Kandasnya Federasi Sumatra dan Negara Minangkabau

Kandasnya Federasi Sumatra dan Negara Minangkabau

Sumatra Barat dan Pulau Sumatra. (Peta: openstreetmap.org)

Langgam.id - Sebanyak 86 utusan berbagai daerah dan suku bangsa berkumpul di Medan. Hadir utusan dari Bangka, Indragiri, Bengkulu, Siak, Bengkalis, Belitung, Jambi, Lampung, Riau, Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sabang, Sumatra Selatan, Sumatra Timur dan termasuk Minangkabau. Aceh dan Nias menolak mentah-mentah untuk hadir.

Para utusan tersebut datang untuk menghadiri acara 'Muktamar Sumatra' yang diadakan Dr. Tengku Mansur, Wali Negara Sumatra Timur. Demikian ditulis Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Buku 'Kronik Revolusi Indonesia Jilid V'.

Peristiwa tersebut, menurut Pram, terjadi pada 29 Maret 1949, atau tepat 70 tahun lalu dari hari ini, Jumat (29/3/2019).

Suprayitno, dalam 'Jalan Keluar yang Buntu Federasi Sumatera Sebagai Gagasan Kaum Terpojok' yang termuat dalam Buku 'Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950‑an: Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa' (2011) menulis, muktamar berlangsung sampai 2 April 1949.

Muktamar itu, menurut Suprayitno, diadakan pas dua minggu sebelum Komisi Tiga Negara (KTN) berunding. Perundingan tersebut kemudian mengarah pada langkah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik pada Konferensi Meja Bundar pada Agustus 1949 di Den Haag.

Pada saat yang sama Bung Karno dan para pemimpin masih ditahan di Pulau Bangka oleh Belanda. Pada saat yang sama pula, Mr. Sjafruddin Prawiranegara masih berada jauh di pelosok Sumatra Barat mengkoordinasikan perjuangan melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Para pejuang dan tentara ada di rimba raya bergerilya bersama.

Medan, Padang dan kota-kota besar di Sumatra sudah berada dalam kekuasaan Belanda. Bahkan, sejak 1947 saat Perjanjian Linggarjati ditandatangani. Belanda bahkan sudah menguasai kota-kota di pedalaman saat melakukan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.

Di kota yang dikuasai Belanda itulah, muktamar diadakan dengan aman. Dalam pidato pembukaannya, Tengku Mansur mengatakan, perlunya membentuk Negara Indonesia Serikat. Namun, untuk membentuk negara tersebut ia menilai suara Sumatra perlu didengar. Ia menginginkan bentuk persatuan Sumatra dalam Negara Indonesia Serikat.

Mengutip Buku 'Sumatera Utara' yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1953), Suprayitno menulis isi pidato tersebut: "Pertama-tama sekali saja harus mentjatat sebagai suatu kenjataan bahwa bahagian jang terbesar dari pada bangsa Indonesia berkehendak, supaja dalam masa jang sesingkat-singkatnja terbentuk Negara Indonesia Serikat jang merdeka berdaulat.

"...Untuk mentjapai tudjuan politik jang telah disebutkan, jaitu membentuk Negara Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat, maka dapatlah Sumatera, sebagai salah satu dari pada tiang jang terpenting, tempat gedung Indonesia kelak harus bertumpu, mendjalankan peranan jang besar artinja.

... Tak perlu saja buktikan disini kepada tuan-tuan, bahwa tiang jang terbuat dari pada batu bertjerai-tjerai, kurang kokohnja dan tak dapat dipakai mendjadi salah satu topang jang terpenting bagi gedung Negara Indonesia Serikat, dan bahwa kita harus berusaha memperoleh semen untuk mengikat batu-batu itu."

Pembahasan kemudian mengarah kepada perlunya dibentuk Federasi Sumatra yang nantinya akan menjadi bagian dari Negara Indonesia Serikat. Meski juga ditekankan, tiap daerah tetap harus diberikan kesempatan untuk menentukan cara pemerintahannya.

