Kembali ke Sistem Barter Saat Perang Mata Uang PDRI-Belanda

Kembali ke Sistem Barter Saat Perang Mata Uang PDRI-Belanda

URIPS vs Uang NICA. (Foto: Ist, Grafis: Langgam.id)

Langgam.id - Peraturan tersebut ditandatangi Gubernur Militer Sumatra Barat Mr. Sutan Mohammad Rasjid. Tak seperti lazimnya peraturan resmi, di bagian pengesahan aturan itu tertulis, "Ditetapkan di satu tempat di Sumatera Barat."

Mr. Rasjid tidak sedang main sembunyi-sembunyian. Inilah peraturan khas zaman darurat. Lokasi para pengambil kebijakan sengaja dirahasiakan dengan pertimbangan keamanan.

Peraturan yang keluar untuk mencegah kekacauan peredaran keuangan itu ditandatangani pada 7 April 1949, atau tepat 70 tahun lalu dari hari ini, Ahad (7/4/2019).

Pemerintahan militer Sumatra Barat yang dipimpin Rasjid di bawah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafruddin Prawiranegara, hari itu sudah lebih tiga bulan berada di pelosok-pelosok nagari yang tak terjangkau patroli tentara Belanda.

Agresi militer Belanda menimbulkan dampak berlapis. Ancaman keamanan berangkaian dengan politik dan kekacauan ekonomi. Sebagai basis utama dan membawahi wilayah gerilya pimpinan PDRI, Rasjid mesti bekerja ekstra.

Berulangkali surat edaran dan aturan harus ditandatangani. Kali ini, Rasjid mesti menyelesaikan kusut ekonomi dan moneter yang memang sudah jadi masalah sejak awal merdeka.

Mohammad Iskandar dalam tulisannya ‘Oeang Repoeblik dalam Kancah Revolusi’ di Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1, Agustus 2004 menulis, ketika Belanda datang ke Indonesia dengan membonceng Sekutu, mereka menguasai bank-bank dan tempat pencetakan uang rupiah Jepang yang berlaku ketika itu. (Baca: Kisruh Moneter Sumbar di Awal Merdeka)

Menurut Iskandar, Belanda kemudian menghambur-hamburkan uang tersebut untuk biaya operasi militer, menggaji pegawai dari orang pribumi dan membayar orang-orang yang berpihak kepada Belanda. Langkah penghancuran nilai uang Jepang ini kemudian diiringi dengan mengeluarkan uang Hindia Belanda baru, yang dikenal kemudian dengan uang NICA.

Melalui maklumat tanggal 2 Oktober 1945, pemerintah menyatakan, uang NICA tak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pemerintah kemudian merintis pembuatan ORI (Oeang Republik Indonesia). Uang ini mulai berlaku pada 30 Oktober 1946 dan beredar sampai ke Sumbar.

Rimsky K. Judisseno dalam Buku 'Sistem moneter dan perbankan di Indonesia' menulis peredaran ORI saat itu tidak berjalan mulus. Dari segi kualitas dan penampilannya, jika dibandingkan dengan uang Jepang dan uang NICA, penampilan ORI sangat memprihatinkan.

Agresi Militer I pada 21 Juli 1947 kemudian mempersulit komunikasi antar Yogyakarta dan daerah. Daerah kemudian kekurangan uang tunai.

"Keadaan inilah yang mendorong Pemerintah RI mengizinkan untuk menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (Orida) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat propinsi," tulis Rimsky.

Ahmad Husein dalam 'Sejarah perjuangan kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau, 1945-1950' (1991) menulis, dalam bulan April dan Mei 1947 Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (URIPS) dikeluarkan di Pemantang Siantar dengan kurs 468. Uang ini berlaku atas kebijakan Gubernur Sumatra Teuku Muhammad Hasan.

