Masa Lalu Kelam Jangan Kembali: Gelap di Hati Nadiani Penyintas 65

Masa Lalu Kelam Jangan Kembali: Gelap di Hati Nadiani Penyintas 65

Nadiani menunjukkan titik kuburan massal di kawasan Padang Hijau, Nagari Gadut, Kabupaten Agam, kepada Manismar, di awal pengujung bulan November 2021. Kuburan massal itu adalah tempat pembuangan mereka yang dituduh 'PKI' dalam huru-hara 1965. Foto: Yose Hendra

Langgam.id - Dua perempuan, Nadiani (80) dan Manismar (87), berdiri di atas pondasi rumah menggantung. Mereka menatap pegunungan Bukit Barisan sambil berdoa bagi mereka yang dikuburkan tanpa batu-batunisan. Ini mereka lakukan di pinggir Padang Hijau, Nagari Gadut, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat

Nadiani dan Manismar adalah penyintas 1965. Manismar pernah dipenjara selama 12 tahun di Solok dalam peristiwa 1965. Ia menceritakan semua kepiluan yang dirasakannya selama ini. Nadiani yang berada di sisinya pun demikian. Keduanya selalu meratap jika mengingat peristiwa tersebut di masa lampau.

Mereka mengingat dan mencurahkan kembali peristiwa kelam itu, untuk meringankan beban trauma yang menyandera mereka selama 50 tahun ini

“Selamat tenang lah arwah kawan-kawan ini ya Allah. Yang mati teraniaya,” kata Manismar, dalam untaian doanya.

Sementara itu ia selalu mengenang suaminya yang entah dibuang kemana, ia tak pernah tahu.

Pagi di bulan November 2021 itu, merupakan pertama kalinya Manismar datang di kuburan massal korban peristiwa 1965. Hal yang selama ini tak berani ia datangi karena pedih mengingat semua itu

Hari itu Manismar mau saja diajak Nadiani ke situs yang berjarak sekitar 7 km dari rumah Nadiani di ruas jalan utama Kota Bukittinggi. Nadiani menguatkan dan meneguhkan hati Manismar untuk datang berziarah ke makam kawan-kawan mereka yang meninggal secara tak manusiawi. Ini sekaligus juga jalan menguak tabir sejarah pahit itu.

Di jurang itu, Nadiani menunjukkan kuburan massal. Dulu mayat-mayat hanya dilempar begitu saja ke jurang, di antaranya adalah mayat warga yang tinggal di sekitar Gadut. Para saksi mata orang kampung sini, mengenal mereka yang menjadi korban karena berasal dari Gadut.

Tempat ini adalah rimba belantara. Kawasan ini kemudian terkenal menjadi tempat pembunuhan Padang Hijau karena adanya kuburan massal ini.

“Terkenal dengan pembunuhan Padang Hijau. Yang dibunuh di sini, juga ada orang sini. Dibunuh tanpa dikubur, kakinya keluar dari tanah. Sehingga orang tuanya tahu itu kaki anaknya keluar satu. Jeritan orang tuanya lihat sepotong kaki itu, ini yang membuat batin saya menjerit,” kata Nadiani.

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) memperkirakan ada lebih dari 26 ribu korban akibat peristiwa politik 1965 di Sumatra Barat. Hingga saat ini angka detailnya tidak bisa dipastikan, sebab YPKP 65 terus melakukan penelitian dan menghimpun data-data terbaru.

Ketua YPKP 65 Bedjo Untung menyebut, angka korban peristiwa 1965 mungkin lebih tinggi itu. Pasalnya di masa itu, tercatat lebih dari 3 juta anggota PKI meninggal. Jika digabungkan dengan mereka yang aktif di PKI, angkanya bisa sekitar 26 juta.

Sementara kuburan massal, penelurusan yang dilakukan Nadiani bersama kawan-kawan YPKP 65 menemukan bahwa lokasinya tersebar di banyak daerah di Sumatra Barat. Sejauh ini, titik yang sudah diketahui adalah di Pesisir Selatan ada sejumlah titik seperti di Bukit Pulai, Pasia Taratak, Pasia Putih, Carocok Painan, Tarusan, Ampang Pulai, Tapan, dan Siguntur Muda.

Paling terkenal di Pesisir Selatan adalah di Bukit Pulai. Lokasinya di jurang dekat tanjakan jalan lintas Painan – Bengkulu. Nadiani pertama kali ke sana tahun 2014. Informasi dari masyarakat, ada sekitar 40 orang yang di kubur di sana.

Lokasi lain juga ada di Agam, Pasaman, Padang Pariaman, Tanah Datar, dan lainnya. Karakteristik kuburan massal korban peristiwa 1965 adalah di jurang yang dalam di kawasan hutan. Sebab sifatnya dilempar begitu saja.

Nadiani, sama halnya dengan Manismar, adalah penyintas peristiwa 1965. Selama 20 tahun terakhir, Nadiani berusaha keluar dari keterpurukan dan trauma yang mendekapnya sejak kejadian itu. Ia merasa apa yang dialaminya, mungkin juga dialami banyak orang lain. Mungkin lebih pedih lagi.

Hal ini kemudian mendasarinya, mengetuk hati penyintas 65 yang lain, supaya berani bicara, percaya diri dengan fragmen sejarah yang dilalui, dan bergerak bersama menuntut hak.

Nestapa, Jalan Hidup Gelap Bagi Nadiani

Dua bulan sebelum tragedi 1965, pelataran Jam Gadang Bukittinggi, mendadak ramai. Segenap pemuda-pemudi dengan berpakaian adat Minangkabau, menumpahkan segala isi seni. Menyanyi hingga menari di tapak Jam Gadang. Hari itu, ibu Negara, Hartini Sukarno, didaulat menjadi Bundo Kanduang, sebuah kehormatan tertinggi untuk perempuan yang diyakini di Minangkabau.

Nadiani turut serta di antara segenap pementas seni itu. Ia memimpin barisan PGRI Non-Vaksentral, Gerwani, Lekra, dan Pemuda Rakyat. Nadiani menjadi lakon utama dalam pementasan kesenian.

“Mana di mana anak kambing saya. Anak kambing saya ada di pokok pohon pisang. Mana di mana Ibu Hartini kita, ibuk Hartini kita ada di pentas Jam Gadang,” Nadiani mendendangkan lagu dengan riang, merayakan kehadiran Hartini.