Namun, rencana membuat federasi itu mentah karena banyak delegasi yang hadir tidak punya mandat dari daerah ia dikirim. Kecuali Negara Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Sibolga, Bengkulu dan Jambi. Sementara daerah lainnya lebih mewakili pribadi-pribadi.

"Misalnya, utusan dari Minangkabau (Sumatera Barat), Dt. Parpatih Baringek meskipun datang ke Muktamar tanpa tujuan dan semata-mata hanya memenuhi undangan Tengku Mansoer, namun ia mengusulkan agar Sumatera menjadi sebuah negara dari Negara Indonesia Serikat (NIS) dengan otonomi yang seluas-luasnya. Sumatera dengan demikian hendaklah bersifat federasi," tulis Suprayitno.

Roesad Datuak Parpatiah Baringek adalah mantan residen kedua Sumatra Barat. Ia hanya menjabat empat bulan dari November 1945 sampai dengan Maret 1946.

Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan mengatakan, ketika Datuak Parpatiah Baringek terpilih jadi residen, banyak yang menyoalnya. "Karena statusnya sebagai mantan pegawai Pemerintah Hindia Belanda," katanya kepada Langgam.id, Jumat (29/3/2019).

Namun, karena pengalamannya di bidang administrasi pemerintahan itu yang membuat ia terpilih jadi residen. Dalam empat bulan, ia kemudian digantikan Dr. Mohammad Djamil. (Baca: Residen Dr. M. Djamil, Memimpin Sumbar di Tengah Konflik)

Mestika Zed dkk dalam Buku 'Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995' menulis, Roesad Datuk Perpatih Baringek, (lahir 1893) adalah satu dari sedikit putra Minangkabau yang memiliki karir tertinggi dalam jajaran pegawai pada masa kolonial Belanda.

"Pernah menjadi Asisten Demang di beberapa tempat (Bangkinang, Buo, Lb.Sikaping, Sawah Lunto dan Padang) dan Wakil Ketua Minangkabau Raad juga badan serupa zaman Jepang Shu Sangi Kai," tulis Mestika.

Setelah tak lagi jadi residen, Datuak Parpatiah Baringek kemudian banyak dikaitkan dengan rencana pendirian negara boneka Belanda di Sumbar.

Gusti Asnan dalam 'Kamus Sejarah Minangkabau' (2003) menulis, cikal bakal usaha pendirian negara boneka ini telah terlihat sejak tahun 1946 di Padang. Saat itu, menurutnya, sebuah perkumpulan yang bernama Persatuan Umum terbentuk. Tujuan organisasi ini menjalin kerjasama antara orang Minangkabau (dan Indonesia umumnya) dengan Belanda.

"Umumnya anggota perkumpulan yang diketuai oleh Sidi Nan Putih ini terdiri dari orang-orang yang berada dalam kamp Belanda. Perkumpulan ini sering melakukan hasutan dalam artian menjelek-jelekan perjuangan RI," tulis Gusti.

Untuk keperluan agitasi, menurutnya, Persatuan Umum juga menerbitkan sebuah surat kabar yang diberi nama Suara Umum. Persatuan Umum meleburkan dirinya menjadi Disba (Daerah Istimewa Sumatra Barat). Disba sempat rencana dideklarasikan di Padang pada 1947, namun gagal. (Baca: Perjanjian Linggarjati dan Gagalnya Daerah Istimewa Sumatra Barat)

"Disba diketuai oleh Dr. Anas dan sekretarisnya S. Alaudin serta mengambil kota Padang sebagai pusatnya. Disba dibentuk dengan tujuan mendirikan negara mendirikan negara boneka seperti yang didirikan di Sumatera Timur (NST) dan Sumatera Selatan (NSS)," tulis Gusti.

Disba selalu bergerak di wilayah yang dikuasai Belanda. Ketika Belanda menguasai wilayah pedalaman Sumbar setelah Agresi Militer II, maka Disba juga memperluas melancarkan gerakannya di Padang Panjang dan Bukittinggi.

