kultur Jawa, yang oleh seorang Indonesianis— Jeffrey Hadler, mengutip identifikasi pakar-pakar kolonial Belanda, bercirikan feodal, involutif, dan sinkretik keagamaannya.

Orang Minang sendiri dianggap dinamik, berwawasan ke luar, dan bertauhid.

Kartini pada akhirnya dikenang sebagai perempuan yang memperjuangkan emansipasi karena surat-surat yang dia tulis, meski kenyataannya tidak bisa melepaskan jeratan budaya yang ada saat itu.

Sisi lain, perempuan Minang dalam konsep matrilineal, sebagaimana disebutkan Raudha Thaib, memberi ruang selebar-lebarnya untuk memimpin, mengatur banyak hal dalam rumah gadang secara internalisasi, dan kaum lebih luas lagi.

Memahami Minangkabau, mungkin bisa dilihat secara sederhana dari sebuah perkawinan. Matrilokal menjadi sifat dasar perkawinan, dimana posisi suami tidak terlalu kuat atau dengan pengistilahan—abu di atas tungku.

Suami tinggal di rumah istri, atau kalau pun kemudian membangun rumah, seringkali atas nama istri. Sehingga posisi perempuan berada pada zona aman.

Misal kalau terjadi pertengkaran, maka laki-laki yang pergi. Namun untuk kembali (rujuk), maka niniak mamak mengantarkan kembali sang suami.

Konsep demikian, memiliki visi bagaimana anak tidak terlantar ketika terjadi pertengkaran berujung perceraian. Setidaknya anak masih punya tempat berlindung yakni rumah.

Dalam genealogis sebuah kaum, penghulu dan pejabat dapat diwariskan berdasarkan matrilineal— dari mamak ke kemenakan.

Di sini, perempuan ditempatkan pada posisi yang kuat, bukan di ruang yang lemah.

Pada tatanan lebih luas, Minangkabau sendiri sekumpulan kampung atau nagari-nagari sebagai politas inti, tentu saja menjadi adaik salingka nagari. Meski Pagaruyung dicaps sebagai kerajaan yang berbasis di Minangkabau, namun kekuasaan tidak terpusat di sana. Inilah konsep demokrasi Minangkabau sesungguhnya.

Dalam catatan sejarah, di masa Kartini mencurahkan perasaan tentang ketersiksaan, nyaris di zaman yang sama, para perempuan Minang melakukan gebrakan-gebrakan menuntut egaliter di pelbagai bidang secara intelektual.

Rahma el Yunisiah di bidang pendidikan, mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri pada 1 November 1923, Rohana Kudus tercatat menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Pada 10 Juli 1912, dia memimpin koran Sunting Melayu. Kemudian Siti Manggopoh, pejuang perempuan yang menentang pemberlakuan pajak (belasting) di kampungnya.

Menurut Raudha Thaib, hal yang substansial diambil dari Kartini adalah kepandaiannya menulis, menuangkan pikiran dalam tulisan.

“Ini literasi. Bisa mengatakan keluhannya di masa itu, impiannya, yang terpikirkan ke kawan-kawan. Ide-ide bisa dituangkan, sebagian bisa dilaksanakan. Dalam zaman modern, literasi sangat penting,” terangnya.

Menjabat sebagai bundo kanduang, literasi pula kemudian menjadi jalan yang diambil Raudha Thaib. Dia memfokuskan diri meliterasi perempuan Minang dengan nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau.

Dari perspektif Minangkabau dengan konsep matrilineal, Raudha Thaib menegaskan, sebenarnya  memberi ruang dan kedudukan bagi perempuan dengan posisi sangat strategis, seimbang dan berimbang, seperti dua sisi mata uang.

Dia mengibaratkan, perempuan menjadi pucuk tertinggi dalam sebuah manajemen, atau dalam konteks adat Minang disebut limbago; nan tumbuh (cupak usali/ asli) yang membusar dari masyarakat adat atau kaum yang masih ada.

