Konsolidasi Residen Rasjid dengan Ratusan Wali Nagari

Konsolidasi Residen Rasjid dengan Ratusan Wali Nagari

Mr. Sutan Mohammad Rasjid (Foto: Ist)

Langgam.id - Ratusan wali nagari hari itu berkumpul di Bukittinggi. Para pimpinan tertinggi di akar pemerintahan Ranah Minang tersebut datang memenuhi undangan Residen Sumatra Barat Mr. Sutan Mohammad Rasjid.

Buku 'Republik Indonesia Volume 10' (1953) yang diterbitkan Kementerian Penerangan menulis, sekitar 450 sampai dengan 500 wali nagari berkumpul mulai 27 Maret hingga 30 Maret di Bukittinggi. Mereka menghadiri konferensi wali-wali nagari yang diadakan Pemerintah Keresidenan Sumbar.

Pembukaan konferensi tersebut, tepat terjadi 72 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (27/3/2019).

Para wali nagari yang hadir dalam pertemuan, sebagian besar adalah pemimpin baru. Mereka belum satu tahun terpilih dalam pemilihan wali nagari serentak pada Juni dan Juli 1946, saat peralihan kepemimpinan Residen Mohammad Djamil ke Rasjid.

Dengan demikian, ketika Rasjid menjabat residen keempat Sumbar mulai 20 Juli 1946, hampir seluruh nagari sudah dipimpin oleh wali nagari baru.

Sejarawan Audrey Kahin dalam Buku 'Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998' (2005) menulis, pemilihan wali nagari yang dilangsungkan di seluruh Sumbar diadakan untuk memilih Dewan Perwakilan Nagari (DPN) dan wali nagari.

Seluruh warga yang berusia 18 tahun ke atas, memiliki hak pilih. Partai politik dan kelompok sosial diperbolehkan kampanye untuk menggolkan calonnya.

Hasilnya, Partai Masyumi menang besar. Sekitar 90 persen wali nagari yang terpilih adalah anggota atau calon yang direkomendasikan Masyumi. Begitu juga DPN, mayoritas diisi kader Masyumi.

Pemilihan di tingkat nagari tersebut, menurut Audrey, merupakan upaya keresidenan meraih dukungan masyarakat dari level nagari. Bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia, kepemimpinan residen di Sumbar terlalu berjarak dengan keinginan masyarakat yang ingin melakukan perubahan frontal.

Sementara, kepemimpinan di Keresidenan Sumbar yang berada di bawah Provinsi Sumatra juga menghadapi masalah konsolidasi dan menghadapi berbagai konflik.

Kekisruhan dan konflik di negara yang masih bayi terjadi tiap sebentar. Residen Mohammad Djamil misalnya harus menghadapi kekacauan akibat aksi Tuanku Nan Hitam dan kelompoknya di pinggir Kota Bukittinggi. (Baca: Residen Dr. M. Djamil, Memimpin Sumbar di Tengah Konflik)

Ada lagi upaya pembentukan negara boneka pembentukan negara boneka Belanda, seperti: Daerah Istimewa Sumatra Barat (Disba). (Baca: Perjanjian Linggarjati dan Gagalnya Daerah Istimewa Sumatra Barat)

Dan, yang paling berat adalah Peristiwa 3 Maret 1947, saat laskar Hisybullah ingin menculiknya dan merebut kekuasaan keresidenan. (Baca: Peristiwa 3 Maret 1947, Pergolakan Ranah di Awal Merdeka)

Sebelum Rasjid, residen Sumbar sering berganti. Belum setahun merdeka, residen yang menjabat di Sumbar sudah berganti tiga kali. Masa jabatan residen hanya berkisar 1,5 bulan sampai empat bulan. Dan, Rasjid adalah tokoh yang diharapkan membawa perubahan dengan kepemimpinan kuat.

Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam Buku 'Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 50-an' menulis, sejak residen pertama mengundurkan diri, nama Rasjid selalu dicalonkan untuk menjadi orang nomor satu di Sumbar.

"Namun dengan berbagai alasan ia selalu menolak kesempatan itu. Akhirnya, setelah dua kali menolak, maka tanggal 20 Juli 1946 Rasjid diangkat menjadi residen Sumbar yang keempat."

Beberapa bulan memimpin, kemudian terjadilah Peristiwa 3 Maret 1947 yang menghendaki kebijaksanaan sekaligus ketegasannya.

Ahmad Datuk Simaradjo dalam buku kumpulan tulisan 'Sutan Mohamad Rasyid' (1981) yang dibuat untuk memperingati ulang tahun Rasjid yang ke-70 menulis langkah yang dilakukannya menyelesaikan Peristiwa 3 Maret 1947.

Yakni, membebaskan dan merekrut anggota barisan (pemberontakan) yang sehat dan memenuhi syarat ke dalam TNI serta hanya mengadili pemimpinnya saja. Langkah berikutnya adalah mengadakan pertemuan dengan 560 wali nagari dari seluruh Sumbar.

Pramoedya Ananta Toer dkk dalam 'Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947)' yang terbit pada 2001 menulis, dalam kesempatan itu Residen Rasjid dan Panglima Divisi IX Kolonel Ismael Lengah dengan panjang lebar menguraikan masalah pertahanan negara.

Selanjutnya Dewan Pertahanan Daerah, Kepala Jawatan Pertanian, Kesehatan dan lain-lain mengajak para wali nagari untuk menginsyafi sedalam-dalamnya, bahwa kemenangan revolusi, baru akan tercapai apabila segenap lapisan rakyat ikut berjuang.

"Semua anak muda yang sudah cukup umur harus bersedia maju ke medan pertempuran. Dan, bakti rakyat dalam bentuk penyerahan 10 persen penghasilan padi (iuran perang) harus dilakukan sebaik-baiknya. Dibicarakan juga kemungkinan untuk mendirikan Majelis Kredit sebagai badan pembantu kaum tani," tulis Pramoedya.

Konsolidasi tiga hari di Bukittinggi ini meningkatkan soliditas Sumbar. Kepemimpinan Rasjid berhasil menyelesaikan masalah internal dan kemudian berkonsentrasi dalam perjuangan melawan tentara Belanda.

Residen Rasjid yang kemudian menjadi gubernur militer Sumbar merangkap menteri pertahanan (Desember 1948-Juli 1949) pada zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), setelah itu bisa berkomunikasi lebih mudah dengan semua level pemerintahan hingga ke tingkat nagari.

"Instruksi-instruksi Gubernur Rasjid ke seluruh daerah seringkali diselingi dengan kata-kata yang khas, yang membuat pembacanya seakan-akan langsung mengikuti pidato pemimpin mereka," tulis Sejarawan Universitas Negeri Padang Mestika Zed, dalam Buku 'Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia' (1997).

Mestika memberi contoh instuksi itu, "Berikanlah bantuan sebanyak-banyaknya dalam (bentuk) apa saja untuk memperkuat kembali kedudukan negara, dan segala anjuran dari pihak Belanda kalau sampai kepada rakyat mesti dapat dibasmi bersama-sama dengan pamong praja dan polisi."

Kepemimpinan Rasjid tersebut, yang membuat seluruh nagari di Sumbar solid menjaga perjuangan PDRI selama delapan bulan. Perjuangan yang kelak jadi modal besar untuk pengakuan kedaulatan Republik. (HM)

Baca Juga

HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu