Ironi Pindah KK Demi Zonasi

Ironi Pindah KK Demi Zonasi

Dosen UIN Imam Bonjol Padang Dr. Faisal Zaini Dahlan, MAg. (Foto: Dok. Pribadi)

Meski PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) telah usai, namun isu miring yang menyertai program itu masih terus bergulir. Seperti tahun-tahun sebelumnya, fenomena cukup miris mengawali tahun ajaran baru kembali berulang. Sejumlah media melaporkan maraknya orangtua memindahkan ataupun menompangkan data anak-anaknya ke Kartu Keluarga (KK) orang lain di zona sekolah yang diinginkan. Sekilas meski upaya “migrasi domisili” ini terkesan cukup cerdas dan kreatif, namun jelas bukan pilihan tepat sebagai solusi. Terlepas dari aspek keabsahan relugasi dan hukum, secara moral tindakan itu terkesan akal-akalan semata dan berkonotasi negatif. Meski begitu, munculnya perilaku kurang terpuji ini tak bisa hanya dialamatkan pada orangtua. Beberapa pihak mensinyalir bahwa praktek PPDB itu sendirilah yang justru belum ideal, sehingga memancing orangtua menempuh jalan pintas demi kualitas pendidikan anak-anak mereka.

Dilematik Sistem PPDB

Kebijakan PPDB pada prinsipnya bermaksud baik, sebagai respon atas sejumlah isu  miring terkait pendaftaran peserta didik yang cukup massif sebelumnya. Menurut Dirjen PDM (Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah) Iwan Syahril, tujuan kebijakan ini memberi kesempatan yang adil bagi seluruh peserta didik untuk mendapat layanan pendidikan berkualitas dari pemerintah yang dekat dari domisilinya. Juga, meminimalisir diskriminasi dan ketidakadilan akses serta layanan pendidikan bagi peserta didik dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas. Selain itu dimaksudkan sebagai upaya antisipatif lebih dini anak putus sekolah dalam rangka wajar 12 tahun. Dari sisi lain, program ini sebagai upaya optimalisasi keterlibatan partisipatif orangtua dan masyarakat dalam proses pembelajaran (kemdikbud.go.id/12/7/23).

Dalam implementasinya, meski prosedur dan mekanisme telah diatur sedemikian rupa, namun sejumlah praktek menyimpang masih terjadi. Empat jalur yang disediakan yakni zonasi, afirmasi, pindah orangtua/wali, dan prestasi dengan formula sesuai kondisi riil daerah, ternyata belum sepenuhnya berjalan objektif, transparan, dan akuntabel. Sejumlah kritik muncul, misalnya Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta Kemendikbudristek meninjau ulang dan mengevaluasi total kebijakan itu. Alasannya, tujuan utama PPDB mulai melenceng, seperti kasus migrasi domisili melalui KK ke zona sekitar sekolah yang dinilai favorit. Fakta tentang masih adanya persepsi sekolah favorit, sekaligus membuktikan kualitas sekolah yang belum merata. Begitu pula terdapat sekolah kelebihan calon peserta didik baru karena keterbatasan daya tampung. Sedangkan di tempat lain, ditemukan sekolah yang justru minim siswa karena sepi peminat lantaran jumlah calon siswa yang sedikit sementara sekolah negeri banyak dan berdekatan. Kasus lainnya yang sering muncul menurut P2G adalah praktik jual beli kursi, pungli, dan siswa titipan dari pihak tertentu (Antara/10/7/23).

Sekolah Favorit dan Pemerataan Kualitas Pendidikan

Alasan utama praktek-praktek kecurangan dalam PPDB, tampaknya bertumpu pada obsesi orangtua untuk memilih sekolah yang dinilai favorit untuk anak-anaknya. Padahal, salah satu dan terpenting dari PPDB justru untuk menghilangkan ketimpangan kualitas satuan pendidikan. Kastanisasi dan favoritisme dalam sistem pendidikan harus diakhiri. Namun persepsi tentang masih adanya sekolah favorit, jelas menjadi signal kuat bahwa masyarakat belum meyakini keberhasilan pemerintah mengatasi kesenjangan mutu dan pemerataan kualitas pendidikan tersebut. Bisa jadi, bukti-bukti empiris di lapangan masih terlalu kuat menjadi argumen bagi masyarakat bahwa sekolah-sekolah favorit masih eksis, sementara sekolah-sekolah tertentu tetap rendah secara kualitas. 