"Di kota-kota ini didirikan BPS dengan anggota sekitar 40 orang. Bersama-sama Disba, BPS membentuk badan yang bernama Gerakan Negara Minangkabau. Gerakan Negara Minangkabau ini dipelopori oleh Dt. Perpatih Baringek dan Mr. Harun Al-Rasyid," tulisnya.

Jenderal AH Nasution dalam Buku 'Sekitar Perang Kemerdekaan' (1977), juga menyinggung soal Negara 'Boneka' Minangkabau tersebut.

"Belanda merasa sudah cukup kuat untuk memulai politik balkanisasi yang terkenal itu pada bulan Maret 1949 yakni dengan melanjutkan membentuk negara atau daerah istimewa," tulisnya.

Menurut Nasution, pada tanggal 17 Maret 1949 di Bukittinggi didirikan Panitia Persiapan Pergerakan Pendirian Negara Minangkabau. "Panitia ini mencoba mengadakan rapat, dengan maksud membentuk gerakan separatis yang bertujuan mendirikan sedikit- dikitnya Daerah istimewa Minangkabau," tulisnya.

Gerakan tersebut, menurut Nasution, dianjurkan dari Padang. "Oleh bekas Sekretaris Dewan Minangkabau dulu, yaitu Dt. Perpatih Baringek dan Mr. Harun al Rasyid, Wakil Kementerian Kehakiman RI untuk Sumatera. Pemukanya yang terkenal kemudian ialah Dr Anas."

Itu artinya, kehadiran Datuak Parpatiah Baringek memenuhi undangan pembentukan federasi Sumatra, terjadi setelah pembentukan panitai persiapan kemerdekaan Negara Minangkabau, sebagaimana ditulis Nasution.

Gusti Asnan kepada Langgam.id mengatakan, sangat logis bila terjadi koordinasi antara NST dengan tokoh-tokoh penggagas Negara Minangkabau, seperti Datuak Parpatiah Baringek.

Kehadiran Datuak Parpatiah di Medan dan semua kegiatan yang diadakan di kota-kota yang berada di bawah kekuasaan tentara Belanda, menurutnya, jelas menandakan hal itu difasilitasi Belanda.

Namun, menurut Gusti, semua gagasan tersebut mentah karena tak dapat dukungan rakyat. "Tokoh-tokoh yang menggagas negara-negara boneka kan memang umumnya mantan pegawai zaman Belanda. Setelah merdeka, panggung mereka habis," tuturnya.

Seluruh nagari di Sumbar, saat kejadian tersebut solid mendukung Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Di bawah Gubernur Militer Sutan Mohammad Rasjid, semasa PDRI seluruh wali nagari bahkan berubah nama jadi wali perang, camat menjadi camat militer dan bupati jadi bupati militer. Rasjid, sejak 1947 bahkan sudah mengkonsolidasikan kekuatan di Ranah Minang sampai level wali nagari. (Baca: Konsolidasi Residen Rasjid dengan Ratusan Wali Nagari)

Sejarawan Audrey Kahin menyebut, tentara Belanda frustasi melihat kenyataan ini. "Frustasi Belanda terhadap kegigihan orang Republiken di Sumatra Barat dijumpai pula di beberapa daerah Indonesia lainnya," tulisnya dalam 'Dari Pemberontakan ke Integrasi, Sumatra Barat dan Politik Indoensia 1926-1998' (2003).

Ketidaksanggupan Belanda mengatur kekuasaan di wilayah yang telah mereka duduki ditambah desakan dunia Internasional, membuat mereka akhirnya mau berunding dengan pemerintah RI. (Hendra Makmur/SS)

Baca Juga

Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Menhir Maek Tiang Peradaban yang Selaras dengan Semesta
Tanjung Barulak Menolak Pajak
Tanjung Barulak Menolak Pajak
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
HIMA Sejarah Unand Bekali Angkatan Muda
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Situs Diduga Peradaban Era Neolitik-Megalitik Ditemukan di Lubuk Alung
Penutur Kuliner
Penutur Kuliner
Deddy Arsya Dosen Sejarah UIN Bukittinggi
Hasrat Bersekolah dan Ruang Kelas