Jika Kita Hanya Bisa Mencoblos Dinasti Oligarki

Pilkada di Sumatra Barat tahun 2024 telah menghidupkan kembali diskursus panjang tentang demokrasi dan oligarki, sebuah ironi di tengah

Dharma Harisa.

Pilkada di Sumatra Barat tahun 2024 telah menghidupkan kembali diskursus panjang tentang demokrasi dan oligarki, sebuah ironi di tengah gempita slogan yang menyebut pemilihan ini sebagai puncak kedaulatan rakyat.

Namun, demokrasi yang ideal ini perlahan-lahan berpotensi berubah menjadi sandiwara belaka, di mana panggung politik didominasi oleh aktor-aktor yang sama, memainkan peran yang seolah-olah baru, tetapi dengan naskah yang tak pernah berubah.

Apakah kita benar-benar masih berada di dalam kerangka demokrasi, atau justru sedang menuju dominasi oligarki yang tak terhindarkan? Sebuah pertanyaan krusial yang harus dijawab oleh setiap rakyat Sumatra Barat.

Jika demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, seperti yang sering dikutip dari Abraham Lincoln, maka kenyataan di Sumatra Barat tampaknya jauh dari ideal tersebut.

Demokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks pilkada, semakin didominasi oleh segelintir elit yang terhubung dalam jaringan kekuasaan oligarki.

Jeffrey Winters, dalam bukunya Oligarchy (2011), mengungkapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara di mana oligarki ekonomi dan politik saling berkaitan erat, bahkan berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan nasional maupun lokal.

Winters menegaskan bahwa oligarki tidak hanya sekadar menguasai ekonomi, tetapi juga membajak sistem demokrasi untuk memperkuat posisi mereka di dalam struktur kekuasaan. Ini terlihat nyata dalam Pilkada 2024 di Sumatra Barat.

Di mana kandidat-kandidat yang muncul kebanyakan merupakan bagian dari jaringan kekuasaan lama yang diwariskan secara turun-temurun. Fenomena politik dinasti ini dapat dilihat dari beberapa nama calon kepala daerah yang berasal dari keluarga yang memiliki sejarah panjang dalam politik lokal.

Misalnya, penelitian oleh Yanuar Nugroho et al. (2021) dalam artikel “How the 2020 Pilkada Reflected Major Structural Flaws in Indonesian Politics” mengungkapkan bahwa jumlah calon dinasti justru meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam waktu singkat, misalnya dari 52 orang pada 2015 menjadi 159 orang pada 2020.

Dari 60 persen pemimpin daerah di Indonesia memiliki afiliasi dengan politik dinasti atau oligarki lokal. Kondisi ini merusak esensi demokrasi, di mana kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada meritokrasi, melainkan pada kekuatan jaringan dan kekayaan keluarga.

Selain politik dinasti, kekuatan oligarki di Sumatra Barat juga berperan dalam mendistorsi proses demokrasi melalui penyalahgunaan dana kampanye yang tidak transparan.

Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2024 masih menunjukkan adanya anomali dalam pelaporan dana kampanye.

Mulai persoalan buruknya pelaporan administrasi hingga dugaan manipulasi dokumen ditemukan baik pada pemilu presiden, legislatif, bahkan kepala daerah.

Sebagai contoh, pada tiap Pilkada biasanya, terdapat laporan bahwa beberapa kandidat menggunakan dana pribadi dari para pengusaha besar yang memiliki kepentingan ekonomi di sektor-sektor strategis. Seperti pertambangan dan perkebunan, yang pada akhirnya merugikan kepentingan rakyat.

Jika kita berbicara tentang kedaulatan rakyat, maka pertanyaannya: sejauh mana rakyat Sumatra Barat benar-benar menjadi subjek dalam proses politik ini?

Pierre Bourdieu, dalam Political Power and Social Classes (1973), menjelaskan bagaimana struktur kekuasaan politik dalam masyarakat modern sering kali mengalienasi kelas bawah, sehingga mereka hanya menjadi objek dalam proses politik.

