Oleh: Yogi Yolanda*
Setiap Februari, masyarakat Amerika Serikat memperingati Presidents Day sebagai bentuk penghormatan kepada George Washington dan Abraham Lincoln, lengkap dengan upacara kenegaraan dan libur kantor pemerintahan. Di India, Oktober menjadi bulan istimewa karena bertepatan dengan kelahiran Mahatma Gandhi, yang dirayakan melalui kampanye non-kekerasan dan kegiatan sosial sepanjang bulan oktober tersebut.
Lain lagi halnya dengan Afrika Selatan, Juli dikenal sebagai Mandela Month, diisi dengan berbagai aksi pengabdian oleh pemerintah dan masyarakat sipil.Indonesia pun punya Juni sebagai Bulan Bung Karno, bulan kelahiran dan wafat sang Proklamator, sekaligus bulan dimana Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah di depan sidang Dokoritsu Junbi Cosakai (BPUPK) yang mengusulkan lima dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.
Praktik mengenang tokoh besar dalam satu bulan khusus tersebut tentu dapat dipahami sebagai bagian tradisi global untuk merawat memori kolektif masing-masing bangsa. Sehingga ini bukan bagian dari upaya pengkultusan individu, melainkan cara masing-masing bangsa mengingat gagasan-gagasan dan cita-cita kebangsaan yang lahir dari pemikiran, perjuangan, serta tindakan tokoh-tokoh dalam sejarah diberbagai negara.
Dalam konteks Indonesia, Bulan Bung Karno merupakan ruang simbolik untuk kembali menelusuri warisan pemikiran Sukarno tentang kemerdekaan, keadilan sosial, persatuan nasional, serta semangat membangun bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Menghidupkan kembali warisan tersebut bukan sekadar tugas negara, tetapi juga panggilan sejarah bagi rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Sumatera Barat yang tak terpisahkan dari perjalanan panjang republik ini.
Pada 1942, ketika Belanda terdesak oleh Jepang, mereka berencana mengasingkan Sukarno ke Australia menggunakan kapal yang disiapkan di Padang. Langkah ini didasari oleh kekhawatiran Belanda bahwa Sukarno akan dimanfaatkan Jepang untuk kepentingan propaganda anti-Belanda.
Mengutip Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, disebutkan bahwa rumah Ema Idham lah yang kemudian digunakan sebagai tempat menginap bagi Sukarno selama di Padang. Bahkan tidak hanya sekedar menginap, rumah Ema Idham itu kemudian dimanfaatkan Sukarno sebagai tempat untuk menghimpun dan mengonsolidasikan kekuatan untuk melawan penjajah di Kota Padang.
Untuk itu, rumah Singgah Bung Karno, telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Walikota Padang dengan nama Rumah Ema Idham. Hal ini tertuang dalam Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang Nomor 03 Tahun 1998 Tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang.
Lokasinya tidaklah jauh, persis di depan singgasana atau rumah dinas Walikota Padang. Mirisnya, rumah yang dahulu ditempati Sukarno saat pendudukan Jepang kini dihancurkan untuk dijadikan restoran cepat saji asal Jepang.
Perihal pembiaran atas pelanggaran dan pengrusakan cagar budaya tersebut tentu akan penulis bahas lebih lanjut dalam segmen yang berbeda. Karena ini tidak hanya tentang rumah singgah Sukarno, namun keprihatinan terhadap kondisi museum Tan Malaka, tugu PDRI yang kita banggakan, atau bahkan ketika anak cucu kita kelak bertanya dimana museum pahlawan asal Sumatera Barat bernama Syahrir? bernama Rahmah El Yunusiah, bernama Roehana Koeddoes, bernama Imam Bonjol, bernama Muhammad Natsir, dan banyak lainnya.
Kalaupun ada musem Buya Hamka, Bung Hatta, itupun tidak terlepas dari perjuangan panjang keluarga yang dengan ikhlas terus berjuang menjaga warisan bangsa.
Barangkali, kesulitan kita hari ini dalam merawat jejak sejarah tidak hanya soal fisik yang runtuh, tapi juga ingatan yang perlahan memudar. Pengasingan Sukarno ke Padang dan Bukittinggi pada tahun 1942 bukan sekadar peristiwa politik, tetapi menjadi momen penting dalam transformasi intelektual dan spiritual sang Proklamator.
Merujuk pada laporan Jose Hendra untuk Majalah Historia pada Rabu, 1 Juni 2016, yang berjudul Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang, Syeikh Abbas Abdullah adalah tokoh yang memberi wejangan kepada Sukarno terkait sila pertama Pancasila. Dengan tujuan meminta saran kepada Syekh Abbas Abdullah tentang apa sebaiknya landasan bagi negara Indonesia yang akan didirikan kelak, bila kemerdekaan sungguh benar tercapai.
Syekh Abbas menyarankan negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tulis Muslim Syam dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (Islamic Centre Sumatera Barat, 1981). Tentu pertemuan tersebut menjadi salah satu titik penting dalam masa pengasingan Sukarno di Sumatera Barat.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Sumatera Barat bukan sekadar latar geografis dalam catatan hidup Bung Karno, melainkan ruang perjumpaan antara pemikiran nasionalisme dan keagamaan, antara cita-cita republik dan kearifan lokal.