Saat itu, Nadiani sudah tercatat sebagai guru SD Negeri 4 Bukittinggi. Punya hobi menari dan olah raga sejak kecil, Nadiani mendapatkan ruang yang nyaman untuk berkembang di Lekra. Sebagai guru, ia pun bergabung dengan PGRI Non-Vaksentral sekitar bulan Juli 1965. Tak ada muatan atau orientasi politik tatkala Nadiani bergabung di dua lembaga itu. Semata karena punya kesamaan nilai yang ia anut.

“Sukarno anti musik barat, di mana sering meremehkan dengan istilah ngak ngik ngok. Saya mencintai kesenian tradisional. Tentu ini senafas dengan idealisme saya dalam berkesenian. Dan untuk bergiat saya melihat Lekra sama dengan nilai-nilai yang dianut,” bilang Nadiani.

Setelah kedatangan Hartini ke Bukittinggi, hari-hari terus berlari. Sampai lah pada akhir bulan September 1965, terjadi peristiwa huru-hara politik di Jakarta yang merembes ke daerah-daerah. PKI dituding melakukan kudeta. Ini menjadi pangkal semua orang yang dianggap bersinggungan dengan PKI kemudian dipersekusi.

“Kami tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Kami kebingungan, ketika dua hari setelah kejadian dipanggil ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PdK). Dan aku menerangkan bahwa aku masuk organisasi Lekra, PGRI Non-Vaksentral. Sedangkan suami ku tugas belajar (kuliah) dengan jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah di IKIP Padang,” jelas Nadiani.

Di sela tugas belajar, suaminya Achiar juga mengajar di SMP Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) Padang. Baperki adalah organisasi sosial komunitas Tionghoa yang didirikan di Jakarta tahun 1954, yang bertujuan membangun masyarakat sosialis berdasar Pancasila dan UUD 1945 dan mendukung sikap politik Presiden Sukarno yang anti kapitalisme dan imperialisme.

Sore tanggal 4 Oktober 1965, Nadiani mendapat sepucuk surat dari Dinas PdK, dengan isi, dia tidak boleh meninggalkan Kota Bukittinggi, dan wajib untuk melapor ke sekolah tiap hari; pagi dan sore. Sementara suaminya, Achiar, masih berada di Padang.

Saya bilang ke orang tua saya di tinggal di Jambi. Saya dipecat, dan tak dapat gaji lagi. Suami saya tugas belajar di Padang, dia tidak dapat gaji juga, sehingga mengajar di Baperki, Yayasan Prayoga di Padang, untuk mendapat tambahan uang. Baperki dikaitkan dengan PKI. Dalam kebingungan itu, saya berkumpul dengan kawan-kawan lain yang dapat surat pemberhentian itu. Ada apa ini? Disampaikan salah seorang kawan, bahwa di Jakarta ada pemberontakan. Itu dilakukan PKI,” kisah Nadiani.

Tidak diperbolehkan mengajar, Nadiani mengisi kesibukan dengan berjualan kue. Sebulan setelah itu, suaminya pulang dari Padang. Ia juga dipecat dari pekerjaannya. Dan kisahnya kemudian, ia pun tak digaji lagi dan tak pernah menerima uang pensiun yang dijanjikan hingga kini.

Achiar turut membantu Nadiani dalam memproduksi kue. Di tengah mengaduk-aduk adonan kue di dapur, terdengar ketokan pintu dari luar. Nadiani lalu membuka pintu. Ia terkejut, beberapa orang berpakaian militer kini ada di depan matanya. Ia mengingat sejumlah nama seperti Letnan II Wagiran dan Slamet.

Secarik surat diperlihatkan ke Nadiani, dengan isi terpenting soal menjemput suaminya. Tanpa bisa banyak bernegosiasi, suaminya yang tengah mengaduk adonan kue, dibawa ke kantor Corp Polisi Militer (CPM), yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Tanpa persiapan apa, hanya pakaian yang melekat di badan, suaminya lantas hilang dari pandangan.

Mirisnya, Nadiani saat itu, selain punya anak balita, ia juga tengah hamil tua. Ia mendapati suaminya dijemput paksa, dengan tujuan yang ia tidak tahu, mungkin bakal ditahan atau disiksa. Nadiani sempat ditawari ikut suaminya yang dibawa pakai mobil. Tapi ia menolak.

“Karena saya hamil tua dan anak sedang balita, saya tidak mau naik mobil, saya jalan kaki saja ke CPM yang berjarak 500 meter dari rumah,” katanya.

Dengan membawa balita dan kondisi perut hamil tua, Nadiani berangkat ke kantor CPM. Di sana ia bertemu dengan Suratman dan diinterogasi Letnan Trisno dan Sumarno.

Sewaktu diinterogasi, Nadiani bertanya ke Trisno soal alasan ia diperiksa. Trisno mengatakan, itu berkat laporan dari seseorang. Nadiani lantas menolak laporan tersebut karena nama yang dimaksud adalah Nadiarni. Sementara namanya Nadiani.

“Saya kemudian diperbolehkan pulang. Sementara suami saya tidak pulang lagi,” katanya.

Syahdan, Nadiani terpukul. Suaminya yang baru saja pulang dari tugas belajar, dan bahu membahu dengannya memulai kehidupan baru sebagai penjual kue, kini tak lagi berlanjut. Apalagi, anaknya masih balita dan di dalam rahim pun ada calon adiknya yang tinggal menunggu hari menghirup udara dunia.

Sang suami, Achiar, terlahir dari keluarga Muhammadiyah, merupakan guru di SMP Pakan Kamis, Tilatang Kamis. Dia betul-betul guru tulen, fokus mengajar saja, dan tak mau disibukkan organisasi apa pun termasuk misalnya bergabung dengan PGRI Non Vaksentral seperti halnya sang istri, Nadiani.

Ketekunan dan kecerdasannya menuai berkah. Ia pun dapat beasiswa melanjutkan kuliah di IKIP Padang. Untuk menambah nafkah di tengah kuliah, Achiar kemudian mengajar di Baperki Padang. Hal ini dinilai mendasari Achiar kemudian dipanggil ke kantor CPM.

Seminggu waktu berlalu, Achiar tak kunjung menampakkan hidung di depan pintu masuk rumah. Jelas saja, Nadiani gusar. Ia pun dilanda kecemasan. “Jangan-jangan suami tidak pulang selamanya.”