Membedakan dengan lembaga modern adalah soal genealogis.  Kalau lembaga adalah organisasi yang dibuat kemudian, siapa pun bisa membuatnya, atau dengan bahasa lain tidak berdasarkan keturunan.

Sementara limbago berdasarkan sistem matrilineal. Raudha memaparkan, paling rendah unit masyarakat adalah limbago kaum/ suku. Di dalam limbago kaum, sebutnya, ada 3 institusi yakni, pertama, mande sako (bundo kanduang). Kedua, mamak, terdiri dari 8 posisi dengan pembagian 4 jiniah yakni penghulu, manti, malin, dubalang. Lalu di bawah malin ada jiniah yang barampek (4) yakni imam, khatib, bilal, kadih. Ketiga, kemenakan.

Dalam manajemen atau limbago tersebut, ungkap Raudha Thaib, mande sako pemilik dari seluruh aset kaum seperti rumah gadang (pemegang kunci rumah gadang), tapian tampek mandi, sawah ladang, pandam pakuburan, gala sako.

“Dalam manajemen masa kini seperti perusahaan, perempuan adalah Presiden Komisararis. Sehingga dia adalah basis atau penjaga moral. Sementara laki-laki adalah direksi/ pelaksana. Siapa yang mengangkat direksi? Mande sako berdasarkan ranji matrilineal,” kata Raudha Thaib.

Kewenangan mande sako dalam perspektif manajemen modern, sangat kuat. Dia yang hanya boleh memberhentikan penghulu (Dirut), manti (Direktur Administrasi), malin (Direktur Agama), dubalang (Direktur Keamaann). Lalu, mande sako mengangkat semuanya berdasarkan sistem matrilineal.

“Kalau pimpinan kaum salah (ada dua kesalahan berat yakni membunuh orang, berzina), mande sako bisa bilang (bakuluih)— perkataan tegas dengan nada tidak menghormati seperti umpatan, ‘ang buka baju ang, ang again ka adiak ang’ (buka baju kau—penghulu, kasih ke adik mu),” beber Raudha Thaib.

Sosok bundo (bunda) dalam konsep matrilineal, menempatkan pedusi berada pada basis moral, pengawal moral. Sementara laki-laki pada basis hukum, pelaksana.

Literasi Pedusi Minang

Selain bundo kanduang atau mande sako di lingkungan Pagaruyung, sejak tahun 2010, Mubes ke-9 LKAAM dan ke-7 Bundo Kanduang Sumatra Barat pada bulan Juni 2010, menetapkan Puti Reno Raudha Thaib sebagai Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat yang ke-7, menggantikan Nur Ainas Abidzar.

Raudha Thaib mengatakan, pada periode kedua dia kembali terpilih sehingga akan menjabat hingga tahun 2021.

Di samping itu, tahun 2016 lalu, dia ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bundo Kanduang Alam Minangkabau. Organisasi pertama yang dibentuk di Padang tahun 2016 ini, mengakomodir siapa pun perempuan yang berdarah Minang di dunia ini, menjadi bagian integral di dalamnya.

Ini semakin menguatkan peran perempuan kelahiran Pagaruyung, Tanah Datar, 31 Agustus 1947 ini, dalam menjaga adat Minangkabau dari sisi keperempuan—bundo kanduang.

Namun, pekerjaan rumah yang begitu banyak menantinya. Raudha Thaib gusar ketika melihat realitas sekarang, adat dan budaya Minang sudah menjauh dari sisi orang Minang sendiri, terutama kaum perempuan.

Paling gamblang adalah cara berpakaian. Di gelanggang nan ramai, pedusi Minang tidak berbeda dengan perempuan lain di Indonesia. Batas karakteristiknya kian menipis.

Berpakaian ketat, tanpa penutup kepala atau kerudung, hingga gestur yang tidak berkaidahkan nilai-nilai perempuan.

