99 Tahun Gedung De Javasche Bank Padang (1)

99 Tahun Gedung De Javasche Bank Padang (1)

Gedung DJB Padang pada 1900-an. [Foto: KITLV]

Langgam.id - Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumatera Barat membuka eks-kantornya di Jalan Batang Arau untuk pengunjung selama pagelaran Festival Muaro Tempo Doeloe pada akhir pekan lalu, Jumat-Minggu (19-21 April 2024). Di situ, dipamerkan sejumlah koleksi numismatik dari BI dan pigura foto Padang lampau yang dihimpun Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Padang.

Bangunan yang disulap menjadi museum itu merupakan peninggalan De Javasche Bank (DJB, cikal bakal BI) pada masa Hindia Belanda. Mulai didirikan pada 31 Maret 1921, butuh hampir empat tahun menyelesaikannya sebelum diresmikan pada 12 Januari 1925. Jika ditilik dari tanggal peresmian tersebut, maka gedung DJB Padang saat ini sudah berusia 99 tahun.

Pembukaan Cabang DJB di Padang dan Gedung Awal

Seperti sudah banyak dibahas, DJB Padang menjadi cabang ketiga di Hindia Belanda setelah Semarang dan Surabaya atau yang pertama di luar Pulau Jawa. DJB melihat Padang memiliki prospek menjanjikan. Sebagai kota yang ramai oleh arus lalu lintas perdagangan dengan bangsa asing, kebutuhan akan uang kertas yang masif menjadi keniscayaan.

Usulan pendirian kantor cabang di Padang disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 6 Agustus 1864, sebagaimana diwartakan De Oostpost. Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan izin pendirian De Javasche Bank Agentschap Padang lewat SK No. 2 tanggal 11 Agustus 1864. DJB Padang secara resmi beroperasi pada 29 Agustus 1864 dengan direkturnya yang pertama bernama A.W. Verkouteren.

Melalui kerja sama dengan Gubernur Pantai Barat Sumatera, DJB dapat membeli sebidang tanah di Jalan Nipah, sejajar dengan rumah kantor gubernur atau berseberangan dengan gedung DJB sekarang. Tanah tersebut dibeli dengan harga f 1.000, angka yang tergolong mahal mengingat lokasinya berada di kawasan komersial Handelskade (jalan sepanjang tepi pelabuhan Batang Arau).

“Kami sempat mencari lokasi lain, tetapi tanpa hasil yang memuaskan, karena mahalnya harga tanah di daerah tersebut, sementara tidak ada lokasi yang memiliki lokasi sebaik lokasi di mana gedung bank sekarang berdiri,” demikian laporan manajemen DJB yang dipublikasikan Kamar Dagang Hindia Belanda dalam verslag tahun 1866.

Mengutip laporan yang sama, gedung awal DJB Padang mulai ditempati pada 16 Desember 1865. Menjelang pembangunan gedung selesai, DJB Padang menempati sebuah kantor yang disediakan oleh Gubernur Pantai Barat Sumatera.

Lantaran ketiadaan biro arsitek saat itu, Presiden DJB C. F. W. Wiggers van Kerchem meminta Kapitein der Genie Letnan Kolonel L.H. Deeleman mengerjakan rancangan gedung. Pekerjaan pembangunan diserahkan pada kontraktor. Insinyur J. A. Schiotling bertindak melakukan pengawasan harian.

Lampiran Gambar
Gedung DJB Padang pada 1900-an. [Foto: KITLV]

Jika melihat foto lampau, gedung awal DJB Padang tampak memiliki arsitektur sederhana dengan bentuk persegi panjang, jendela kayu berdaun ganda yang terlindung oleh tritisan, dan kanopi rendah tetapi lebar di pintu masuk. Bentuknya kurang lebih mirip dengan Kweekschool Bukittinggi. Di gedung itulah, DJB Padang melakukan pelayanan perbankan: diskonto, jual beli mata uang, jual beli surat berharga, pelayanan rekening koran, dan pengiriman uang

Kehadiran DJB Padang di Batang Arau disusul pembukaan cabang bank swasta Padangsche Spaarbank pada 1879 dan Nederlandsch-Indische Escompto Maatschappij (atau Escompto Bank) pada 1899.

Setelah hampir 50 tahun beroperasi, DJB merasa perlu memiliki gedung baru yang representatif untuk meningkatkan pelayanan. Selain itu, gedung lama meninggalkan kesan “suram” di mata Presiden DJB Mr. G. Vissering.

Kesan demikian awalnya diungkapkan Presiden DJB Mr. G. Vissering ketika datang melakukan kunjungan dinas ke Padang pada 2 April 1912, seperti diulas surat kabar De Expres. Setibanya pukul 7 malam, ia memeriksa brankas tempat penyimpanan uang tunai. Namun, pencahayaan dari lampu minyak tanah di ruang itu tidak bisa diandalkan, Terpaksa, ia menggunakan lilin untuk memberi pencahayaan tambahan.

Menutup pemberitaannya, De Expres mengutip kata Mr. G. Vissering: Padang adalah cabang pertama yang dipertimbangkan untuk dibangun gedung baru.

Tak hanya itu, pembangunan gedung baru DJB didasari kekhawatiran terhadap sistem keamanan gedung lama.

Pada 26 November 1912, kepolisian Padang menangkap tiga orang Eropa yang memiliki peralatan lengkap untuk pencurian, di antaranya peleleh besi dan alat pernafasan oksigen. Mereka adalah Bakkerus bersaudara dan Kühn. Komplotan ini sebelumnya telah berhasil melancarkan pencurian di Kantor Perbendaharaan Negara Bandung dan Yogyakarta.

Bakkerus bersaudara dan Kühn dikenal licin dan mampu menghilang dari kejaran polisi. Mereka menjadi buron dan kabur ke Singapura melalui Surabaya. Pelarian mereka akhirnya terhenti di Padang.

Lampiran Gambar
Gedung DJB Padang setelah menjadi Kantor Perbendaharaan Negara. [Foto: KITLV]

Perlu waktu cukup lama mewujudkan pembangunan gedung baru DJB Padang. Saat itu, Direksi DJB masih berfokus pada pembangunan beberapa kantor cabang lain. Barulah pada 1920, DJB Padang mendapat angin segar soal pembangunan gedung, seperti dikabarkan Atena edisi 05-11-1920. “DJB akan segera membangun sebuah kantor baru di Padang beserta rumah tinggal modern untuk agen (kepala cabang),” tulis Atena.

Meski demikian, DJB harus kembali menghadapi masalah pemilihan lokasi. DJB tetap mengincar kawasan komersial Handelskade. Hanya saja, tak ada lagi lahan yang tersedia di situ karena di sepanjangnya sudah berdiri berjejer gudang/kantor milik pemerintah dan swasta.

Terkait ini, DJB sempat mempertimbangkan opsi menghancurkan gedung lama untuk dibangun gedung baru di atasnya. Namun, hal ini ditentang oleh Direksi DJB. Akhirnya, DJB melirik lahan di seberang (lokasi DJB sekarang) yang ditempati gudang milik pemerintah peninggalan abad ke-19 yang sudah bobrok.

Untuk mendapatkan lahan itu, DJB menawarkan pertukaran. Pemerintah bisa menempati gedung lama DJB dan DJB menawarkan untuk menanggung semua biaya mengalihkan gudang ke lokasi yang baru.

Pemerintah pada awalnya keberatan, terutama dengan alasan menjaga agar lokasi tersebut tetap tersedia untuk rencana pengembangan pelabuhan Muara. “Namun, pada akhirnya pemerintah menerima, karena DJB tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk membangun kantor baru. DJB menanggung sendiri risikonya dengan memulai pembangunan baru,” cerita Kepala Cabang DJB Padang F.H. Westerling dalam sambutan peresmian gedung baru pada 1925.

Arsitek, Mandor, dan Pekerja

Bangunan DJB Padang direncanakan oleh biro arsitek milik Arthur Fermont dan Eduard  Cuypers yang berkantor di Amsterdam dan Batavia (Jakarta). Jika gaya arsitektur DJB yang didirikan sebelumnya kental dipengaruhi aliran neoklasik, gedung DJB Padang dibangun dalam bentuk yang sederhana dengan tetap menampilkan nuansa lokal.

Lampiran Gambar
Theo Taen dan hasil rancangan lainnya, berturut-turut dari kiri atas ke kanan bawah: Padang, Kediri, Pontianak, Pematang Siantar, dan Banjarmasin.

Bertindak sebagai arsitek untuk DJB Padang yakni Theo Taen, sebagaimana dicatat Obbe Norbruis dalam buku Indische Bouwkunst terbitan tahun 2022. Sebelumnya, ia merancang DJB Pematang Siantar (1923) dan nantinya DJB Banjarmasin (1923), Pontianak (1928), dan Kediri (1929).  Tak ayal, kita dapat menemukan kemiripan pada kelima cabang DJB tersebut, terutama pada DJB Kediri.

Theo Taen atau nama lengkapnya Theodorus Josephus Taen Err Toung (1889-1970) merupakan keponakan dari Eduard Cuypers. Ia menjadi kepala kantor biro arsitek milik sang paman di Batavia sejak 1921 sepeninggal Marius J. Hulswit, rekan Eduard Cuypers. Saat itu, usianya berarti masih 22 tahun. Di Padang, bangunan lain hasil rancangan Theo Taen yakni gedung Escompto yang kini ditempati Bank Mandiri.

Pembangunan gedung DJB Padang memakan waktu empat tahun. Berdasarkan penelusuran dari surat kabar sezaman, ada setidaknya dua peristiwa menarik di sekitar pembangunan.

Pertama, soal kematian mandor. Pekerjaan pembangunan DJB Padang dipimpin oleh insinyur P.A. De Graaf. Namun, sebelum pembangunan selesai, ia dilaporkan mengalami kecelakaan fatal yang meregang nyawanya pada 11 Desember 1924. “Ia tidak sempat melihat hasil kerja kerasnya,” kenang Arthur Fermont saat peresmian gedung baru DJB Padang pada 1925. Tugas-tugas De Graaf diestafet oleh oleh Roestenburg.

Berita kematiaan De Graaf diketahui dari ucapan duka yang dikirimkan Biro Hulswit-Fermont-Cuypers di Sumatra-Bode edisi 13-09-1924. Pemberitaan di koran pada hari itu hanya menyebut sang mandor meninggal akibat kecelakaan sepeda motor meski sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Militer Ganting.

Kronologis mengenai kecelakaan De Graaf baru diketahui dari laporan lengkap Bataviaasch Nieuwsblad edisi 20-09-1924. Disebutkan, kecelakaan motor terjadi di depan biara Zusters van Liefde melibatkan dua pengendara sepeda motor, De Graaf dan Rückert, usai melewati gang Gurun Kecil (sekarang Jl. Gereja) dalam perjalanan menuju Hotel Oranje.

Di depan biara, terdapat truk tangki air. Di sisi lain jalan, sebuah mesin penggilas uap sedang bekerja. De Graaf mengemudi di depan, sementara Rückert mengikuti dari jarak sekitar 30 meter. De Graaf berhasil menghindari mesin penggilas uap, tapi menabrak truk. Ia terjatuh di tengah jalan dan sepedanya terpental. Rückert, yang mengemudi di belakangnya, gagal mengerem, sehingga menabrak De Graaf yang malang.

De Graaf yang tidak sadarkan diri dan dalam kondisi parah dibawa dengan tandu oleh Rückert ke Hotel Oranje. Rückert sendiri mengalami luka-luka pendarahan di kaki dan tangan.  De Graaf mengalami patah kaki di bagian pergelangan kaki dan diduga mengalami gegar otak. Sempat dibawa ke rumah sakit militer dengan tandu, nyawanya tak tertolong. Ia meninggal pada malam hari tanggal 12.

“De Graaf merupakan sosok yang dikenal periang, sederhana, dan humoris. Ia memiliki banyak teman dan kenalan dalam waktu yang singkat. Almarhum baru berusia 30 tahun. Pemakaman De Graaf dilakukan pada sore hari tanggal 13,” tutup laporan Sumatra-Bode.

Lampiran Gambar
Kaca patri yang menghiasi partisi kayu di lantai utama. [Foto: Rahmat Irfan Denas]

Hal kedua yang menarik dari dalam proses pembangunan gedung DJB Padang yakni melibatkan narapidana sebagai pekerja. Mereka merupakan tahanan penjara Padang lama yang terletak di belakang kantor gubernur. Para narapidana ini mengerjakan pertukangan kayu untuk interior dan fasad di bawah pengawasan orang Eropa.

“Sungguh menakjubkan bahwa pekerjaan seperti itu dapat dilakukan dengan pengawasan yang sangat minim (hanya ada dua ahli kayu di penjara ini) dan pekerja yang relatif tidak terampil,” tulis laporan Sumatra-Bode pada 1925. (*/)

Baca Juga

Minggu ketiga Juli 2024 ini, sebanyak delapan komoditas pangan di Kota Padang Panjang, Sumatra Barat (Sumbar), turun harga.
Harga dan Kebutuhan Pangan di Kota Padang Relatif Stabil
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Asysyfa Maisarah, Anak Buruh Tani Asal Limapuluh Kota Merajut Mimpi di UGM
Ketua DPP PPP Bidang Politik dan Pemerintahan, Audy Joinaldy mengantarkan bakal calon legislatif (bacaleg) partainya ke KPU Sumbar
Jelang Pilkada 2024, Audy Joinaldy Mundur dari PPP
Dampak Covid-19 sumbar
OJK Cabut Izin BPR Lubuk Raya Mandiri, Nasabah Diminta Tenang
progres-mencapai-39-persen-pembangunan-gedung-dprd-padang-butuhkan-rp1174-miliar
BPK Temukan Kelebihan Pembayaran Pembangunan Gedung DPRD Padang Senilai Rp.1,7 Miliar
Partai Gerindra dan PKS akhirnya resmi mengusung pasangan Mahyeldi Ansharullah dan Vasko Ruseimy pada Pilgub Sumbar 2024 nanti.
Pilgub Sumbar 2024: PKS Buka Peluang Partai Lain Gabung Koalisi Mahyeldi-Vasko