Ada istilah yang begitu lumrah saat itu. ‘dibon’. Artinya dijemput paksa, dan kemudian tak pernah pulang kembali. Kata-kata itu pun terngiang di benak Nadiani.

Nadiani belum sepenuhnya bebas dari ancaman orang hukuman. Dia, karena pertimbangan beranak kecil dan hamil, menjadi alasan tidak ditahan di penjara CPM. Namun, dia diwajibkan melapor tiap hari ke Kantor CPM.

“Kenapa dia tidak dibon (di masa itu), mungkin Tuhan yang membantu, atau bapaknya karena orang baik,” ucap Nadiani, menceritakan kembali peristiwa itu.

Sebaliknya, kemenakan dari bapaknya dibon di penjara. Sampai sekarang tidak ketemu di mana kuburannya.

Nadiani mengisahkan, setelah huru-hara politik 1965 di Jakarta itu, cobaan bertubi-tubi menderanya. Di dalam proses interogasi itu tidak diberi ruang untuk pembelaan. Nadiani mungkin oleh sebagian orang dianggap beruntung karena tidak penjara. Namun cobaan berat justru dirasakannya di luar penjara.

Ketidaktahuan kondisi dan posisi suaminya setelah penjemputan, mulai cobaan yang dialami Nadiani setelah peristiwa 1965. Ia mencari ke mana-mana, tapi oleh petugas CPM yang ditanyai, sering kali mengelak. Bahkan mengatakan sudah dibawa ke Medan. Dalam pencarian ini, Nadiani selalu membawa anaknya yang balita, dan menggendong bayinya yang baru lahir.

Bayi itu lahir tanpa disaksikan Achiar. Ini menyedihkan sangat bagi Nadiani. Kala bertanya ke petugas bahkan ke pimpinan CPM, dia juga sering dihardik. Suatu hari, nyaris dua pekan tak mengetahui keberadaan suaminya,

Nadiani mencari tahu rumah Mayor Kasmoen, Komandan CPM Bukittinggi saat itu. Tujuannya untuk menanyakan langsung ke Mayor Kasmoen.

“Saya temui Pak (Letnan) Suratman. Dia bilang tanya saja langsung ke Komandan CPM Mayor Kasmoen. Lalu saya tanya Pak Kasmoen, tapi nyela wakilnya dengan jawaban ketus; di bawa ke Medan,” kisah Nadiani.

Nadiani tidak puas dengan jawaban tersebut. Ia belum yakin suaminya dibawa ke Medan. Hatinya kembali tergerak untuk menemui Kasmoen.

“Dengan menggendong bayi dan membimbing anak, saya cari rumahnya di kawasan belakang RSUD Dr. Achmad Mochtar. Saya ketuk pintunya. Di balik pintu di dalam rumah, ada suara dengan mengatakan ‘bukan sini rumahnya’, Saya berlalu, dan masih dekat rumah itu berdiri seorang tentara. Saya tanya yang membukakan pintu itu siapa? Dia bilang itu Pak Kasmoen. Lalu saya balik, namun dia (Kasmoen) menjawab, tidak tahu sambil menghardik dan sembari menutup pintu rapat-rapat,” ungkapnya.

Kemudian Nadiani pulang ke rumahnya, melalui Pasar Bawah. Di seberang Hotel Jogja, terletak penjara. Anak Nadiani merengek saat ia melewati penjara itu, di mana ada seorang tukang sedang mengetam kayu. Orang tersebut memberi sinyal mengangguk, isyarat suaminya ada di dalam penjara tersebut.

Besoknya Nadiani ke sana lagi, memastikan kebenarannya. Tukang kayu tersebut melempari korek api yang terselip tanda tangan Achiar.

Alhasil, Nadiani akhirnya sedikit lega, sudah tahu keberadaan suaminya. Meski dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena suaminya tetap tersiksa di dalam penjara.

Dikatakan Nadiani, tahanan pidana lebih senang daripada tahanan politik saat itu. Tahanan pidana makan 2 kali, tahanan politik kadang tidak dikasih makan, dan dalam satu sel isinya 40 orang.

“Saya masak ubi, saya bungkus dengan kain sarung dan handuk, lalu dikasih ke orang mengetam kayu itu. Besoknya saya bawa nasi lagi, dan kirim pakaian. Besok lagi saya datangi dengan membawa kedua anak. Yang satu dibimbing, yang satu digendong. Saya menyelonong saja. Sampai di dalam saya ketemu dengan Sersan Slamet, dan dia membawa tahanan satu perempuan bernama Kartini setelah diinterogasi di CPM. Kartini melihat saya, dia tersenyum kecut. Saya lihat mukanya babak belur, lebam. Saya sempat memberi telur untuknya. Begitulah nasibnya,” cerita Nadiani. 

Lama sudah suaminya mendekam di dalam penjara. Ekonomi keluarga muda ini pun kena imbasnya. Keduanya tak memperoleh lagi gaji bulanan karena sudah diberhentikan. Lantas, Nadiani memutar otak bagaimana caranya menggerakkannya ekonomi keluarganya.

Pilihannya kemudian adalah memproduksi rantai anjing. Pasarnya cukup menjanjikan, sebab cukup banyak juga orang Minang atau Sumatra Barat memelihara anjing. Di samping itu, rantai anjing sebagai kerajinan tangan bisa memberdayakan orang tahanan, terutama suaminya.

“Saya ambil sore, besok dijual ke Pasar Atas. Bahannya kawat 2 mm. Saya bawa bahan, dan alatnya. Ada di razia, tapi kita aman, karena kelabui petugas,” katanya.

Waktu terus berjalan. Kedua anaknya pun tumbuh menjadi bocah tangguh. Keduanya laki-laki. Mereka juga ikut membantu usaha rantai anjing ini.

Putra nomor 2 Nadiani (narasumber ini tidak mau disebutkan namanya), masih ingat, saat bapaknya ditahan, dia bersama kakaknya bernama RS yang sudah duduk di kelas 1 SD, sudah terlatih mengantarkan makanan dari rumah ke penjara yang radiusnya lebih kurang 500 meter.

Mereka juga terlibat dalam mata rantai produksi rantai anjing. Membawakan kawat bahan baku rantai, dan kemudian membawa kembali rantai yang sudah siap keluar dari penjara.