Dalam konteks Pilkada Sumatra Barat, kita bisa melihat bagaimana rakyat lebih sering digunakan sebagai "alat" bagi elit untuk melegitimasi kekuasaan mereka, bukan sebagai pemegang hak-hak kedaulatan yang sebenarnya.

Sebagai bukti konkret, data KPU Sumbar menunjukkan bahwa partisipasi politik di Sumatra Barat dalam Pilkada 2020 mencapai 61,68%, menurun jika dibandingkan dengan Pemilu 2019 setahun sebelumnya.

Namun, angka ini juga memperlihatkan bagaimana hampir 40% pemilih potensial merasa tidak memiliki kepentingan atau keterlibatan dalam pemilihan kepala daerah. Mengapa?

Noval Prasetyo et al (2019) dalam jurnal integritas mengatakan, rendahnya minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi politik, dikarenakan adanya image koruptif yang melekat pada institusi partai politik.

Masyarakat beranggapan bahwa parpol adalah sumber dari segala tindakan korupsi dengan artian jika ikut terlibat menjadi anggota, atau bahkan pimpinan parpol maka berarti ikut terlibat dalam tindakan korupsi yang terjadi.

Bahkan muncul anggapan bahwa kasus-kasus korupsi yang terjadi dilakukan secara terorganisir dan sistematis oleh parpol, melalui kadernya yang menduduki jabatan di pemerintahan.

Pelaksanaan Pilkada sebagai implementasi demokrasi berimplikasi pada banyaknya pihak yang mencoba untuk melibatkan diri, dalam kapasitasnya bukan sebagai individu warga negara yang memiliki hak pilih.

Bentuk kelompok bisnis dan usaha maupun kelompok kepentingan biasa terlibat, sehingga kondisi ini sangat potensial memicu terjadinya korupsi oleh Pemerintah.

Banyaknya masyarakat di Sumatra Barat menyatakan bahwa mereka merasa tidak ada calon kepala daerah yang peduli terhadap kebutuhan mereka. Ini menandakan adanya krisis representasi, di mana demokrasi lokal gagal dalam menyediakan pemimpin yang benar-benar memahami kebutuhan rakyat.

Rousseau dalam The Social Contract (1762) berpendapat bahwa tujuan akhir dari kontrak sosial adalah memastikan kebebasan dan kesetaraan bagi semua warga negara.

Namun, di Sumatra Barat, kebebasan politik tampak semu ketika pilihan yang tersedia hanyalah figur-figur yang datang dari lingkaran elit yang sama, tanpa inovasi kebijakan atau perubahan substansial dalam visi pembangunan.

Demokrasi yang seharusnya mencerminkan kedaulatan rakyat, sayangnya di Sumatra Barat telah dikooptasi oleh kepentingan ekonomi oligarki, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sumatera Barat, yang kaya akan sumber daya alam seperti tambang dan hutan, menjadi arena pertempuran antara oligarki ekonomi dan kepentingan lingkungan.

Menurut lembaga pemantau, lebih dari 50% hutan telah rusak dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sebagian besar disebabkan oleh ekspansi tambang dan perkebunan yang tidak terkendali.

Kebijakan yang pro-investor yang tidak berwawasan lingkungan telah memuluskan jalan bagi pengusaha besar untuk menguasai lahan-lahan hutan di Sumatra Barat.

Contoh nyatanya adalah pengoperasian tambang-tambang baik legal maupu ilegal. Seperti di Solok Selatan, Pasaman Barat, Dharmasraya, Sijunjung, yang menjadi polemik panjang, hingga mengakibatkan kerusakan ekologis besar-besaran dan menimbulkan berbagai konflik sosial.

Walhi Sumbar memperkirakan ada ratusan hingga ribuan hektare lahan yang dibuka secara ilegal untuk tambang emas di Sumbar, dan banyak di antaranya melanggar aturan zonasi lingkungan. Terakhir seperti di Kabupaten Solok, longsor di bekas galian tambang illegal menewaskan 13 orang.

Kasus-kasus semacam ini menunjukkan bagaimana kedaulatan alam telah dikorbankan demi kepentingan jangka pendek pemodal besar dan bisa jadi penguasa.

