KEPERGIAN Masriadi Martunus (71 tahun), Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat 2000-2005, bagi keluarga dan yang mengenalnya tentu merasa sangat kehilangan. Tentu termasuk masyarakat Tanah Datar, kabupaten yang pernah dipimpinnya di awal reformasi dan otonomi daerah.
Pada masanya, putra asal Lintau Tanah Datar ini menorehkan banyak prestasi dan kemajuan bagi daerahnya, walaupun Masriadi memimpin “Luak nan Tuo” satu periode saja.
Beberapa inovasi fenomenalnya adalah reformasi birokrasi dan keuangan daerah, pengembangan kepegawaian, dan inovasi memajukan pendidikan.
Sewaktu menjadi bupati, Masriadi yang bergelar adat Dt Rajo Panghulu, merampingkan organisasi Pemkab dari 22 dinas menjadi 8 dinas saja. Ratusan jabatan eselon dihapuskan. Ia juga menutup banyak peluang korupsi.
Akibatnya di satu sisi, memang terjadi penghematan anggaran yang luar biasa (Jamrah, 2005), namun di sisi lain tentu muncul pula resistensi dari kalangan internal Pemkab sendiri.
Di bidang pendidikan, Masriadi berhasil memajukan pendidikan dengan melakukan regrouping sekolah, merintis sekolah unggul, insentif guru dan kepala sekolah ke luar negeri (untuk pembelajaran bahasa Inggris dan metode pengajaran) dan banyak lainnya.
Atas kebijakannya di bidang pendidikan, Tanah Datar mendapat perhatian dan banyak penghargaan, antara lain Bank Dunia.
Masriadi bahkan kemudian diundang mempresentasinya hasil inovasinya itu di Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Amerika Serikat, tahun 2005, suatu prestasi yang (setidaknya pada masa itu) jarang dicapai kepala daerah manapun.
Itulah sekelumit contoh prestasinya selama menjadi bupati. Mungkin kebijakannya tergolong cukup “ekstrem”, terutama bagi kalangan penyelenggara negara yang masih dalam paradigma lama, namun pelan-pelan kemudian diakui sebagai suatu kebijakan yang inovatif.
Ibaratnya dia sudah melaksanakan sesuatu ketika yang lain belum atau mungkin baru memikirkannya. Ide-ide dan model pelaksanaan idenya itu terbukti kemudian diserap dan diadopsi, baik oleh Kementerian di Pusat, lembaga-lembaga advokasi bidang otonomi, maupun daerah-daerah lain masa itu, sebagai ide-ide inovatif dalam berotonomi daerah.
Memang menjelang pilkada langsung 2005 di mana Masriadi akan ikut berkompetisi, beberapa kebijakan inovatifnya itu malah dipersoalkan, bahkan dibawa ke ranah hukum, namun kemudian terbukti kebijakannya sesuai aturan.
Namun sejak kasus itu diangkat, popularitas (elektabilitas)-nya menjadi terganggu sekali dan ia pun kalah dalam Pilkada. Yang paling ia sedih nampaknya bukan karena kalah dalam Pilkada, tapi good local governance yang ia kerjakan dan capai selama lima tahun seolah kemudian mengalami “titik balik”.
Mungkin itulah salah satu paradoks otonomi atau spesifiknya demokrasi langsung di aras lokal. Kepala daerah dengan segudang prestasi, tetapi justru kalah dalam pilkada dan bahkan hasil ide-ide inovatifnya pun kemudian ikut dikalahkan.
Mungkin sekali kelemahannya terletak pada gaya kepemimpinannya, yang bisa jadi dipengaruhi latar belakangnya sebagai pengusaha dan juga mantan aktivis (Malari), yang membuat banyak orang (birokrasi) terkaget-kaget pada masanya, tetapi apa yang pernah ia lakukan dalam memajukan daerahnya di awal reformasi patut dikenang sebagai sesuatu yang “mendahului” zamannya.
Selamat jalan, Pak Masriadi.
*Dosen Ilmu Sejarah FIB Universitas Andalas