Keuntungan penjualan rantai anjing itu, kata Nadiani, digunakan untuk membeli beras, dan beragam lauk yang terjangkau untuk kemudian di masak, lalu di antar lagi ke penjara. Semua tahanan di sana ikut menikmati sajian makanan yang diantarkan hampir tiap hari oleh anak-anak Nadiani.

Rantai anjing tentu saja tidak bisa menopang ekonomi Nadiani sepenuhnya, Apalagi anaknya semakin bertumbuh. Sehingga ia pun coba mencari pekerjaan lain.

Nadiani kemudian mencoba untuk menjahit, karena ini bisa jadi pekerjaan yang menarik, terlebih di Bukittinggi menjadi kota tujuan orang Sumatra Barat dan sekitarnya berbelanja pakaian. Bukittinggi juga dikelilingi kampung yang menjadi sentra konveksi.

Bekerja sebagai pendidik, Nadiani tidak punya kecakapan mengoperasikan mesin jahit. Lantas ia pun belajar ke tetangga. Lambat laun dia bisa menjahit dan menerima upahan. Kemudian hari ia pun sempat punya konveksi dan mempekerjakan banyak orang.

“Saya kasih solusi ekonomi bapak bagaimana lancar untuk sekedar makan, dengan menerima upah menjahit. Tapi saya tidak bisa menjahit, karena tidak pernah. Saya belajar ke tetangga. Terima upah, kemudian berkembang, Saya produksi sendiri. Punya mesin bordir sendiri. Saya membesarkan anak dari mesin jahit dengan buka konveksi Usaha Ibu. Tapi sewaktu pusat konveksi pindah dari Pasar Atas ke Pasar Aur Kuning saya berhenti berusaha konveksi,” bebernya.

Selain usaha menjahit, Nadiani juga pernah membuka usaha kuliner. Antara lain usaha kue, dan aneka kuliner seperti lontong.

Achiar yang lahir pada 21 April 1937, 4 tahun lebih tua dari Nadiani, menghirup udara bebas lebih cepat dari kebanyakan teman-temannya sesama tahanan di penjara Bukittinggi. Tiga tahun menjalani tahanan di penjara CPM, Achiar dipindahkan ke asrama yang diperuntukkan khusus bagi tahanan politik. Dia pun diperbolehkan pulang satu kali seminggu.

Setelah bebas sepenuhnya tahun 1970-an, Achiar tak bisa lagi menjadi guru. Ia beralih profesi sebagai tukang cat.

Dia diberhentikan guru dengan mendapatkan Surat Keputusan (SK) nonaktif, dan menerima gaji 50 persen. Tapi kenyataannya, hingga setengah abad berjalannya waktu, hak Achiar dan keluarga mendapatkan gaji 50 persen itu tak pernah dirasakannya.

”Jadi Negara itu berutang ke saya. Pernah kita perjuangkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tapi jawabannya, selesaikan menyeluruh dulu. Di Jawa juga banyak katanya,” cerita Nadiani.

PKI, Kata Sakti Seperti Peluru yang Menghujam

Penyintas peristiwa 1965, hak-haknya telah diabaikan, tapi juga lumrah mendapat makian, stigma, pelabelan PKI atau komunis. Kata-kata itu seolah menjadi peluru-peluru yang sudah sangat sering mendera tubuh penyintas 1965 seperti Nadiani dan juga keluarganya.

Kasus-kasus tertentu yang tak ada sangkut pautnya dengan PKI secara keorganisasian, juga disematkan itu kepadanya sebagai bentuk penyerangan. Misalnya saja soal kasus sengketa tanah.

Nadiani ingat sekitar tahun 1992, dia terlibat perkara tanah dengan seorang TNI. Tanah tersebut berada di belakang rumahnya. Dalam jalannya perkara, anggota TNI itu mencoba mengintimidasi. Mulai dari membawa anggota Kodim, hingga melontarkan kata-kata, ‘orang penjara’, ‘komunis’, ‘PKI,’ ke Nadiani.

“Dia bersorak-sorak, dengan mengatai saya; orang penjara, dia orang PKI, dia orang pemberontak, kamu membunuh Jenderal. Ini yang menyakitkan,” ujar Nadiani.

Tak hanya itu, Nadiani dan anaknya, mendiang RS, juga mendapat kekerasan fisik. “Dia mau menembak anak saya dengan pistol, saya dorong dia yang sedang memegang pistol itu. Namun anak saya sempat dipukul temannya. Kami bersama-sama lari ke CPM,” terangnya.

Persoalan tanah itu sampai sekarang belum selesai. Statusnya NO (Niet Ontvankelijke Verklaard), alias putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil. Nadiani punya bukti kuat, tanah dengan luasan bisa berdiri 3 unit rumah itu, dibeli oleh kakeknya yang bersuku Tanjung. Sementara yang mempersengketakan adalah suku Chaniago.

Stigma atau pun pelabelan PKI, komunis, orang penjara, memang jamak didapatkan oleh penyintas peristiwa 1965. Ini seperti peluru yang gampang dipicu untuk membunuh mental mereka. Parahnya, kata-kata ini terkadang tidak hanya keluar dari mulut orang-orang lain, tapi juga di dalam keluarga mereka sendiri.

Seperti yang dialami anak Manismar. Anaknya yang perempuan, tumbuh besar bersama Manismar saat menjalani camp tahanan sebagai orang tertuduh ‘PKI’ di Kota Solok selama 12 tahun.

Manismar mengatakan, beban pelabelan PKI itu pun ditanggung oleh anaknya. Pelakunya sendiri yang sering melabeli bahkan menjadi senjata menyerang anaknya adalah suami anaknya itu sendiri. Kini, biduk rumah tangga anaknya tersebut sudah hancur. “Dalam pertengkaran rumah tangga, dia menghardik anak saya, dan mengeluarkan kata-kata, ‘dasar anak PKI’. Itu sering,” beber Manismar.

Di usia mereka yang sudah senja, pelabelan komunis itu belum sirna. Puncaknya, diskusi rehabilitasi korban tragedi 1965 Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) yang dihelat di rumah Nadiani di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, dibubarkan oleh kelompok yang tinggal di sekitar itu. Mereka menuding, diskusi itu berbau PKI.

Mereka juga bertindak anarkis dengan mengacak-acak rumah Nadiani. Peserta yang hadir sudah berusia tua, 70 tahun ke atas. Sehingga kejadian ini menabalkan rasa trauma di kalangan penyintas 65.

Yunus, 84, datang dari Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan, hadir di acara tersebut. Ia tak habis pikir, mengapa diskusi yang mendatangkan LPSK dan Komnas HAM untuk memberi penjelasan bagaimana mendapatkan bantuan medis, dan psikologis, malah dicap kumpul-kumpul orang komunis.

“Pembubaran acara itu mendatangkan trauma bagi kami,” ujarnya.

Yunus yang pernah mendekam 12 tahun dalam kurungan, sangat kenyang dengan penyiksaan, kerja paksa, dan penderitaan. Pernah satu kali, kepala ikat pinggang dicambukkan ke tubuhnya, dan mengena matanya. Di hari tuanya sekarang, kedua matanya agak kabur melihat.

Perjalanan hidup Nadiani dan kawan di Sumatra Barat selepas peristiwa 1965 bak sepahit empedu. Bagi Nadiani, meski tidak ditahan, tapi tekanan justru terasa lebih berat di luar. Kalau di dalam tahanan semasa itu misalnya, mungkin lebih banyak memikirkan, apakah akan ‘dibon’, sementara di luar kenyang dengan cibiran, makian. Artinya merasakan langsung bentuk penindasan dari masyarakat.

“Hukuman masyarakat ini yang sangat menyakitkan, sampai kini. Oh PKI bangkit lagi, sering didengar,” ujarnya.

Putra Nadiani, bahkan melihat, tekanan di zaman sekarang bukannya surut, malah menjadi-jadi. Contohnya saja peristiwa tahun 2015 itu. Putra Nadiani menilai, stigma komunis atau PKI saat ini dipelihara untuk komoditas politik. Terasa, terutama mulai memasuki bulan September.

“Sejak Jokowi-Ahok naik di Pilkada Jakarta dulu, friksinya semakin menabal,” katanya.

Sejarawan dari Universitas Negeri Padang (UNP) Siti Fatimah menilai Nadiani sebetulnya menjadi representasi dari kondisi perempuan terimbas peristiwa 1965 itu. “Masih banyak Nadiani-Nadiani lain yang mengalami persoalan yang sama. Bicara perempuan dalam konteks sejarah tidak terlepas dari persoalan politik global dan politik nasional,” katanya.

Gerakan politik nasional selalu berpusar dari pusat. Di daerah seperti ibukota provinsi tentu ada tokoh yang mewakili representasi gerakan nasional.

Siti mengatakan sebelum tahun 1965, pandangan terhadap Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) dan kemudian menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), adalah organisasi harapan. Yang dimaksud adalah ideologi Gerwis yang kemudian bermetamorfosa menjadi Gerwani, adalah membela kaum akar rumput khususnya perjuangan kaum perempuan. Misalnya aktif mendorong perubahan Undang-Undang Perkawinan yang dianggap tidak adil terhadap perempuan, menolak poligami.

Gerwis maupun Gerwani, serta organisasi yang dikaitkan dengan PKI lainnya seperti Lekra, menurut Siti, tak lebih semacam saluran. Bahkan mereka yang bergabung kadang berasal dari Aisyiyah. Berhubung apa yang dia inginkan terlalu lemah untuk diperjuangkan di Aisyiyah, maka bergabung dengan Gerwani.

“Itu kan saluran saja. Mendapatkan tempat dan mencapai tujuan,” tukas Dekan Fakultas Ilmu Sosial UNP ini.

Tapi setelah peristiwa 1965, lanjut Siti, organisasi itu dicap menakutkan, penebar teror, sehingga dijuluki kuntilanak.

“Mindset kita selama ini ikut dibentuk dengan penyebutan Gerwis atau Gerwani ‘kuntilanak’, istilah yang dipopulerkan Saskia Eleonora Wieringa, dalam bukunya dengan judul Kuntilanak Wangi.”

Walau mendapat serangan mental, bahkan kekerasan bertubi-tubi, Nadiani justru meladeninya dengan menekankan kerja kemanusiaan kepada keluarganya. Ia bahkan meminjamkan sepetak tanahnya untuk berdirinya Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini/ PAUD di sekitar rumah.

Kala mengobrol santai dengan sejumlah tetangganya, termasuk tukang warung, mereka sepakat Nadiani figur yang baik di lingkungan sekitar.

Dia sosok penyapa. Ramah kepada siapa pun, dan tak canggung membantu. Rumahnya di jalan utama Bukittinggi, sudah lama menjadi markas aksi-aksi kemanusiaan. Semisalnya, tempat orang-orang daerah yang membutuhkan darah tatkala berobat ke Bukittinggi, bakal mendatangi rumah Nadiani.

Jalan kemanusiaan ini sudah mendarah daging di keluarga Nadiani. Anak-anaknya sudah dibiasakan untuk berbuat sosial atau beraktivitas di ranah kemanusiaan sejak kecil. Seperti yang dilakoni RS dan putra Nadiani yang kedua, kala mengantarkan nasi dan makanan lainnya untuk tahanan politik yang satu penjara dengan bapaknya.

Sore mulai menghampiri Bukittinggi. Manismar baru saja datang. Ia tinggal di daerah Banuhampu, Kabupaten Agam. Nadiani lalu mengajaknya ke kebun di belakang rumah.

Di sepetak kebun itu, RS, anak yang begitu dicintainya, berbaring abadi. Dia baru saja meninggal beberapa tahun lalu. Nadiani langsung menghampiri makamnya, mengelus nisannya. Seuntaian doa dipanjatkan. Air mata pun meleleh seketika.

Saban hari, pagi dan sore, Nadiani mengisi hari dengan berkebun. Beragam isinya, seperti pisang, kacang, singkong, dan sayur-mayur. Ini seperti kedaulatan pangan Nadiani dan keluarga di tengah berkehidupan di kota.

Mata Nadiani berkaca-kaca jika mengingat RS. Sebab RS dari kecil hingga besar hidup penuh getir, boleh dikatakan selalu ada di sisi Nadiani dalam segala cobaan yang mendera.

Semasa hidup, RS giat di gelanggang sosial. RS adalah Ketua Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PPDI). Ia amat banyak membantu orang yang kesusahan darah dan mengalami kesulitan birokrasi di rumah sakit.

Di lingkungan sekitar, RS juga pernah menjabat lama sebagai ketua pemuda. Bagi Nadiani, semua itu berkah baginya. Anak-anaknya tidak minder meski tahu bagaimana sejarah orang tua mereka.

Kunci semuanya menurut Nadiani adalah pendidikan dan asupan pengetahuan seperti bacaan. Diselimuti kesulitan ekonomi sebagai penyintas 65, Nadiani berhasil mengantarkan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi.

Dengan begitu, anaknya lebih cerdas dan kritis memahami suatu masalah, sejarah yang dipaksakan oleh rezim. Maka anak-anak itu tidak akan malu mengetahui orang tuanya tahanan politik atau dituduh PKI.

“Dari awal SMA saya sudah bangga dengan orang tua saya. Mungkin sebagian anak korban masih menutup karena takut. Kita tinggal di jalan utama Bukittinggi. Ini sudah kadung basah,” bilang putra Nadiani.

Putra Nadiani sendiri memang sudah dapat mengimbangi narasi rezim saat itu soal peristiwa 65. Ia saat remaja sudah sering mengantarkan stensilan penelitian peristiwa 65 untuk diperbanyak di fotokopi, sehingga punya aksesibilitas bacaan hasil penelitian objektif terutama peneliti asing.

Jalan Terjal Memulihkan Trauma Penyintas Lain

Sore di tahun 1977, para tahanan politik disambut udara sejuk Bukittinggi. Tak ada lagi sekat seperti dalam sel, mereka kini bisa menikmati udara sepuasnya. Namun, mereka tidak bisa melepaskan beban dengan status ‘tapol’ dan stigma orang PKI di pundaknya.

Rumah Nadiani yang tak begitu jauh dari penjara, menjadi tempat persinggahan sebagian para tahanan politik di Bukittinggi. Ini ihwal Nadiani kenal dengan para tahanan politik yang berasal dari pelbagai daerah di Sumbar.

Hal ini kemudian memudahkan Nadiani untuk menyambangi mereka, mengetok pintu mereka untuk saling bertukar pikiran, sama-sama menguatkan.

Sekira 20 tahun terakhir, Nadiani menempuh jalan terjal membantu memulihkan trauma penyintas 65 lainnya di Sumatra Barat. Ia menyebut telah bepergian ke daerah-daerah di Sumatra Barat untuk mencari dan menemui penyintas 65, setahun sebelum peresmian YPKP 65 Perwakilan Sumatra Barat tahun 2002 silam.

“Ini bukan saja untuk saya tahu sejarahnya, tapi warisan untuk generasi selanjutnya. Saya kasihan sama kawan-kawan yang suaminya direnggut jiwanya, maka saya pergi menemuinya dan berusaha mencari kuburannya. Saya pergi tanpa lelah,” kata Nadiani.

Setelah YPKP 65 terbentuk, Nadiani dipercaya sebagai Ketua YPKP 65 Sumatra Barat. Bersama sejumlah perempuan yang penyintas lainnya seperti Manismar, Yohanisun, Rosmina, Nadiani masuk keluar kampung untuk mencari informasi, mendata para penyintas 65, termasuk kuburan massal.

Nadiani selalu menggunakan pendekatan empati bisa bertemu dengan para penyintas yang usianya rata-rata sudah uzur. Bagaimana ekonomi? Bagaimana pendidikan anak-anak, cucu-.cucu? Ini selalu menjadi pertanyaan kunci yang dilayangkan Nadiani.

Semuanya untuk mendekatkan diri kepada penyintas tersebut. Sinyal bahwasannya, dia tidak sendiri dalam menghadapi kesusahan hidup.

Dalam kunjungannya ke pelosok-pelosok Sumbar, dia juga sering mendapati keadaan yang menyedihkan. Misalnya, anak yang dipasung di Solok karena mengidap gangguan jiwa.

“Di sana aku berjumpa dengan seorang anak muda yang baru berumur 30 tahunan tergolek di dalam kamar dengan kasur seadanya. Pintu kamar berpagar besi seperti kerangkeng. Aku tanya kepada ibunya, kenapa dikurung? Dengan wajah tertunduk, ia jawab bahwa sang anak sakit sejak ia masuk penjara. Sebab saat ia SMP, ibunya dalam penjara, dan oleh teman-temannya, dia diejek dengan sebutan anak Gestapu. Itu berulang-ulang.”

Keinginan Nadiani menjalin komunikasi, tentu saja tidak semuanya merespons dengan baik. Banyak juga yang bergeming.

Tantangan terbesar Nadiani adalah menggumamnya, bahkan bungkamnya sebagian besar penyintas peristiwa 1965 saat dijumpai. Mereka kebanyakan masih tersandera trauma mendalam akibat peristiwa tersebut.

“Mereka tidak mau bicara. Bungkam. Ini tantangannya. Saya menghadapi mereka dengan berhati-hati, membujuk mereka untuk bicara. karena mereka trauma berat. Sesama korban, saya memperkenalkan diri, mereka hanya menangis, kadang menunduk. Mereka kadang menanyakan, mengapa jauh-jauh ke sini. Saya terangkan. Ini menjadi empati bagi mereka,” beber Nadiani.

Lama-lama mereka yang bungkam, sadar untuk saling berinteraksi. Mereka datang ke rumah Nadiani bila pergi ke Bukittinggi. “Setelah saya tinggalkan mereka, jadi tanda tanya bagi mereka, hidup kembali semangat mereka. Kebanyakan begitu,” ujarnya.

Bedjo Untung menyebutkan, rasa trauma, bukan saja dialami penyintas 65 di Sumatra, tapi juga di Jawa, dan tempat lain di Indonesia. Obat mujarab trauma itu, menurut Bedjo Untung, berani muncul ke permukaan, bercerita, dan tidak takut lagi untuk berbicara.

Bedjo Untung mengatakan, karakteristik penyintas peristiwa 1965 di Sumatra Barat, dan ditarik lebuh luas lagi, Pulau Sumatra, memang agak berbeda di banding penyintas 65 di Pulau Jawa.

Penelitian intensif yang dilakukannya bersama kawan-kawan lain di YPKP 65, menunjukkan, di Jawa interaksi antar korban, penyintas dengan instansi pemerintah cukup sering. Dan juga banyak kegiatan dengan masyarakat sipil di Jakarta, menjadi ruang untuk terlibat bertukar pikiran, berinteraksi secara lancar, atau setidaknya merasa ada yang menyuarakan secara konsisten.