Alasan publik menempuh segala cara untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap favorit, cukup argumentatif. Hasil riset Puslitjakdikbud Kemendikbud (2019) yang mensurvei 1.498 orangtua siswa dari 32 SMA eks RSBI di 15 provinsi dan 24 kab/ kota, menemukan bahwa faktor banyaknya lulusan sekolah diterima di PTN, menjadi kriteria utama persepsi favorit. Artinya, ekspektasi bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, sangat dominan. Kemudian disusul faktor kelengkapan fasilitas sekolah, seperti labor, lapangan, dan sebagainya. Adanya rasa bangga dan prestisius jika diterima, juga menjadi alasan tersendiri, begitu pula harapan motivasi belajar anak yang tinggi karena ketatnya persaingan untuk diterima. Perlu dicatat, persepsi favorit konotasinya bukan karena prestasi akademis dan dukungan program pemerintah. Lebih penting lagi, untuk mendapatkan sekolah favorit ini, ternyata soal biaya dan jarak tempuh bukan menjadi pertimbangan utama bagi responden.

Merespon persepsi publik yang berlebihan terhadap sekolah favorit seperti terekam dari hasil survei, dan kemudian memicu sejumlah ironi, maka pihak Kemendikbud merekomendasikan beberapa hal. Dalam konteks kasus SMA, hendaknya kuota PTN berbasis prestasi siswa, bukan reputasi sekolah. Secara umum, baik pemerintah maupun masyarakat mestinya terpacu untuk meningkatkan kualitas semua sekolah tak terkecuali, baik terkait fasilitas, pendanaan, kompetensi dan kesejahteraan guru, proses pembelajaran dan seterusnya. Sistem zonasi yang telah dimulai sejak 2016, idealnya telah memotivasi semua stakeholder dan pemangku kebijakan agar sekolah secara keseluruhan memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP). Masing-masing sekolah juga mutlak mengevaluasi  diri sesuai Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) untuk peningkatan mutu dan akuntabilitas. Tak kalah pentingnya, sinkronisasi tugas, fungsi, dan kewenangan antara pemerintah dan pemda sangat vital dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.

Di lain pihak, orangtua juga mesti menyadari bahwa menghalalkan segala cara dengan perilaku curang dan tidak terhormat meski berdalih demi masa depan anak, justru bisa menjadi bumerang. Berhasilnya anak masuk sekolah tertentu dengan cara-cara yang tidak fair, sudah pasti menzalimi calon peserta didik lain yang sejatinya lebih berhak. Begitu pula praktek-praktek sogok, pemalsuan data, dan sebagainya, akan berimbas pada proses pendidikan anak selanjutnya. Tak berlebih kiranya jika Muhadjir Effendy, Menko PMK menanggapi maraknya orangtua menempuh cara curang agar bisa lolos PPDB, seperti mengaku miskin agar bisa ikut jalur afirmasi, hingga meminjam alamat orang lain, kelak bakal ditiru anaknya (tempo.co/13/7/23). Menurut Muhadjir, kalau sejak awal anak-anak sudah dididik dengan cara curang, nanti jadi calon koruptor. Wallahu a’lam. (*)

Dr. Faisal Zaini Dahlan, Dosen Studi Agama-Agama UIN IB Padang

Baca Juga

Sebanyak 361 daya tampung masih tersedia di 23 SMP negeri di Padang. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Padang kembali membuka
Masih Tersedia 361 Daya Tampung Lagi di 23 SMP Negeri di Padang, Ini Rincian Tiap Sekolah
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Padang masih membuka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk SMP negeri.
Disdikbud Padang Buka PPDB untuk 2 SMP Filial, Tersedia 192 Daya Tampung
Sebanyak 361 daya tampung masih tersedia di 23 SMP negeri di Padang. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Padang kembali membuka
10 SMP Negeri di Padang dengan Peminat Terbanyak di PPDB Tahap II
Pendaftaran tahap II atau pemenuhan daya tampung PPDB SD negeri di Padang dimulai hari ini. Pendaftaran tahap II ini berlangsung hingga Kamis
PPDB Tahap II SD di Padang Dimulai Hari Ini, Ini Link Daya Tampung Sekolah dan Hasil Seleksi
Pendaftaran ulang bagi calon peserta didik yang diterima pada PPDB tahap I SD negeri di Padang masih berlangsung hingga Selasa (25/6/2024).
PPDB Tahap II Besok, Ini 106 SDN di Padang yang Daya Tampung Belum Terpenuhi di Tahap I
Disdikbud Padang membuka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahap II. Pendaftaran online PPDB tahap II ini yaitu 23-26 Juni 2024.
Link Mengecek Hasil PPDB Tahap II SMP Negeri di Padang