Langgam.id - Jaringan organisasi masyarakat sipil Sumatra mengungkap maraknya kasus kekerasan seksual di berbagai provinsi di pulau ini. Dalam siaran pers pada Kamis (25/9/2020), koalisi ini menyebutkan, pada 2020, hingga Agustus saja sudah terjadi 254 kasus.
Bentuk kekerasan seksual yang terjadi, menurut siaran pers itu, di antaranya perkosaan, termasuk perkosaan di ranah keluarga kandung (Incest). Kemudian, pelecehan dan eksploitasi seksual, traficking yang dibarengi kekerasan seksual dan pemaksaan perkawinan. Termasuk sodomi, kekerasan dalam pacaran, pemaksaan aborsi dan kekerasan berbasis gender online.
Situasi darurat kekerasan seksual ini, menurut publikasi itu, ditengarai karena ketiadaan regulasi yang memulihkan korban kekerasan seksual. "Sehingga berdampak pada perkembangan generasi masa depan bangsa."
Data yang dihimpun dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan dan Lampung memperlihatkan jumlah kasus berfluktuasi setiap tahun. Pada 2016 terjadi 264 kasus, naik jadi 378 pada 2017. Kemudian 308 kasus pada 2018, naik lagi jadi 367 kasus pada 2019. Sementara, hingga Agustus 2020 sudah ada 254 kasus.
Di antara 44 lembaga, dari Sumbar antara lain tergabung WCC Nurani Perempuan Sumbar, LBH Padang, LP2M, APUK Sumbar, KPI Wilayah Sumbar, PKBI Sumbar, PBT Sumbar dan HWDI Sumbar. Berdasar data Nurani Perempuan, berturut-turut kasus di Sumbar adalah 56 kasus (2016), 82 kasus (2017), 65 kasus (2018), 52 kasus (2019) dan 34 kasus (Januari-Agustus 2020).
Dalam penanganan korban kekerasan seksual, organisasi yang jadi pendamping korban menyebut empat hambatan. Pertama, masih adanya victim blaming (menyalahkan korban kekerasan seksual) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, pemerintah dan masyarakat luas.
Kedua, proses penegakan hukum yang tidak memprioritaskan kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual. Ketiga, impunitas atau masih seringnya pelaku tidak diminta pertanggungjawaban hukum oleh negara. Keempat, minimnya pemulihan terhadap korban.
"Berdasarkan pemaparan diatas, saat ini kondisi ruang aman dari kekerasan seksual terancam oleh predator kekerasan seksual. Situasi darurat kekerasan seksual ini mesti segera disikapi serius oleh negara," sebut rilis tersebut.
Oleh karenanya, jaringan organisasi ini menuntut DPR untuk memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi prolegnas prioritas yang akan disidangkan pada 9 Oktober 2010. "Selanjutnya kami mendesak Pemerintah dan DPR RI sesegera mungkin mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagi kami, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah penyelamat korban kekerasan dan penyelamat bagi nasib anak bangsa kedepan." (*/SS)