Kelaziman Berubah Menjadi Kezaliman 

Sebuah bendi kuda berguling-guling hingga terhempas ke trotoar pada sebuah senja beranjak malam. Belasan kenderaan roda empat di belakangnya melambat. Ada yang turun menolong pak kusir yang menenangkan kuda dan menegakkan bendi. Jalanan macet sebelah, jalur berlawanan masih kenderaan masih melaju.

Setelah aman, baru tahu ada lobang segi empat selebar kuburan orang dewasa di jalan tempat kuda menggelinjang hingga rebah tadi. Ketika ia sedang berlari konstan, tiba-tiba pijakan tidak merata. Kuda terkejut. Kaki terplintut. Roboh. Mungkin juga, pijakan tak terduga itu mungkin saja membuat paku sepatunya menyentuh daging lalu ia kesakitan.

Apapun itu, pangkal-balanya adalah lobang aspal yang sengaja dibuat untuk perbaikan. Sepanjang by pass, itu sering terjadi. Lobang terlalu lama menganga dan menjatuhkan korban para pengendara. Kecelakaan tunggal seperti ini mengerikan jika di belakangnya ada kenderaan yang sedang melaju.

Kejadian serupa di atas lazim terjadi di jalanan. Tidak ada yang dipersalahkan kecuali menyalahkan dan instrospeksi diri agar berhati-hati. Sebab tak ada jaminan semua jalan di negeri ini bisa mulus oleh pemerintah. Tidaklah lazim, rakyat menuntut pemerintah yang telah diamanatkan menjalankan tugas pembangunan. Beda di negara maju, seperti cerita seorang terkenal yang jatuh dan cedera karena jalan rusak, ia menuntut pemerintah membuat jebakan sehingga dirinya kecelakaan. Pemerintah kalah, memberi ganti rugi kepada rakyatnya yang terkenal itu. Ganti rugi itu dilipatgandakan dari kerugian dan pendapatan yang seharusnya didapatkan ketika ia tidak cedera.

Inilah kelaziman yang kita diamkan menjadi kezaliman sistemik dan struktural. Kadang-kadang terpikirkan, pemimpin-pemimpin yang tersangkut hukum, tertuduh dan terbukti korup, tiada lain balasan dari ulah yang tak bersengaja berlaku zalim bertahun-tahun terhadap rakyat yang dipimpinnya. Kezaliman yang tak disadarinya secara langsung tetapi oleh bawahan.

Rakyat terlalu baik. Membiarkan kezaliman atas dirinya berlangsung menahun. Mencoba memahami begitu sibuknya pemimpin memikirkan hal-hal yang lain, yang mungkin lebih penting dari itu. Sehingga beberapa meter yang seharusnya telah diaspal, bisa bertahun-tahun tidak dilakukan. Padahal, pemimpin begitu banyak anak buahnya. Entah kenapa bisa diselesaikan.

Itu soal jalan, belum lagi soal hak publik yang lain. Misalnya pembayaran hak dalam bentuk gaji, tunjangan, bantuan, dll. Atau soal administrasi yang tidak sederhana, yang harusnya bisa disederhanakan. Menahun harus ditunggu atau urus secara "personal to personal" kepada petugas, jangan lupa selipkan juga sesuatu sebagai lambang persahabatan.

Mekanisme birokratif tersebut sudah lazim pula dipahami, yang sesungguh telah menzalimi satu dua orang bahkan lebih dari itu. Jika sudah diebohkan publik, dimuat di media massa, viral di media sosial, maka barulah pemimpin itu menekan bawahannya untuk menyelesaikan bengkalai-bengkalai persoalan. Rakyat harus menjerit dulu, baru dikerjakan. Begitulah lazimnya.

Contoh nyata itu ada pada bantuan terhadap rakyat terdampak Covid-19, yang tahap I begitu lamban, juga ada yang salah sasaran karena kekeliruan data. Sementara itu, tahap II sepertinya akan lebih tersendat atau mungkin memang tidak ada. Anggota legislatif sedang mendesak agar dilaksanakan.