Padahal, seperti yang dijelaskan oleh Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), pembangunan yang berkelanjutan hanya bisa dicapai jika kita mampu melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam retorika kampanye Pilkada 2024, banyak kandidat yang mengusung janji-janji terkait pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan.

Namun, apakah ini sekadar slogan kosong? Jika kita melihat data lapangan, tampak jelas bahwa janji-janji tersebut sulit untuk diwujudkan. Kampanye-kampanye masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti pemasangan alat peraga kampanye yang menggunakan bahan plastik sekali pakai.

Dalam visi misi calon kepala daerah di Sumatra Barat, isu lingkungan hanya menjadi alat politik untuk meraih simpati pemilih, tanpa adanya tindak lanjut yang konkret setelah terpilih maupun saat calon menjabat sebelumnya.

Ini sejalan dengan analisis dari Ulrich Beck dalam Risk Society (1992), di mana modernitas politik sering kali menggunakan isu-isu global seperti lingkungan hidup hanya sebagai kosmetik politik, sementara masalah substansial tidak pernah diselesaikan.

Dari segala bukti yang ada, Pilkada 2024 di Sumatra Barat semakin mempertegas tesis Foucault dalam Discipline and Punish (1975) bahwa kekuasaan tidak lagi berbentuk represif, tetapi justru bekerja melalui mekanisme demokrasi formal untuk melegitimasi dominasi oligarki.

Para kandidat yang muncul bukanlah representasi dari rakyat, melainkan agen-agen oligarki yang terus memperkuat struktur kekuasaan yang ada.

Menurut Transparency International Indonesia, politik uang dan korupsi sistemik dalam Pilkada adalah masalah yang tak pernah selesai. Demokrasi kita saat ini telah berubah menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan yang korup, alih-alih sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin yang berintegritas.

Pilkada 2024 di Sumatra Barat berpotensi menjadi cerminan dari kegagalan demokrasi lokal dalam melindungi kepentingan rakyat. Kekuatan oligarki yang semakin mengakar hanya memperdalam jurang ketidakadilan.

Di mana rakyat dipaksa memilih antara figur-figur yang sama, yang sebagian besar hanya berfokus pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kedaulatan rakyat yang sering didengungkan selama kampanye, pada akhirnya hanyalah mitos yang terus dipertahankan oleh segelintir elit.

Perubahan yang sejati hanya bisa dicapai jika sistem demokrasi ini direformasi secara mendasar, dengan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dan memastikan bahwa setiap keputusan politik benar-benar didasarkan pada kepentingan bersama, bukan kepentingan oligarki.

Namun, selama Pilkada masih dikuasai oleh jaringan oligarki dan modal, rakyat Sumatra Barat hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan yang terus mengulang cerita lama—sebuah tragedi demokrasi yang semakin dalam.

Baca Juga

Jelang tahapan pemungutan dan penghitungan suara, KPU Sumbar menggelar sosialisasi terkait regulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada
Minimalisir Pemungutan Suara Ulang, KPU Sumbar Gencar Sosialisasi Pilkada
Sebanyak 1.487 Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) dilantik oleh Bawaslu Kota Padang. Para pengawas ini bakal ditempatkan di setiap TPS
Cegah Potensi Pelanggaran saat Pilkada, Bawaslu Padang Lantik 1.487 PTPS
DPW LDII Sumbar mengelar Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil). Acara tersebut diselenggarakan di Ponpes Miftahul Huda, Padang, Sumbar.
Berprinsip Netral Aktif, LDII Sumbar Dorong Warganya Gunakan Hak Pilih di Pilkada
Bawaslu memilih Padang Barat sebagai Kampung Pengawasan Partisipatif untuk Pilkada yang akan berlangsung pada 27 November 2024 nanti.
Padang Barat Dipilih Sebagai Kampung Pengawasan Partisipatif, Ini Alasannya
Sebanyak 684.475 lembar surat suara untuk Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padang Tahun 2024 dari Semarang sudah diterima oleh KPU
684.475 Surat Suara Tiba di Gudang KPU Padang, Sortir dan Lipat Dijadwalkan Pekan Depan
Permasalahan baru yang menimpa umat Islam yakni terkait daftar nama-nama ustadz kondang yang terdaftar dalam jaringan radikalisme.
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?