“Sehingga relatif teman di Jawa lebih berani dan sedikit rasa traumanya. Beda dengan teman di Sumatra, minim informasi yang masuk, dan masih banyak yang belum berani tampil ke permukaan,” bilang Bedjo Untung saat dihubungi tempo hari.

“Mungkin sekarang bisa mengurangi jarak (komunikasi) selama ini, misalnya dengan membuat grup WhatsApp (WA). Tapi itu belum menjangkau lebih luas, karena teman-teman di Sumatra penguasaan teknologi masih kurang. Artinya hanya orang-orang tertentu,” kata Bedjo Untung.

Menurutnya penting diintensifkan dan dimasifkan ruang untuk berinteraksi dan komunikasi. Sebab, dengan cara demikian bisa jadi tukar pikiran.

“Situasi dan kondisi korban 65 di Sumatra memang tidak sama dengan teman di Jawa. Terlebih lagi pertemuan YPKP 65 di Bukittinggi yang berakhir kerusuhan, menambah trauma mereka,” katanya.

Di samping itu, Bedjo Untung juga sangat menyayangkan korban peristiwa 1965 enggan bahkan tak mau didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Padahal itu lembaga Negara yang dilindungi dan diatur Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006.

“Kuncinya harus berani terbuka, berbicara tentang sejarah dan masalahnya, dan mendengarkan cerita korban lain. LPSK mau membantu mengobati, tapi mereka yang trauma takut. Bayangkan dia tidak percaya kepada lembaga negara yang diatur UU. Saya sudah sering sampaikan,” kata Bedjo Untung.

“Untuk korban 65 tidak perlu trauma berkepanjangan. Karena trauma itu takut. Takut itu dianggap salah. Karena kita tidak bersalah? bahwa kami adalah korban, dan dikorbankan oleh rezim Orba, dituduh komunis, pendukung Sukarno. Padahal kami tak pernah melakukan tindakan kriminal, membunuh. Justru dihukum kerja paksa. Dan mata dunia sudah terbuka, bahwa ini rekayasa kapitalis seperti Inggris, Amerika, Jerman,” tandas Bedjo Untung.

Akhir-akhir ini Nadiani tidak bisa lagi bepergian lantaran tubuhnya tidak cukup sehat sehabis operasi usus. Dia mengenang upayanya mencari dan menyemangati penyintas 65 di Sumatra Barat, melewati jalan terjal.

Sebagaimana diketahui, YPKP 65 tempat Nadiani kini berkecimpung dalam urusan pemulihan penyintas 65 merupakan organisasi nonprofit. Bedjo Untung pun mengatakan demikian. Artinya tidak ada operasional yang bisa dikerahkan organisasi untuk aktivitas anggotanya.

Syahdan, itu kembali ke nurani. Nadiani bukanlah keluarga berada. Perubahan hidupnya dari pegawai ke partikelir, berpengaruh pada ekonominya. Lebih banyak ditempa masa sulit.

Kendati demikian, Nadiani terus bergerak menyambangi penyintas 65 di penjuru Sumatra Barat. Untuk biaya perjalanan, katanya, pernah menerima upah cucian dan gosokan. “Saya tidak malu, karena itu halal. Uang itu saya pergunakan untuk bepergian,” bilangnya.

Pernah juga Nadiani memakai uang upah suaminya yang kerja memburuh. Uang yang seharusnya untuk membeli lauk atau keperluan dapur di pasar, malah digunakan untuk operasional mengunjungi penyintas 65.

“Seiritnya saya coba, kelebihannya saya maksimalkan. Kadang hanya berbekal sepotong roti dan air. Itu pun dalam kondisi berpuasa. Kita pergi dengan menumpang mobil tambang,” kisahnya.

Menurutnya, bepergian ke rumah-rumah penyintas, lalu mencari kuburan massal, menjadi suatu hiburan ke luar rumah. Sebab, ia merasa bisa berbagi penderitaan.

“Sampai di rumah mereka, saya sedikit memberi hiburan dan harapan. Seperti menyebutkan, walau di dunia tersiksa, nantinya di hadapan Allah tidak tersiksa lagi. Ini untuk mengurangi rasa ketraumaan mereka. Kalau ada anak masih waktunya sekolah, saya tekankan jangan putus sekolah, karena kalau anak sekolah, jadi tahu berpikir ilmiah. Supaya anak tidak mengumpat dan tidak menyesali perbuatan orang tua atau nenek dan kakek mereka,” sebut Nadiani.

Sosok Nadiani di mata Bedjo Untung adalah perempuan yang gigih dan aktif untuk memulihkan trauma penyintas peristiwa 1965. Dia juga punya pilihan untuk menentukan dan menuntut hak-haknya yang diabaikan Negara.

Perjuangkan Hak Sebagai Manusia

Senja mulai menghampiri Bukittinggi. Nadiani beringsut dari sofa yang sudah berjam-jam didudukinya. Ia lekas berwudu, karena azan Magrib baru saja berkumandang.

Seusai salat magrib, Nadiani membawa beberapa dokumen pribadi yang diambilnya dari rak di ruang tengah. Ia membukanya, dan membalik-balikkan lembarannya.

Nadiani memperlihatkan beberapa foto bersejarah seperti semasa jagi guru, termasuk suaminya, lalu foto dikala muda bersama suami. Foto suaminya sendirian. Dan tak kalah penting yang ia tunjukkan adalah SK soal pemberhentian suaminya, dan gaji yang tetap dibayar dengan pemotongan 50 persen tiap bulan.

Namun, sepanjang suaminya di penjara, dan kemudian menembuh lembaran hidup baru sebagai buruh, janji tersebut tak pernah ditunaikan Negara.

Nadiani menegaskan, akan terus menuntut haknya. Baginya Negara berutang kepadanya.

Bedjo Untung mengatakan, yang dialami Nadiani, juga banyak dialami guru-guru di daerah lain seperti Kebumen. Meski sudah dimenangkan melalui proses pengadilan, tapi tetap saja tidak ada realisasinya.

Menurut Bedjo Untung, harusnya hasil temuan baru yang menguatkan bahwa mereka adalah korban, menjadi kekuatan bagi kawan-kawan untuk tidak takut lagi.

