Indeks Kota Toleran: Autokritik bagi Pemerintah Daerah

Siaran pers Setara Institute pada hari rabu 30 maret di Jakarta yang lalu memposisikan 3 kota di Sumatra Barat masuk kedalam 10 kota dengan skor IKT (Indeks Kota Toleran) terendah. Menempatkan Kota Padang pada posisi 87 (dengan skor 4,460), Kota Padang Panjang pada posisi 88 (dengan skor 4,440) dan Kota Pariaman di posisi 91 (dengan skor 4,233), dari total 94 Kota seluruh Indonesia.

Sedangkan 3 Kota dengan skor IKT tertinggi didapatkan oleh Kota Singkawang, Manado dan Salatiga. Rilis IKT ini direspon beragam oleh publik khususnya kepala daerah yang mempertanyakan parameter atau indikator IKT dan kenapa kotanya masuk kategori IKT terendah.

Dalam riset tersebut tidak menegaskan sebuah kota tersebut dikategorikan toleran atau tidak, yang perlu diingat adalah kota dengan skor toleransi yang rendah dan tinggi. Berdasarkan hal tersebut setiap daerah atau kota memiliki perbedaan dan penanganan serta penilaian mengenai aspek toleransi yang berbeda satu sama lain.

Kota Padang, Padang Panjang dan Pariaman tentu memiliki aspek toleransi yang berbeda pula dengan daerah atau kota yang memiliki struktur masyarakat yang cenderung heterogen.

Oleh karenanya berdasarkan rilis IKT Setara Institute berusaha memberikan skor untuk mengukur mana kota yang memiliki skor IKT yang tinggi dan mana kota dengan skor IKT yang rendah dengan variabel yang sudah ditentukan.

Kebanyakan dari kita menggunakan kacamata “kuda” dalam menanggapi rilis IKT ini, perdebatan hanya berada pada tataran teologis dan sosiologis semata mana yang lebih suci dan mana yang dianggap sekuler.

Sebagai contoh dalam rilis IKT tersebut sudah sangat jelas terdapat 8 indikator (Perencanaan Pembangunan, Kebijakan Diskriminatif, Peristiwa Intoleransi, Dinamika Masyarakat Sipil, Pernyataan Publik Pemerintah, Tindakan Nyata Pemerintah, Heterogenitas agama dan inklusi sosial), dari indikator tersebut dapat kita jumpai dalam berbagai peristiwa di Sumatra Barat.

Mari kita refleksikan dalam berbagai kasus beberapa Kota di Sumatra Barat yang menjadi sorotan publik bahkan nasional dalam penanganan isu keberagaman. Definisi keberagaman di sini jelas bukan hanya terletak pada keberadaan keyakinan di luar keyakinan kita, akan tetapi komunitas atau kelompok yang dinilai juga memiliki hak yang sama dengan keyakinan kita dimata konstitusi.

Penolakan keberadaan komunitas Ahmadiyah dan Syiah, Penolakan RS Siloam, Penolakan praktek krematorium, Respon terhadap SKB 3 Menteri mengenai atribut keagamaan dan banyak kejadian dan isu diskriminatif lainnya.

Dalam berbagai riset juga menegaskan pemerintah daerah cenderung mengabaikan aspek HAM, Inkonstitusional, ketentuan otonomi daerah regulasi yang mencirikan idiom keagamaan tertentu serta berlindung di bawah payung yang dinamakan “kearifan lokal”.

Penulis sejalan dengan pendapat sarjanawan (Brenner, 2011) melihat peran negara (dalam hal ini pemerintah) yang dominan dalam memberikan ruang bagi kelompok konservatisme agama di tingkat lokal maupun nasional sehingga memberikan celah bagi kelompok ini untuk terus mengekspresikan gerakannya.

