Refleksi Islamisasi Minangkabau

Ibnu Khaldun

Dosen Fakultas Adab & Humaniora UIN Imam Bonjol Muhammad Nasir. (IST)

Sistem religi merupakan bagian dari sistem kebudayaan. Namun, masyarakat Minangkabau sepertinya tidak mempunyai sistem religi sendiri, meski pernah mengalami masa animisme, dinamisme, Hindu, Budha.

M. Sanusi Latief dalam disertasinya berjudul Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969 (1988), menulis bahwa orang Minangkabau bukanlah penganut Hindu Budha yang taat. “Mereka lebih taat kepada aturan adatnya di banding kepada aturan hindu-budha. Karena itu, tak banyak jejak-jejak ajaran Hindu-Budha dalam aturan adat Minangkabau,” terangnya.

Oleh sebab itu agak mencengangkan bila orang Minangkabau di kemudian hari dikenal sebagai masyarakat yang kuat perasaan beragamanya. Bahkan sekarang orang Minangkabau sudah mengikrarkan diri sebagai masyarakat kebudayaan yang menjadikan agama Islam sebagai identitas keagamaannya.

Ada beberapa teori yang menyatakan keberislaman orang Minangkabau. Misalnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya Ayahku (1982) mengatakan sejak abad ke-7 Islam sudah masuk ke Minangkabau.

“42 tahun setelah nabi wafat, orang Arab sudah mempunyai perkampungan di Minangkabau. Kata Pariaman berasal dari kara barri-aman (tanah daratan yang sentosa), demikian kata HAMKA.

Jejak Islamisasi Minangkabau secara formal justru pertengahan abad ke-14. HAMKA yang gandrung menulis sejarah ini mengatakan, infrormasi Islamisasi Minangkabau justru bersumber dari catatan Ibnu Batutah, seorang pengelana Arab fenomenal.

“Seketika Ibnu Batuah datang ke Pasai pada tahun 1345, didapati  yang menjadi raja di sana ialah Sulthan Al Malik Az Zahir. Ketika lbnu Batutah melawat yang pertama ke sana didapatinya raja sedang tidak ada dalam negeri, sebab sedang menyiarkan agama Islam ke negeri Muljawa. Maka adalah ahli-ahIi sejarah menaksir bahwa Muljawa itu ialah Minangkabau (Melayu-Jawa),” tulisnya.

Andaipun Islam sudah datang ke Minangkabau pada abad ke-7, sepertinya tak ada perubahan berarti dalam pengamalan agama Islam di kalangan masyarakat Minangkabau. Hingga abad ke-14 selain Islam, pengaruh Hindu dan Budha juga turut masuk ke Minangkabau.

Tetapi, kata HAMKA, meskipun rajanya memeIuk agama Hindu atau Budha, orang Minangkabau rupanya telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Artinya, lagi-lagi pengaruh adat masih lebih kuat di banding pengaruh agama.

Lampiran GambarKehidupan Keagamaan

Hingga abad ke-17 pun, sepertinya praktik beragama Minangkabaupun belum membaik. Semasa Syekh Burhanuddin Ulakan pun, masyarakat masih suka memakan makanan olahan dari daging tikus dan ular.

Ph.S. van Ronkel  dalam artikelnya Het Heiligdom te Oelakan atau Tempat Keramat di Ulakan (1914), menulis bahwa Syekh Burhanuddin pernah ditawari makanan olahan dari daging tikus dan ular. Namun ia menolak dengan halus. Ia katakan bahwa dirinya tak suka daging tikus dan ular.

Tidak hanya masyarakat awam, di kalangan penghulu dan tokoh adat pun belum tertanam semangat untuk melaksanakan ajaran agama Islam menurut semestinya. Mereka masih terlibat dengan permainan menyabung ayam, berdadu dan berjudi.

Hampir di setiap kampung secara bergantian diadakan gelanggang judi dan sabung ayam. Hal itu digambarkan oleh Muhammad Radjab (1954) dalam bukunya Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838).

“Bila disuatu kampung diadakan gelanggang penjabungan, maka pemuda-pemuda, djuara, hulubalang, dan datuk-datuk dari kampung-kampung disekelilingnja datang berdujun-dujun, membawa ajam djantan beserta makanannja dan wang taruhan.” tulis Radjab.

Munculnya Semangat Beragama

Agaknya, semangat untuk beragama secara serius muncul di akhir abad ke-18 dan berlanjut atau di awal abad ke-19. Adalah Tuanku nan Tuo salah seorang ulama Tarekat Syattariyah di Koto Tuo, IV Angkek, Agam yang memulai gerakan pemurnian di Minangkabau. Tokoh ini berumur panjang. usianya mencapai 107 tahun (1723-1830).

Tahun 1784 Tuanku nan Tuo mulai mendirikan pendidikan surau. Muridnya mencapai ribuan orang dari seluruh pelosok Minangkabau. Tuanku nan Tuo merasa resah melihat kehidupan sosial yang jauh dari moral adat maupun moral agama.

Ia mulai berusaha memperbaiki keadaan tersebut secara perlahan-lahan. Melalui pendidikan dan cara-cara moderat. Ia sering menasehati masyarakat Minangkabau agar kembali ke jalan syara’.