Ketika Pematang Siantar dikuasai Belanda, pencetakan uang dipindahkan ke Bukittinggi. “Di Sumbar, otoritas mencetak kertas berharga itu berada di tangan militer, yaitu Bagian Keuangan Divisi Ix/Divisi Banteng di Bukittinggi,” tulis Sejarawan Mestika Zed dalam Buku ‘Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia’ (1997).

Masalah belum selesai. Pamor URIPS di mata rakyat tergerus seiring Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Di setiap wilayah yang berhasil didudukinya Belanda menyatakan yang berlaku adalah uang NICA.

Saat semua daerah penting dan kota di Sumbar dikuasai Belanda, sementara pemerintah darurat bergerilya di hutan dan tempat-tempat tak bernama di pelosok nagari, pemerintahan Sumbar di bawah Gubernur Militer Rasjid tak mau kalah, tetap mengatur soal moneter ini.

Dalam rangka itulah peraturan nomor 6/GM/P-1949 tertanggal 7 April 1949 itu diterbitkan.

"Bahwa dirasa perlu menegaskan lagi peraturan-peraturan peredaran keuangan dalam daerah Sumatera Barat. Memperhatikan: Laporan-laporan dari Kepala-kepala Daerah yang bersangkutan dengan peredaran uang Jepang dan uang URIPS," tulisnya.

Maka, gubernur militer Sumbar menetapkan, pertama, Uang URIPS dan uang Jepang, "walaupun koyak-koyak asal direkat baik-baik," terus berlaku sebagai uang kertas yang sah di Sumatra Barat.

Kedua, gubernur militer melarang mempergunakan, memperedarkan atau menyimpan uang kerta lain dari yang tersebut dalam sub. 1 (poin pertama).

Ketiga, gubernur militer memerintahkan polisi, jaksa, MPRK, MPRN dan badan-badan terkait untuk mengambil tindakan- tindakan yang perlu terhadap pengacau-pengacau, yang dianggap merusak peredaran keuangan di Sumatera Barat. Aparat diminta menyita uang tersebut dan menahan orang-orang yang menolak pembayaran dengan menggunakan uang Jepang dan URIPS.

Sebelum penegasan ini keluar, sudah terlebih dahulu ada peraturan gubernur militer No. 6/GM/P-1949. Dalam penjelasan aturan ini, Rasjid menjelaskan langkah-langkah yang sudah dilakukan dan mengharapkan kerja sama rakyat.

Menurut Rasjid, sebelum Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1949, sudah dikeluarkan sedikit uang kertas Urips R 2.50 dan R 1.-. Sebagian uang ini, menurutnya,tidak memakai 'serie-letter' dan dan 'serie-nomor'. Uang ini tetap boleh diperedarkan.

Sementara, "Uang Java Bank dulu dan uang Nica sekarang yang dinamai Belanda uang Federal tetap tidak berlaku."

Gubernur memahami, masyarakat di wilayah yang sudah diduduki Belanda, kemungkinan ada yang dipaksa untuk menerima uang tersebut.

"Mungkin dalam daerah pendudukan Belanda uang itu dipaksakan melakukannya kepada rakyat, tetapi kita percaya rakyat yang tabah hati dan merasa dirinya tetap RepublIkein tentu tidak menerima uang itu," tulisnya dalam penjelasan aturan itu.

Menurut Audrey Kahin dalam Buku 'Dari pemberontakan ke integrasi Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998' (2005), karena perang mata uang tersebut masyarakat kemudian menjadi tidak bergantung kepada mata uang.

"Penduduk sempat berlaih kepada sistem barter di dalam dan di antara nagari-nagari bertetangga, dan berdagang (menyelundup) dengan daerah pendudukan Belanda, seperti juga dengan daerah pro Republik di pulau itu," tulisnya. (HM)

Baca Juga

HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
MSI Sumbar Dorong Penetapan Cagar Budaya Melalui Tahapan Akademik
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu
Seminar Front Palupuh Ungkap Perlawanan Sengit Menghadang Belanda 74 Tahun Lalu