Muslim konservatif cenderung percaya bahwa negara seharusnya memfasilitasi ketaatan dan penegakan hukum Islam di kehidupan sehari-hari, atau setidaknya tidak mengganggu praktiknya, terutama terkait dengan keluarga atau urusan private yang bisa saja berimplikasi kepada sikap intoleransi.

Kita tidak menutup mata bahwa terjadinya penguatan Islam politik sebagai identitas lokal tumbuh subur pada era desentralisasi dan otonomi daerah. Kemudian dalam praktiknya, intoleransi bahkan radikalisme agama tidak hanya melibatkan aktor-aktor masyarakat, yaitu gerakan-gerakan Islam lokal, tetapi juga negara. Seperti terlihat dalam pemberlakukan Perda syariah, batas antara agama dan politik tidak jelas lagi.

Selanjutnya pemerintah daerah agar lebih menerapkan kebijakan yang multikulturalisme dengan meletakan kelompok atau komunitas lain sebagai bagian dari tatanan sosial masyarakat Minangkabau, bukan sebaliknya memberikan kesenjangan diatas semangat norma keagamaan serta semangat ABS - SBK yang diterapkan cenderung bersifat konservatif.

Selain itu, pemerintah daerah hendaknya bertindak lebih toleran terhadap kelompok atau komunitas lain dan menjalin hubungan secara berkesinambungan antar kerukunan umat beragama dan berkeyakinan dalam upaya pengelolaan keberagaman komunitas atau keyakinan yang ada di Sumatra Barat.

Dengan rilisnya skor IKT ini, hemat penulis harus menjadi autokritik bagi pemerintah daerah dalam mewujudkan regulasi dan kebijakan yang berorientasi pada prinsip multikulturalisme dan inklusivitas sosial. Sumatra Barat dengan falsafah ABS – SBK harus menjadi model baru bagi daerah lain dan tidak hanya Singkawang, Manado dan Salatiga akan tetapi kota – kota di Sumata Barat bisa menuju daerah dengan skor IKT yang tinggi pula nantinya.

Dengan catatan pemerintah daerah melalui regulasi yang ada harus kooperatif dengan isu – isu kebangsaan keindonesiaan dan jangan terjebak pada narasi minoritas dan mayoritas.

Bagi penulis pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang bisa memfasilitasi dan mengakui keberadaan individu atau kelompok lain, bukan pemimpin yang berorientasi pada kepentingan elektoral dengan mempolitisasi identitas suara mayoritas. Terakhir opini ini hanya pandangan pribadi penulis dari hasil perenungan yang masih dangkal dan sifatnya masih debatable. Wallahu’alam…

*Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Maarif Institute/ Peneliti Spektrum Politika

Baca Juga

Kemenag Sumbar: Moderasi Beragama Antisipasi Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan
Kemenag Sumbar: Moderasi Beragama Antisipasi Ekstrem Kiri dan Ekstrem Kanan
Jemaat Nasrani Diusik saat Beribadah di Banuaran Padang
Jemaat Nasrani Diusik saat Beribadah di Banuaran Padang
Pelita Padang Dorong Partisipasi Anak Muda Lintas Iman Menjadikan Padang Kota Toleran
Pelita Padang Dorong Partisipasi Anak Muda Lintas Iman Menjadikan Padang Kota Toleran
Rasional dalam Pikiran, Emosional dalam Toleransi
Rasional dalam Pikiran, Emosional dalam Toleransi
Memasuki Dua Dekade, MAARIF Institute Perkuat Jaringan dengan Kawula Muda Untuk Melanjutkan Pemikiran Buya Syafii
Memasuki Dua Dekade, MAARIF Institute Perkuat Jaringan dengan Kawula Muda Untuk Melanjutkan Pemikiran Buya Syafii
Langgam.id - Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah telah bertemu langsung dengan perwakilan Serikat Pekerja Aqua Grup (SPAG).
Baru Tanggapi Soal 3 Daerah di Sumbar Disebut Intoleran, Mahyeldi: Jangan Diamini Saja