Letusan Terakhir Pistol Chatib Sulaiman

Berita Tanah Datar – berita Sumbar terbaru hari ini: Bupati Tanah Datar Eka Putra berharap tokoh yang gugur dalam peristiwa Situjuah Limapuluh Kota Chatib Sulaiman menjadi pahlawan nasional.

Chatib Sulaiman. (Sumber foto: Buku 'Sang Republiken)

Langgam.id - "Hampir semua yang tidur di Lurah Kincir itu gugur, termasuk Chatib Sulaiman dengan pistol masih dalam genggamannya…"

Demikian kondisi terakhir jenazah Chatib Sulaiman saat ditemukan warga, setelah tentara Belanda yang menyerang pimpinan militer dan sipil Sumbar meninggalkan Nagari Situjuah Batua, Limapuluh Kota, pada 15 Januari 1949.

Hikmat Israr menggambarkan suasana tersebut di bukunya 'Chatib Sulaiman' yang diluncurkan di Padang, Sabtu (19/1/2019). Acara tersebut digelar Yayasan Chatib Sulaiman dalam rangka peringatan Peristiwa Situjuah dan upaya mengusulkan Chatib Sulaiman sebagai pahlawan nasional.

Kabag Litbang Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat itu menulis, dua kompi tentara Belanda menghujani rumah-rumah tempat menginap tokoh sipil dan militer dengan senapan mesin dan karaben. Dari rumah-rumah tersebut, tulisnya, muncul perlawanan.

Para perwira TNI dan tokoh sipil, termasuk Chatib Sulaiman, saat itu memang membawa pistol. Upaya perlawanan sampai akhir, sebelum kemudian amunisi pun habis.

Mendengar tak ada lagi tembakan, tentara Belanda pun turun menyerbu lembah. "Mereka yang masih hidup dan terluka parah menyiapkan sangkur. Dengan gerakan mendadak, musuh berhasil ditikam. Meski, setelah perlawanan terakhir itu, ia pun harus gugur," tulis Hikmat.

Sebagian yang lain sudah gugur lebih dahulu. "Chatib sendiri tertembus peluru dari punggung, kemudian tembus ke dadanya," tulis Fikrul Hanif Sufyan mengutip SY Mahyuni (1972), dalam buku 'Sang Republiken, Biografi Chatib Sulaiman 1924-1949'.

Buku tersebut juga diluncurkan pada hari yang sama dalam acara yang diselenggarakan Yayasan Chatib Sulaiman untuk mengenang 70 tahun Peristiwa Situjuah itu.

Perlawanan terakhir Chatib Sulaiman, juga disampaikan Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam seminar yang digelar sebelum peluncuran buku.

"Ruslan Saleh, satu-satunya yang selamat dari penggerebekan tentara Belanda di Situjuah, melihat kejadian tersebut. Chatib Sulaiman mempertahankan diri dan berjuang melawan penyerang," kata Asvi, mengutip Marah Joenoes (2001).

Ruslan Saleh sendiri sempat menulis di Titian Persahabatan No 1/2 tahun 1987. "Pada saat yang menegangkan itu saya melihat Chatib Sulaiman berdiri memegang pistolnya sambil tangan kirinya menyandang buntalan berisi surat-surat dan instruksi-instruksi gubernur militer…"

Chatib, tulis Ruslan, mempertahankan dokumen-dokumen itu mati-matian. "Ia memberikan perlawanan dengan menembakkan pistolnya beberapa kali…"

Itulah letusan terakhir dari pistol yang masih digenggamannya saat ia gugur. Sebanyak 69 tokoh sipil dan militer Sumbar, termasuk tokoh nagari dan masyarakat, meninggal dunia dalam serangan mendadak sebelum subuh itu.

Sejarawan Universitas Andalas Wannofri Samry mengatakan, pertemuan di Situjuah Batua pada tanggal 14 Januari 1949 diadakan untuk membahas strategi perjuangan.

Saat itu perjuangan dan pemerintahan negara berada di bawah kendali Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

"Setelah Bukittinggi dan Yogyakarta direbut Belanda, beberapa kota kecil di basis Republik seperti Payakumbuh dan Padang Panjang juga diambil alih," kata Wannofri yang turut menjadi pembicara seminar.