Menurut Raudha Thaib, pakaian dari perspektif adat Minang menandakan keselarasan (apakah Koto Piliang atau Bodhi Chaniago), hingga menunjukkan asal dan rumah gadanganya.

Perbedaan mencolok terlihat pada pakaian pengantin. Menurutnya, ada sekitar 500-an jenis pakaian pengantin di Minang. Angka demikian merujuk pada jumlah nagari tradisional yang ada di Minang.

“Untuk saat ini, saya sudah identifikasi 206 pakaian. Barusan sudah dibukukan,” kata Raudha yang menulis Pakaian Adat Perempuan Minangkabau, Pelaminan Minangkabau, dan lainnya.

Dia menjelaskan, konsep pakaian perempuan Minang pada dasarnya terdiri dari 4 komponen yakni baju kurung basiba (lapang); kain kodek (seperti kain sarung), tutup kepala, dan kain selendang.

“4 unsur ini wajib. Apakah pakaian adat dan pengantin, pakaian harian minimal pakai baju kuruang basiba. Konsepnya menutup aurat, tidak sempit, tidak jarang (transparan), dan tidak menyerupai laki-laki, tidak membungkus badan, tapi menutup aurat,” tukasnya.

Pakaian adat adalah kunci menjaga marwah perempuan.

Dikatakannya, baju kuruang basiba adalah dasar pakaian adat Minang. Namun dia menyayangkan, orang Minang hari ini kebablasan atau cenderung mengubah. Pakaian pengantin banyak dimodifikasi secara liar.

“Jepang identik dengan negara modern, tidak pernah memodifikasi kimono, India pun demikian dengan pakaian sarinya. Nah orang Minang sekarang, pakaian pengantin banyak menghilangkan dua komponen utama yakni baju kuruang basiba dan kodek diganti dengan longdress,” ungkapnya.

Terkait dengan masalah pakaian itu, di setiap kesempatan dia selalu mengutarakannya. Sisi lain, sebagai bundo kanduang dalam konteks organisasi, dia terus memperkuat mande sako di dalam kaum.

Menurutnya,  yang menjadi persoalan mande sako hari ini adalah  ketidak mengertian dengan posisinya, fungsinya dan kekuatannya.

“Maka itu, saya sering katakan, kalau ndak diajak baiyo (berembuk), jangan buka pintu rumah gadang. Itulah matrilineal. Jangankan kunci, menentukan semua perkara dalam rumah gadang dan kaum itu adalah mande sako (bahasa minang, paruik mande sako).  Itu ranji matrilineal. Tidak ada apak (laki-laki),” bebernya.

Bagaimana pun, rancaknya rumah gadang karena kuatnya karakter perempuan, terhormatnya kaum karena pandainya bundo kanduang merawat kaum, dan eloknya nagari karena para perempuannya memainkan fungsi dengan signifikan.

Kemudian, dia terus melakukan upaya penguatan dengan mendidik bundo kandung (mande sako), melalui Musda Bundo Kandung tingkat kabupaten, lalu mendorong mande sako (bundo kanduang kaum) duduk di bidang harian dalam organisasi bundo kanduang.

Dia pun punya niat membuat pusat pelatihan atau pembekalan tentang adat dan budaya Minang.

“Adat Minangkabau dengan kekerabatan matrilineal, memberi ruang yang dibutuhkan perempuan kini dan masa depan. Tapi perempuan itu mesti melihat ruang itu kembali,” pungkasnya.

Untuk itu, dia berpesan ke anak muda, pelajari tokoh perempuan di negeri kita.

Baca Juga

Pameran Etnofotografi Karya Bung Edy di Warsawa: Pencak Silat Minangkabau Menjadi Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi Karya Bung Edy di Warsawa: Pencak Silat Minangkabau Menjadi Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Langgam.id - Salah satu tema percakapan publik yang paling hangat belakangan ini adalah tentang perayaan Halloween di Saudi Arabia.
Bahasa Minang dalam Tafsir Ulang Keminangkabauan