Jika pada masa itu seorang pemimpin besar seperti Sukarno justru datang untuk belajar dan berdialog dengan ulama Minangkabau, sulit rasanya membayangkan bahwa hubungan tersebut dibangun di atas ketegangan atau saling curiga. Justru dari tanah inilah sebagian nilai luhur bangsa dirumuskan—bukan di ruang kekuasaan, melainkan di serambi pesantren dan ruang musyawarah.
Maka menjadi penting bagi kita hari ini untuk melihat kembali jejak-jejak itu, agar tidak terburu-buru mengadili masa lalu dengan prasangka yang diwariskan seiring waktu. Sebab dalam narasi yang berkembang di sebagian ruang memori masyarakat, peristiwa PRRI kerap dijadikan alasan untuk menjauh dari nama Sukarno.
Padahal sejarah sejatinya tidak sesederhana garis lurus antara penguasa dan kelompok yang tergores oleh suatu peristiwa. Banyak sejarawan memandang PRRI sebagai pergolakan yang kompleks dengan simpul-simpul kepentingan yang jauh lebih luas, dan karenanya tidak bisa dijadikan dasar tunggal untuk menilai watak Sukarno terhadap Minangkabau.
George McTurnan Kahin dalam Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia menyatakan bahwa keputusan mengerahkan kekuatan bersenjata untuk meredam PRRI di bawah Kolonel Achmad Husein sejatinya adalah hasil dari percampuran permainan politik pihak-pihak di sekitar Sukarno. Keputusan memilih opsi penggunaan militer sebagai solusi non-kompromis terhadap PRRI merupakan buah dari tekanan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal A.H. Nasution dan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja.
Lebih lanjut dikatakan bahwa Sukarno berada di bawah tekanan dari beberapa penasihat terdekatnya dan dari para pemimpin PKI untuk tak mengambil jalan kompromi. Baik PM Djuanda dan KSAD Nasution juga meninggalkan cara-cara untuk rekonsiliasi dan mendesak aksi militer terhadap PRRI, ungkap Kahin, sebagaimana dikutip dalam laporan Randy Wirayudha berjudul Sukarno dan Trauma PRRI di laman Historia.id.
Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga memuat kesaksian bahwa opsi militer dalam penyelesaian PRRI tidak pernah secara langsung dikeluarkan oleh Sukarno juga datang dari pengusaha asal Minang, Hasjim Ning. Hasjim, yang merupakan keponakan Bung Hatta sekaligus sahabat dekat Bung Karno menuturkan bahwa ia dua kali diutus langsung oleh Sukarno ke Padang untuk menemui Kolonel Ahmad Husein dalam upaya meredam ketegangan secara damai. Ahmad Husein saat itu adalah tokoh utama dalam pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang memproklamasikan diri sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Namun kedua misi damai Hasjim itu berakhir tanpa hasil. Menyadari situasi kian genting, sehari sebelum memulai lawatan luar negerinya pada Februari 1958, Bung Karno bahkan menyempatkan diri mampir ke rumah Bung Hatta untuk mendiskusikan jalan keluar.
Menurut Hasjim, dalam pertemuan itu, Hatta menyarankan agar penyelesaian PRRI tidak dilakukan dengan kekerasan, dan Sukarno menyetujuinya.
“Pada hari keberangkatannya, Bung Karno menyampaikan pidato agar sepeninggalnya tidak ada tindakan kekerasan dilakukan, harus diupayakan agar tidak ada pertumpahan darah,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Kisah-kisah seperti ini penting untuk terus diperbincangkan untuk membingkai ulang relasi antara Sumatera Barat dan Sukarno secara lebih utuh. Dalam kerumitan sejarah, jarak emosional tak seharusnya diwariskan sebagai warisan beku antargenerasi. Sebaliknya, yang perlu kita sikapi adalah semangat untuk membaca sejarah secara adil, bahwa dalam banyak hal, Sukarno tetap menaruh kasih dan hormat mendalam kepada ranah Minang.
Hubungan erat Sukarno dan Sumatera Barat tidak hanya bersifat kultural dan emosional, tetapi juga ideologis dan intelektual. Maka bulan Juni sebagai Bulannya ‘urang sumando’ minang ini bukan sekadar agenda kenegaraan, tetapi juga bisa menjadi momen reflektif bagi kita bersama untuk kembali membaca jejak relasi yang pernah hangat, penuh dialog, dan saling membentuk antara Bung Karno dan Minangkabau.
Karena sejarah tak hanya untuk diingat, tapi juga untuk dirawat—agar luka tak jadi sekat, dan kekayaan warisan semangat perjuangan bisa kembali melekat.
Selamat memperingati Bulan Bung Karno. Dari 1 Juni saat Pancasila diperkenalkan, 6 Juni (1901) saat Sang Proklamator dilahirkan, hingga 21 Juni (1970) saat bangsa ini mengantar kepergiannya. Warisan beliau bukan hanya pidato dan buku, tetapi juga semangat untuk berpikir merdeka dan berdiri di atas kaki sendiri.
*Ketua DPD PA GMNI Sumatera Barat