“YPKP 65 sudah melakukan kampanye dan seruan kepada semua korban untuk menuliskan riwayat hidupnya. Bahkan YPKP 65 sudah menuliskan sayembara untuk menuliskan riwawat hidup atau memoar. Nanti naskah masuk, akan kami beri penghargaan. Yang bagus akan diterbitkan. Ini salah satu cara mengurangi trauma dan menyembuhkan luka,” terang Bedjo Untung.

Lalu soal gagasan rekonsiliasi, menurut Bedjo Untung, bisa dilaksanakan kalau sudah ada pengungkapan kebenaran dan proses pengadilan. Adanya pengadilan terlebih dahulu supaya ada kekuatan hukum.

Dikatakan Bedjo Untung, tuntutan YPKP 65 tegasnya adalah dibentuk Pengadilan HAM ad hoc. Tapi sampai sekarang belum terlaksana. Kalau sudah ada, sebut Bedjo Untung, negara harus bayar. Negara harus menjalankan keputusan hukum yang dijamin norma atau hukum secara internasional yaitu memberikan ganti rugi, kompensasi dan hak-hak lainnya yang dirampas secara melawan hukum.

“Persoalan ini kompleksitas. Tapi kami sebagai korban akan menuntut kebenaran, termasuk soal tuntutan buk Nadiani,” jelas Bedjo Untung.

“Kebenaran dulu baru rekonsiliasi kemudian. Keadilan bagi korban, baru rekonsiliasi. Hak korban dipenuhi dulu, baru rekonsiliasi.”

Sejarawan Siti Fatimah menilai rekonsiliasi penting karena mereka (penyintas) selama Orba mengalami trauma luar biasa. “Karena image (citra) yang disematkan ke mereka, seperti kuntilanak, perempuan yang menakutkan. Selama Orba itu yang ditanamkan ke masyarakat kita,” kata Siti Fatimah.

Selain itu, mereka juga tak pernah diadili secara objektif. Dengan lahirnya orde reformasi, orang sudah banyak pengetahuan, penelitian mulai terbuka, orang bisa mengakses ke pelaku yang masih hidup, termasuk arsip seputaran peristiwa 65.

Semua kini terbongkar. Maka kesadaran kolektif muncul untuk mengembalikan nama baik mereka, mendapatkan hak seperti orang lain. Menurut Siti Fatimah, rekonsialiasi itu penting supaya tidak ada lagi saling dendam.

“Kalau bisa tokoh politik sekarang belajar sejarah, bagaimana sejarah sesungguhnya, bagaimana sejarah diinterpretasi. Mengobati tidak mudah. Bagaimana mengembalikan kepercayaan mereka. Hal paling sulit sesungguhnya adalah mengembalikan mindset soal perempuan kuntilanak. Sudah puluhan tahun direcok seperti itu,” terang Siti Fatimah.

Terkait rekonsiliasi ini, Komnas HAM menyebutkan terus berupaya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu termasuk peristiwa 1965-1966.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi, Hukum dan HAM (Insersium) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun lalu, sebagaimana dilansir dari situs resmi Komnas HAM, Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam, mengatakan, Komnas HAM melalui Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM yang berat peristiwa 1965-1966 telah menyelesaikan penyelidikan pro-yustisia.

Peristiwa tersebut diputuskan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Unsur berskala luas (widespread) dan sistematis (systematic) ditemukan dalam peristiwa ini.

Dalam melakukan proses penyelidikan proyustisianya, Komnas HAM jelas bertindak atas dasar Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).

“Kelengkapan berkas pun telah Komnas HAM berikan sesuai arahan Kejaksaan Agung. Komnas HAM memiliki keterbatasan kewenangan sebagai penyelidik dalam penyidikan proyustisia, sehingga tentu saja membutuhkan perintah tertentu yang kewenangannya ada di Jaksa Agung yang memiliki otoritas penuh dalam penyidikan kasus pelanggaran HAM yang berat,” bilang Anam.

Dikatakan juga, Tim ad hoc telah menerima pengaduan dari masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban. Tim juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke lapangan dalam melaksanakan penyelidikan.

“Komnas HAM akan terus berupaya dalam penyelelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat, termasuk peristiwa 1965-1966 dengan dukungan data yang telah dikumpulkan sesuai dengan mandat yang telah diberikan kepada Komnas HAM,” pungkasnya.

Sementara putra Nadiani ingin kebenaran terungkap, dan hak-haknya dituntaskan. Tapi itu sepertinya masih jalan yang panjang dan berliku jika melihat kondisi saat ini.

Sembari menunggu itu, yang terpenting bagi putra Nadiani, Nadiani sebagai satu-satunya orang tuanya saat ini harus hidup bahagia di masa tua.

Putra Nadiani punya cara unik bagaimana merawat kebahagiaan Nadiani sekaligus menghindari dari kepikunan, yakni menyuguhi pelbagai tontonan menarik di Youtube dan membiarkan beraktivitas ke kebun saban hari.

Baca Juga

Dapur Umum Dinsos Agam Suplai 3.000 Nasi Bungkus per Hari untuk Penyintas Bencana dan Relawan
Dapur Umum Dinsos Agam Suplai 3.000 Nasi Bungkus per Hari untuk Penyintas Bencana dan Relawan
Selama libur Lebaran 2024, tingkat hunian hotel dan penginapan di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat (Sumbar), mengalami kenaikan 100 persen
Lebaran 2024, Tingkat Hunian Hotel di Bukittinggi Naik 100 Persen Dibanding 2023
Sempat Terhambat Akibat Air Meluap di Kelok Hantu, Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi Buka Tutup
Sempat Terhambat Akibat Air Meluap di Kelok Hantu, Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi Buka Tutup
Pemerintah Kota (Pemko) Bukittinggi telah menyiapkan 14 titik parkir resmi selama libur Idul Fitri 1445 Hijriyah atau 2024. Belasan titik
Pemko Bukittinggi Siapkan 14 Titik Parkir Resmi, Ini Lokasi dan Tarifnya
Bantuan beras dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Bukittinggi, belakang menjadi sorotan. Di media sosial, heboh bantuan itu karena
Heboh Beras Bantuan Baznas Ada Foto Wali Kota Bukittinggi, Banyak Dikecam
Menteri BUMN Erick Thohir meresmikan Stasiun Lambuang di bekas Stasiun Kereta Api Bukittinggi. Stasiun Lambuang ini akan menjadi pusat
Stasiun Lambuang Bukittinggi Diresmikan Menteri BUMN, Bakal Jadi Pusat Kuliner Terbesar di Sumbar