Hidup Mati Perjalanan Selaju Sampan Seberang Palinggam Sejak Zaman Kolonial

Hidup Mati Perjalanan Selaju Sampan Seberang Palinggam Sejak Zaman Kolonial

Dua tim selaju sampan Palinggam sedang berkejaran menuju finish. (Foto: Rahmadi)

Langgam.id - Selaju sampan Dayuang Palinggam merupakan permainan rakyat yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Dalam perjalanannya, lomba dayung sampan ini sempat timbul tenggelam, sebelum dimunculkan kembali sebagai upaya pelestarian permainan rakyat.

Untuk mengetahui kisah permainan ini, Langgam.id menemui Syafriawati (50), salah seorang tokoh masyarakat Seberang Palinggam yang saat ini ikut menghidupkan kembali selaju sampan tersebut.

Ia ditemui di sela acara pada Kamis (21/2/2019). Saat ini Syafriawati juga ikut dalam kepanitiaan Kejuaraan Selaju Sampan Dayuang Palinggam Piala Kapolda Sumatra Barat 2019.

Syafriawati adalah anak dari Bahctiar Djamin, salah seorang tokoh pendayung selaju sampan yang cukup dikenal dahulunya. Ia mendengar langsung cerita tentang selaju sampan dari ayahnya saat masih hidup. Selain cerita, Syafriawati juga memiliki catatan kecil milik ayahnya yang berisi perjalanan singkat selaju sampan Seberang Palinggam.

"Ayah saya sudah menjadi pendayung sejak masa bujangnya di  zaman Hindia Belanda. Ia juga seorang veteran. Ayah sudah meninggal sekitar dua tahun lalu dalam usia 95 tahun," katanya.

Belum diketaui informasi rinci, kapan pastinya selaju sampan diadakan. Tapi, ia memperkirakan selaju sampan sudah diadakan sebelum tahun 1930-an.

Dalam catatan Bahctiar Djamin yang disimpan Syafriawati, pada tahun 1938, lomba selaju sampan tidak dilaksanakan karena pecahnya perang dunia kedua. Artinya Selaju Sampan sudah diselenggarakan sebelum tahun 1938.

Pada zaman itu, sudah ada klub selaju sampan dengan nama 'Seberang Palinggam Sejati' (SPS). Bachtiar merupakan salah satu anggotanya.

Formasi selaju sampan masa itu, diawaki oleh 12 orang pendayung. Sampan yang digunakan memiliki lebar sekitar satu meter dan panjang sekitar 12 meter.

Perlombaan dilaksanakan di permukaan sungai Batang Arau, kawasan Seberang Palinggam dengan panjang lintasan sekitar 500 meter. Pemenang ditandai dengan pendayung paling depan sampan yang pertama berhasil menyentuhkan dayungnya dengan labu-labu yang tergantung dengan seutas tali melintang di atas sungai. Labu-labu tersebut menjadi semacam garis finis.

Jalur yang digunakan saat ini masih sama dengan jalur yang sejak dahulunya dipakai. Hal itu, menurut Syafriawati, karena jalur yang dipakai sekarang lebih lurus dan tidak berkelok seperti bagian sungai lainnya. Hanya saja sungai saat ini lebih lebar karena dibangunnya banjir kanal. Sedangkan zaman dahulu sungai masih dengan sisi yang alami.

Selaju sampan sejak dahulunya menggunakan dua sampan yang berwarna hijau dan merah. Penggunaan warna merah dan hijau ini juga tidak diketahui apa alasannya.

"Kami tidak tahu mengapa sampannya berwarna merah dan hijau. Yang jelas, sejak zaman Belanda memang itu warnanya, dan kami tidak pernah mencoba mengubah warnanya serta tetap melanjutkan seperti itu," kata Syafriawati.

Untuk mencari pemenang, panitia menggunakan sistem gugur. Setiap dua tim bertanding, yang menang kembali diadu dengan tim lain yang menang. Yang kalah, gugur dalam perlombaan, sehingga didapatlah satu pemenang yang berhasil mengalahkan semua lawan yang dihadapinya.

Saat itu, pertandingan diadakan antar kampung. Selain urang awak, menurut Syafriawati, orang-orang Belanda juga ikut bermain dan menonton selaju sampan. Apalagi kawasan Seberang Palinggam merupakan jalur transportasi sungai penting bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pemenangnya, bukan dapat hadiah uang, melainkan sapi dan kambing.

"Saat itu kan belum ada kelurahan atau RT RW seperti saat sekarang Yang menjadi peserta saat itu adalah pendayung antar kampung di sekitar Seberang Palinggam," kata Syafriawati.

Setelah Indonesia merdeka, selaju sampan kembali diadakan pada 1951. Sebagai ketua panitia saat itu adalah Marah Dahler. Dalam tahun 1953 dan 1954 Club SPS mejadi juara A, B, C dan D pada masa Walikota Dr. Rasyidin.

Juara A, B, C, dan D merupakan nama juara saat itu yang kurang lebih sama artinya dengan juara 1,2,3, dan 4. Bachtiar Djamin merupakan salah seorang pendayung SPS waktu itu.

Pada masa itu juga tercipta lagu Dayuang Palinggam, yang saat ini sudah dinyanyikan oleh banyak penyanyi Minang seperti Benigno dan Yetti. Acara selaju sampan pada masa itu, dimeriahkan dengan nyanyian Dayuang Palinggam secara langsung dengan menggunakan pentas.

Acara dimeriahkan oleh penyanyi Minang hingga penyanyi ibukota Jakarta, seperti Usman Gumanti, Titien Sumarni, Siti Aziza, dan Djamaluddin Malik.

Selanjutnya, pada 1955 selaju sampan dilaksanakan Teluk Bayur dengan jalur di atas laut sekitarnya. Saat itu klub SPS milik masyarakat Seberang Palinggam juga menjadi juara dan mengalahkan tim kampung lain.

Selaju sampan di Teluk Bayur merupakan yang terakhir sebelum kisruh masalah Reuni Dewan Banteng dan dilanjutkan konflik Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Tujuh tahun kemudian, selaju sampan diadakan kembali di tempat semula di Batang Arau, Seberang Palinggam. Sejaka 1962 tersebut, selaju sampan bisa dilangsungkan terus hingga 1964. Pada 1965 kembali terhenti karena pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S).

Tahun 1967, selaju sampan berusaha dibangkitkan kembali oleh Kepala Kampung Pasa Gadang Ismael Belek. Seberang Palinggam masuk ke dalam Kelurahan Pasa Gadang saat itu. Setahun berikutnya, pada 1968 giliran Wali Kota Padang Chairul Yahya yang mendorong kembali diadakan. Ismael Belek kembali menjadi ketua panitia acara sebelum kemudian kembali vakum.

Pada 1980, masyarakat Seberang Palinggam bangkit kembali untuk melaksanakan selaju sampan. Selaju Sampan saat itu dilaksanakan untuk memperingati HUT Republik Indonesia 17 Agustus 1980. Tokoh masyarakat Seberang Palinggam yang memprakarsai saat itu yaitu, Efendi Radjo Bungsu, Bachtiar Djamin, Ramlan Zakaria, Zulhasan Latief, dan Irsan Sulaiman. Irsan Sulaeman merupakan Lurah Pasa Gadang saat itu.

Ada perubahan dengan formasi pendayung saat itu. Sejak tahun 1980 hingga 1984 selaju sampan dilaksanakan oleh empat orang pendayung. Sedangkan tahun 1985 hingga 1987 selaju sampan dilaksanakan oleh enam orang pendayung.

"Saat itu sampannya lebih kecil, lebarnya sekitar 60 centimeter dan panjang sekitar enam meter, namanya sampan selodang, sampan itu mudah terbalik kalau kita banyak bergerak," kata Syafriawati.

Dijelaskan Syafriawati, setelah 1987 selaju sampan sering kali tidak diadakan. Namun pernah dilaksanakan beberapa kali pada tahun 1990-an. Selama pelaksanaan selaju sampan juga diwarnai dengan keributan, sehingga terkadang ketertiban dalam acara menjadi terganggu.

Setelah terhenti, pemerintah Kota Padang juga mulai membuat pertandingan serupa yaitu dragon boat.

"Pada zaman Pak Fauzi Bahar (mantan Wali Kota Padang), diangkatlah perlombaan serupa yaitu dragon boat. Kepanitiaannya juga ada dari orang Seberang Palinggam," katanya.

Warga Seberang Palinggam Paryono (50) mengatakan, tradisi selaju sampan sangat identik dengan masyarakat Seberang Palinggam yang banyak berprofesi sebagai nelayan.

Zaman dahulu, transportasi air menggunakan sampan menjadi andalan masyarakat Seberang Palinggam. Sama halnya dengan orang Belanda yang banyak melakukan aktivitas di Sungai Batang Arau pada eranya.

"Acara ini sering mati hidup mati hidup, karena perang dan karena kekurangan sponsor. Biasanya diadakan untuk menyambut perayaan kemerdekaan. Sebelum diadakan pada tahun ini, sempat digelar pada 2017, lalu kembali absen dan pada 2019 kembali diadakan lagi," katanya.

Syafriawati mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan selaju sampan dayung Palinggam. Bila dragon boat yang merupakan tradisi warga keturunan Tionghoa bisa terus diadakan, selaju sampan dari Palinggam juga diharapkan demikian.

Gelaran kembali selaju sampan, diharapkan Syafriawati bisa mendorong masyarakat mencintai dan menjaga kebersihan Sungai Batang Arau. Ia juga berharap even yang sama terus dilaksanakan oleh Polda Sumatra Barat bersama masyarakat Seberang Palinggam.

Polda Sumbar memang mendorong masyarakat kembali mengadakan lomba selaju sampan pada tahun ini untuk memperebutkan Piala Kapolda Sumbar.

Kapolda Sumbar, Irjen Pol Fakhrizal saat membuka lomba menyebutkan, olahraga tidak hanya sekedar mengejar prestasi. Tetapi juga merupakan bagian dari upaya menumbuhkan daya cegah dan daya tangkal terhadap kejahatan. Maka peranan olahraga menjadi sangat penting dan strategis.

"Selaju sampan dayuang Palinggam merupakan legenda selaju sampan di Ranah Minang. Karena itu, saya ingin mendukung program kejuaraan ini sebagai agenda tahunan, sehingga selaju sampan dayuang Palinggam menjadi populer kembali di Sumbar," katanya sebagaimana dilansir tribratanews di situs resmi Polri.

Peserta yang mengikuti perebutan piala Kapolda Sumbar tersebut sebanyak 117 tim dayung dan memperebutkan total hadiah hingga Rp100 juta. (Rahmadi/HM)

Baca Juga

Bangun Kembali Tugu Linggarjati, PJN Sumbar: Kami Tidak Mungkin Hilangkan Sejarah
Bangun Kembali Tugu Linggarjati, PJN Sumbar: Kami Tidak Mungkin Hilangkan Sejarah
Tugu Linggarjati di Padang Hilang, DPRD Sumbar Minta Kembalikan
Tugu Linggarjati di Padang Hilang, DPRD Sumbar Minta Kembalikan
Banjir Besar Padang 1907, Latar Belanda Menggagas Pembuatan Banda Bakali
Banjir Besar Padang 1907, Latar Belanda Menggagas Pembuatan Banda Bakali
Kala Hindia Belanda Resmikan Padang Jadi Kota
Kala Hindia Belanda Resmikan Padang Jadi Kota
Tim Dayung Anggaraksa Raih Piala Kapolda Sumbar
Tim Dayung Anggaraksa Raih Piala Kapolda Sumbar
Selaju Sampan Dayuang Palinggam, Olahraga Tradisional Sejak Zaman Kolonial Belanda
Selaju Sampan Dayuang Palinggam, Olahraga Tradisional Sejak Zaman Kolonial Belanda