Keadaan ini tidak mudah berubah, jika tidak ada pemikiran dan gerakan untuk mengubahnya. Ada banyak pemikiran untuk dan ingin mengubahnya tetapi tidak ada gerakan yang signifikan. Memang mudah mengusulkan pemikiran-pemikiran tetapi sepanjang tidak ada gerakan besar untuk itu, sama halnya satu ton teori yang diam. Lebih baik satu ons praktek dari pada satu ton teori yang diam itu.

Politisi, pemimpin, pejabat pemerintah, hampir saban waktu mengungkapkan pemikiran-pemikiran kepada publik tetapi gerakan pengerjaan yang dilakukan oleh bawahan pemimpin itu sangatlah lamban. Lebih mengutamakan prosedur dari pada substansi yang hendak dicapai. Ada apa ini? Banyak hal, salah satunya adalah sikap mental dan semangat pelayanan yang buruk, di samping antarelemen pendukungnya tidak bersatu mencapai tujuan yang hendak dicapai pemimpin mereka. Ya, pemimpin mereka, bukan pemimpin rakyat. Rakyat telah memandatkannya lewat pemilihan-pemilihan yang reguler dilaksanakan. 

Adakah kesadaran dari para pemimpin kita atas kepemimpinan yang buruk tersebut sehingga meminta maaf kepada yang telah memandatkannya? Sejauh ini belum ada terdengar. Bisa saja di dalam hati mengakuinya tetapi malu mengungkapkannya atau rugi secara politik untuk menyatakannya. Atau memang tidak menyadari selama ini telah menjalankan kezaliman yang telah menjadi kelaziman. Atau ada alasan lain, mungkin saja.

Kini di tengah gerakan kelaziman baru dengan nama resmi Tatanan Normal Baru Produktif Aman (TNBPA) Covid-19, harapan atas perubahan-perubahan kehidupan yang lebih baik tidaklah banyak. Sebab sudah begitu banyak bukti, sistem yang buruk dimulai dari kepemimpinan yang buruk. Sungguhpun masih terdapat kebaikan-kebaikan, seperti keberlangsungan rutinitas pemerintahan, kehidupan yang nyaman, sejatinya kita tetap mensyukurinya.

Perubahan menjadi lebih baik dalam sistem kehidupan ini, tidak pernah datang tiba-tiba, baik secara personal maupun secara bersama. Perlu ada pihak yang mendorong, mengerjakan, mengawasi, serta mengevaluasinya. Lagi-lagi kebersamaan dibutuhkan, sayangnya kebersamaan saja tidaklah cukup, perlu ada pemimpin yang kuat, kharismatik, menyadari dan takut kelaziman menjadi kezaliman. Sebab doa orang yang benar-benar terzalimi akan diijabah. Bagi pemimpin yang menyadari itu, akan bekerja sungguh-sungguh, tidak pencitraan, tidak hebat di media massa saja, tetapi harus terasa oleh rakyat atas kerja kepemimpinannya.


Dr. Abdullah Khusairi, MA. Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang

Tag:

Baca Juga

New Normal Era Totalitas Cyber PR
New Normal Era Totalitas Cyber PR
Perda Covid-19 di Padang
Polresta Padang Bagikan Ribuan Masker dan Sosialisasikan Perda Adaptasi Kebiasaan Baru
Perda Adaptasi Kebiasaan Baru Sah, Gubernur Sumbar Langsung Bertemu Forkopimda
Perda Adaptasi Kebiasaan Baru Sah, Gubernur Sumbar Langsung Bertemu Forkopimda
perda kemendagri, Relawan Covid-19 payakumbuh
Perda Kebiasaan Baru Disahkan, Tak Pakai Masker Terancam Penjara 2 Hari
DPRD Sumbar mulai bahas Ranperda New Normal dalam rapat paripurna. (Foto: Rahmadi)
DPRD Sumbar Mulai Rapat Paripurna Bahas Ranperda New Normal
KSP Konferensi Video dengan Gubernur Sumbar, Sampaikan Kriteria Tertentu Izin Mudik, ppkm
Pertimbangan Pemprov Sumbar Tak Berlakukan PSBB Lagi untuk Atasi Corona