Ia berceramah dari surau ke surau, ke pasar ataupun ke balai pertemuan adat. Ia juga mendatangi langsung tempat yang sering menjadi sasaran perampokan dan tempat penyimpanan orang-orang yang diculik untuk dijual sebagai budak,” tulis Irhas A Shamad dalam bukunya Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau (2007).

Usahanya ini mendapat tantangan dari masyarakat. Tak jarang ia mendapatkan penolakan keras masyarakat dengan cara anarkis. Namun ia hadapi dengan sabar.

Pembaharuan Gelombang Pertama

Namun ada juga di antara muridnya yang kurang sabar. Tuanku nan Renceh misalnya, mendesaknya agar berlaku keras tanpa kompromi terhadap pelanggaran agama dan sosial.

Perlakuan masyarakat terhadap dakwah dengan cara lunak ini tidak memuaskan murid-muridnya. Kebanyakan murid-murid Tuanku nan Tuo adalah para pesilat tangguh. Ini tidak mengherankan karena salah satu fungsi surau adalah tempat belajar silat bagi anak-anak Minangkabau.

Para guru di surau biasanya juga memiliki keahlian bersilat yang siap bertarung di medan pertempuran, tulis Azyumardi Azra  dalam bukunya Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003).

Berikutnya, generasi murid-murid Tuanku nan Tuo inilah nantinya melanjutkan gerakan pemurnian ajaran Islam di tengah masyarakat secara lebih radikal. Mereka tidak puas dengan cara lunak Tuanku nan Tuo, bahkan karena sikap lunak ini ia disebut muridnya sebagai “rahib tua.”.

Dari sini dapat dipahami, bahwa semangat beragama itu mucul dari kalangan “santri” Minangkabau. Dengan kemampuan ilmu agama dan kemampuan beladiri yang tangguh meraka mencoba melakukan perbaikan.

Sejarah mencatat upaya ini sebagai gerakan pembaharuan Islam Minangkabau gelombang pertama. Selama periode ini muncullah suatu peristilahan untuk penyokong gerakan pemurnian ini dengan sebutan orang-orang Padri.

Gerakan ini akhirnya disudahi dengan perdamaian antara kaum Padri dengan tokoh adat. Perdamaian ini mengikrarkan pertalian adat dengan syara’ yang diikat dengan sebuah falsafah terkenal Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Pembaharuan Gelombang Kedua

Gerakan pembaharuan Islam  gelombang kedua ini kadang disebut juga dengan gerakan modernisasi. Aktor alam gerakan ini adalah Kaum Tua (kelompok tradisionalis/pendukung integrasi Islam dan adat) dan Kaum Muda (pendukung pembaharuan Islam). Agenda Pembaharuan ini mencakup isu-isu agama, pendidikan dan adat.

Bagian ini cukup diperingkas, karena gerakan ini adalah gerakan intelektual yang secara umum merupakan upaya memperoleh kemajuan sesuai dengan visi Kaum Tua dan Kaum Muda. Ke dua belah pihak berdebat secara tertulis. Banyak kitab-kitab dan buku-buku yang terlahir memperkaya khazanah intelektual Minangkabau.

Sebuah Refleksi

Sesuai uraian di atas, terlihat bagaimana garis waktu (time line) Islamisasi Minangkabau. Dari beragama secara malas-malasan, konflik sosial berdarah hingga perdebatan intelektual. Semuanya menggambarkan bahwa Minangkabau kenyang dengan aneka pengalaman dalam proses Islamisasi masyarakatnya.

Tidak mengherankan, mengapa persoalan agama menjadi begitu sensitif bagi masyarakat Minangkabau. terutama bila terkait dengan persoalan keagamaan Islam. Bahwa memori kolektif tentang agama telah dibentuk selama dua abad belakangan. Dua abad adalah durasi waktu yang segar bagi sebuah ingatan.

Boleh jadi benar penilaian M. Naquib al-Attas tentang arti Islam bagi masyarakat Minangkabau. Dalam tulisannya  berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1999) ia menulis, dari dulu maupun sekarang, hanya Islam-lah yang bisa memberi kesan yang sangat mendalam pada kehidupan masyarakat Minangkabau.

Secara simbolik Islam sudah menjadi identitas kultural Minangkabau. Namun cita-cita Islamisasi substantif belum tercapai. Persoalan yang dikritik dari masa lalu hingga sekarang, masih terus berjalan. Yaitu, pertarungan antara prilaku baik dan prilaku buruk. Islamisasi Minangkabau

Benarlah kata HAMKA dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama (1982), “Sejarah tidaklah mengulangi dirinya. Tetapi perangai manusia di segala zaman, baik dalam nama feodalisme atau demokrasi atau diktator adalah sama saja!.

Agaknya itulah pula sebabnya, kehadiran tokoh agama selalu relevan di setiap masa. Setiap masa punya masalahnya sendiri dan punya aktornya sendiri.


Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol

Baca Juga

Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Pameran Etnofotografi: Pencak Silat Minangkabau sebagai Jembatan Diplomasi Budaya
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Tari Kreasi Budaya Minang Meriahkan Baringin Sakato Fest di Tanah Datar
Nofel Nofiadri
Galodo Soko dalam Kontestasi Kepala Daerah
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Merawat Silek Galombang Duobaleh di Bungo Tanjung Batipuh
Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar