BELUM reda ribut-ribut soal penyelenggaraan PPDB, pertengahan Juli lalu publik dikagetkan berita miring versi lain dari dunia persekolahan. Terlepas dari apa penyebab di balik kasus ini, yang jelas perilaku tak terpuji murid SD kepada gurunya itu, memperpanjang daftar carut-marut pendidikan kita. Realitas ini bukan saja miris, tetapi sudah mengerikan. Sederetan kekerasan terhadap guru yang dilakukan murid sejak beberapa tahun terakhir, tidak sebatas simbolik seperti perundungan dan perkataan kasar, tetapi sudah berupa tindakan fisik, bahkan pembunuhan. Tindak kekerasan juga menimpa teman-teman mereka sendiri sesama peserta didik. Bahkan perilaku tercela itu dilakukan justru hanya untuk show di media sosial. Karenanya, tak terlalu berlebihan jika disebut darurat moral telah terjadi di bangku sekolah. Bait lagu sederhana Pergi Belajar gubahan Ibu Sud, “hormati gurumu, sayangi teman” yang amat terkenal tempo doeloe, tampaknya mendesak untuk dihunjamkan dalam kesadaran terdalam peserta didik hari ini.
Guru, dari Apresiasi ke Depresiasi
Peradaban-peradaban besar di dunia, sejak dulu memberi penghargaan sangat tinggi kepada pendidikan, khususnya guru sebagai komponen penting. Hingga era kontemporer saat ini, secara umum apresiasi itu masih bertahan, meski di negara-negara maju dan modern sekalipun. Secara empiris dibuktikan dengan peringatan hari guru di berbagai negara, bahkan setiap 5 Oktober diperingati sebagai Hari Guru Sedunia. Di Indonesia, event ini diperingati setiap 25 November untuk mengenang lahirnya PGRI. Di Argentina, Teacher’s Day diperingati setiap 11 September, di India pada 5 September, dan di Korea Selatan setiap 15 Mei. Berbagai ekspresi apresiasi diberikan kepada guru, seperti di Venezuela setiap 15 Januari diperingati selain dengan tari-tarian, bernyanyi, drama, sandiwara, dan hiburan lainnya di sekolah, para guru juga diberi makan siang mewah dan kartu ucapan selamat dari siswa (Kompas.com, 25/11/2022).
Ironisnya, apresiasi tersebut secara gradual sejak beberapa tahun terakhir tampak mengalami degradasi. Berbagai kasus tragis yang menimpa guru, baik oleh murid sendiri maupun orang lain, terekspos luas di media. Tindakan sadis dan brutal yang dialami Budi, guru honorer di Sampang, oleh muridnya sendiri hingga tewas cukup viral di awal 2018 lalu (jawapos.com/2/2/18). Tak lama setelah itu, Maret 2018, kepala bu guru Nuzul Kurniawati, guru SMP di Pontianak, memar akibat dilempari kursi oleh muridnya yang ia tegur karena bermain hp ketika belajar (detik.com/9/3/18). Dua tahun sebelumnya, Agustus 2016, guru Dasrul di Makassar mendapat bogem mentah dari siswa dan orangtuanya hingga tulang hidung patah (detik.com/11/8/16). Kasus kekerasan terhadap pahlawan tanpa tanda jasa itu tak hanya di tanah air, namun terjadi juga di belahan dunia lain. Michele Borba psikolog, penulis, dan pendidik kesohor asal California yang banyak meneliti moralitas di dunia pendidikan, dalam Building Moral Intelligence: The Seven Essential Virtues That Teach Kids to Do the Right Thing (2002) menemukan 89% kepala sekolah SMU di Amerika menyebut sudah terbiasa dengan bahasa dan perilaku kasar antara guru dan murid.
Reaktualisasi Kecerdasan Moral
Baik tindakan bejat terhadap guru maupun kepada sesama murid, muaranya tetap pada soal tercerabutnya peserta didik dari nilai-nilai moral dan etika. Jika masih mengacu pada Borba, menurutnya berbagai kasus itu tidak terlepas dari kurang diperhatikannya aspek moral. Minimnya aspek tersebut berakibat pada rapuhnya kepekaan etis dan kontrol diri. Walau terkait banyak faktor, namun menurut Borba (2002) tak dapat dipungkiri faktor lingkungan di mana anak-anak dibesarkan amat meracuni kecerdasan moral mereka. Meski Borba memaknai kecerdasan moral sebagai kemampuan memahami serta membedakan yang benar dan salah, tetapi lebih dari itu menurutnya agar individu bisa memiliki suara hati yang mendorong untuk bersikap dan berperilaku benar, sekaligus memproteksi diri dari pengaruh buruk. Karena itu, menurut Lennick dan Kiel seperti dikutip Winurini (2016) kecerdasan moral tidak bebas nilai seperti halnya kecerdasan emosi yang bisa diaplikasikan pada kebaikan dan keburukan. Kecerdasan moral berpusat pada nilai, sehingga hanya semata diarahkan untuk kebaikan saja. Untuk itu, sejumlah karakter utama harus ditanamkan dalam kecerdasan moral.
Dalam karyaBorba di atas, ia menegaskan tujuh kebajikan utama yang wajib dikembangkan. Tiga di antaranya dipandang sebagai moral dasar, atau inti moral yang sangat urgen dan menentukan di masa depan sejauh mana kekuatan individu vis to vis menghadapi pengaruh buruk. Ketiganya adalah (1) empati, yakni kemampuan memahami dan merasakan kekhawatiran orang lain, (2) hati nurani, yakni suara hati untuk membedakan yang benar dan salah, serta (3) kendali diri, yakni kontrol pikiran dan tindakan untuk bisa menahan dorongan internal-eksternal sehingga bisa selalu bertindak benar. Sedangkan empat lainnya yang disebut Borba sebagai pengembangan moral, adalah (4) rasa hormat, yakni dorongan untuk menghargai dan memperlakukan orang lain dengan baik, (5) kebaikan hati, yakni kepedulian atas kesejahteraan dan perasaan orang lain, (6) toleransi, yakni bersikap menenggang terhadap sesuatu yang berbeda bahkan bertentangan dengan kita, serta (7) adil, yakni memperlakukan orang lain secara pantas.
Tujuh kebajikan utama di atas, tentu hanya bisa dimiliki oleh individu yang benar-benar dididik dengan tepat dan intens. Jika tidak, menurut Imam Ghazali maka manusia akan sekedar tumbuh dan berkembang seperti vegetatif. Atau hanya bergerak, berdaya tangkap dan berdaya khayal seperti hewan. Artinya, tanpa reaktualisasi dan revitalisasi kecerdasan moral, maka generasi ke depan bisa saja mewujud menjadi zombie, homo homoni lupus, serigala bagi manusia lainnya. Wallahu a’lam. (*)
Dr. Faisal Zaini Dahlan, MA, Dosen Studi Agama-Agama UIN IB Padang