Chatib Sulaiman, saat itu adalah ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD). Lembaga ini, menurut Wannofri, dibuat pemerintah Sumbar untuk menyatukan seluruh kekuatan perjuangan, sejak sebelum agresi terjadi. Selain menjadi ketua lembaga ini, Chatib saat itu juga anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Audrey Kahin dalam buku 'Dari Pemberontakan ke Integrasi' menulis, dalam pertemuan yang dihadiri sekitar 80 tokoh sipil dan militer tersebut, Chatib merupakan tokoh sipil tertinggi. Tokoh militer tertinggi yang hadir, Letkol. Dahlan Ibrahim, Panglima Divisi Banteng sekaligus kepala staf Gubernur Militer Sumbar.

Pertemuan berakhir lewat tengah malam. Mereka yang tinggal di Payakumbuh dan lumayan dekat, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang tinggal jauh, kemudian menginap di beberapa rumah di lembah itu.

Fikrul yang juga Wakil Ketua MSI Sumbar itu menulis, dini hari 15 Januari itu, mata Letkol. Dahlan tak bisa dipejamkan. Ia khawatir dengan keselamatan peserta rapat yang menginap di sana.

Kekhawatiran yang kemudian memperoleh bukti, ketika rentetan tembakan memecah kesunyian sebelum fajar. Dahlan bisa selamat ketika mengikuti Makinuddin, pemilik rumah, melalui sisi tebing.

Mereka yang tak sempat lari, Chatib Sulaiman bersama Bupati Militer Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsjah serta tujuh orang lainnya yang didominasi para perwira militer. Semua gugur tertembak atau tertusuk bayonet. Total keseluruhan, serangan itu memakan korban 69 orang.

Chatib, bukan tokoh baru dalam perjuangan Republik di Sumbar ketika itu. Tokoh kelahiran Sumpu, Tanah Datar pada 1906 tersebut sudah malang melintang jadi aktivis perjuangan kemerdekaan sejak zaman Hindia Belanda.

Hikmat menulis, di akhir masa pemerintahan Belanda, ia menggalang massa untuk mengibarkan bendera merah putih dan sempat dibuang ke Aceh. Ia bebas ketika Jepang masuk.

Di era Jepang, Chatib adalah otak yang merancang dibentuknya Laskar Rakyat (Gyugun) yang kemudian menjadi cikal bakal anggota BKR, TKR dan selanjutnya TNI, di Sumbar.

Chatib Sulaiman juga melaksakan perintah Bung Hatta mengumpulan sumbangan emas untuk perjuangan Republik. Hasilnya, kemudian disumbangkan ke pemerintah yang kemudian dibelikan pesawat. Pesawat yang kemudian jatuh dan membawa korban Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma.

Gugurnya Chatib membawa duka untuk perjuangan PDRI ketika itu. Namun, harapan kemudian bangkit. Serangan umum 28 Februari 1949 ke Kota Payakumbuh selama beberapa jam, membuat pertahanan tentara Belanda kocar-kacir.

Serangan umum yang kemudian juga dilakukan di Jogja. Sampai kemudian Bung Karno dan Jenderal Sudirman kembali ke Ibu Kota. Lalu, mandat pemerintahan pada 13 Juli 1949 dikembalikan Mr. Sjafruddin Prawiranegara kepada Bung Hatta.

Pada akhirnya, pesan terakhir Chatib yang sempat ia kirim kepada Buya HAMKA sebelum meninggal, memperoleh bukti, "Indonesia pasti akan merdeka penuh sesudah mendapat cobaan berat…" tulis Chatib, sebagaimana dikutip Fikrul di makalahnya.

Ya, cobaan berat yang kala itu harus ditebus sepenuh jiwa oleh para pejuang seperti Chatib. Untuk cita-cita merdeka penuh yang kemudian dinikmati saudara sebangsanya. (Rahmadi/HM)

Baca Juga

Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
Ekspedisi Bela Negara, Menjemput Semangat PDRI di Masa Silam
M. FAJAR RILLAH VESKY
75 Tahun Peristiwa Situjuah, dan Chatib Soelaiman yang Tak Kunjung Jadi Pahlawan Nasional
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Puluhan Millenial dan Gen Z Mencari Ibu Kota Republik Lewat Ekspedisi D.Day Bela Negara 2023
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Menilik Konflik Agraria di Nagari Ibukota Republik
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Misteri "Black Cat", Pesilat dan Harimau, Pengawal PDRI dari Kejaran Belanda
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z
Menyambut 75 Tahun PDRI: Merunut Sejarah PDRI dalam Meningkatkan Partipasi Politik Generasi Z