Setiap tanggal 22 Oktober orang-orang Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Hari ini diperingati untuk mengenang Resolusi Jihad yang digagas oleh KH Hasyim Asyari. Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 menggerakkan para santri, pemuda, dan masyarakat untuk berjuang melawan pasukan kolonial. Adapun isi dari resolusi ini menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah jihad. Artinya, hukum berjuang melawan sekutu merupakan wajib atau fardhu ‘ain untuk setiap umat muslim.
Makna simbolik dari resolusi jihad itu adalah bahwa santri bukanlah kelompok terdidik biasa yang semata-mata bergerak dalam lapangan ilmu agama untuk mendalami ajaran-ajaran dari sumber pokok ajaran agama Islam (al Qur’an dan Hadis) dan kitab-kitab klasik (turats) warisan cendekia masa lampau. Secara terang, sejarah telah menunjukkan bahwa ajaran agama begitu hidup di tangan para santri pembelajar agama.
Ada banyak kajian klasik yang dilakukan oleh cendikiawan untuk meunjukkan peran santri di lapangan yang lebih luas di luar lapangan pendidikan agama dan keagamaan. Misalnya penelitian tesis Zamakhsyari Dhofier (1980) yang berjudul The Pesantren Tradition: A Study of the Role of Kyai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java mengurai bagaimana pengetahuan agama dan ideologi Islam di bawah asuhan kiyai dapat mempengaruhi pandangan santri terhadap dunia; negara dan bangsa.
Salah satu dalil historis yang digunakan untuk mengalassejarahi hari santri adalah Resolusi Jihad sebagaimana ditulis di pembuka tulisan ini. Bagaimana terma Jihad, fi abiilillah, Fardhu ‘ain dan segala macamnya menjadi penyemangat perjuangan santri melawan kaum penjajah.
Tulisan ini akan mencoba memotret tradisi kesantrian di Minangkabau abad ke-19 dalam kaitannya dengan gerakan sosial. Jauh sebelum resolusi Jihad 1945, di Minangkabau juga terjadi revolusi besar yang mengubah wajah dan formulasi kemasyarakatan. Cristine Dobbin dalam bukunya Gejolak Ekonomi Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 menyebutkan dengan jelas bahwa gerakan sosial kaum santri Minangkabau yang berlatar keagamaan mampu merekonstruksi sebuah masyarakat yang berada dalam gejolak transformasi pertanian dan kejayaan perdagangan.
Dalam uraian Dobbin tersebut terlihat dua model gerakan sosial kaum santri di mana terlihat adanya peran guru (Tuanku/Kiyai) dalam mengasuh pergerakan, dan gerakan santri yang terlepas dari asuhan Tuanku, bahkan dalam kasus tertentu cenderung berseberangan kalaupun tidak berbenturan.
Dalam Asuhan Guru
Dobbin menggambarkan bagaimana santri Minangkabau bertransformasi dari sekadar urang siak biasa menjadi agen perubahan yang nyata. Dobbin menyebutnya transformasi gerakan murid-murid tarekat menjadi gerakan syari’at. Menurutnya, santri-santri awal di Minangkabau berasal dari surau tarekat.
Surau tarekat dalam hal ini tidak saja mengajarkan hal-hal yang terkait dengan amalan tarekat semata. Surau tarekat tetap melaksanakan kurikulum lama minangkabau sebagai lembaga pengajaran adat dan budi. namun surau tarekat juga melaksanakan pengajaran ilmu syari’at (fikih) dan ilmu-ilmu alat untuk mendalami agama justru terlihat signifikan.
Surau tarekat ini, kata Dobbin dianggap sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan dagang. Dobbin memberi contoh dengan surau tarekat yang diasuh oleh guru tarekat Syattariah, dengan Tuanku nan Tuo sebagai tokoh sentralnya.
Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya terlihat keluar dari pakem kaum mistikus dan bergerak kelapang syar’at yang kongkrit. Dalam kasus perdagangan, kala itu pasar dan aktivitas perdagangan di Minangkabau tidak berada dalam keadaan yang baik. Pasar yang dikelola nagari tidak kondusif. Banyak terjadi perampokan, penculikan para pedagang untuk kemudian dijual sebagai budak. Tuanku Nan Tuo melihat bahwa aktivitas pasar kala itu tidak sesuai dengan aturan islam tentang perdagangan.
Ia dan murid-muridnya mencoba membujuk desa-desa di dekatnya untuk menerima hukum Islam dalam berdagang. Mula-mula, Tuanku Nan Tuo mencari tempat-tempat penahanan orang-orang yang diculik dan yang akan dijual sebagai budak. la juga mencari daerah-daerah yang melanggar peraturan dan ketetapan [Islam]. Desa-desa mereka diserbu dan ditahan. Dengan tindakan itu, para perampok menjadi takut merampok dan menjual orang-orang tahanan mereka.
Usaha itu berhasil meskipun tak jarang Tuanku nan Tuo mendapat tantangan dan perlakuan yang tidak sepatutnya dari masyarakat penentangnya. Namun menjelang pertengahan tahun 1790-an, daerah Empat Angkat misalnya mengalami kemajuan besar dalam pengaturan urusan dagang.
Tuanku Nan Tuo pun akhirnya dikenal sebagai pelindung para pedagang, tulis Syekh Jalaluddin Fakih Shaghir murid Tuanku nan Tuo dalam risalahnya berjudul “Alamat Surat Keterangan daripada Saya Fakih Saghir Alamiyah Tuanku Sami’ Syeikh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo Jua Adanya Wallahulhadi Ila Sabiil al Rasyad” yang ditulis sekitar tahun 1823.
Gerakan Santri Mandiri
Keberhasilan misi Tuanku nan Tuo di atas dapat dilihat sebagai model peran kiyai dan santri dalam lapangan dakwah persuasif. Namun, cakupan wilayah ini terlihat sangat terbatas dan berjalan dengan lambat. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila ada di antara murid-murid Tuanko nan Tuo yang tidak puas dan tidak sabar dengan cara lunak ini, apalagi melihat tantangan yang dihadapi dengan cara lunak ini.
Tuanku nan Renceh adalah di antara murid Tuanku nan Tuo yang cemerlang. Ia mendesak gurunya agar berlaku keras tanpa kompromi terhadap pelanggaran agama dan sosial. Apalagi dakwah dengan cara lunak ini kerap mendapat cemooh dan olok-olok dari masyarakat, terutama dari pemuka adat.
Tuanku nan Renceh dan teman-teman sepemikiran dengannya ingin tidakan yang lebih keras. Ini tidak aneh, mereka selain santri adalah pemuda-pemuda pesilat tangguh Kebanyakan murid-murid Tuanku nan Tuo adalah para pesilat tangguh. Salah satu fungsi surau adalah tempat belajar silat bagi anak-anak Minangkabau tulis Azyumardi Azra dalam bukunya Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003).
Sejarah mencatat, upaya Tuanku nan Receh ini sebagai gerakan pembaharuan Islam Minangkabau gelombang pertama. Selama periode ini muncullah suatu peristilahan untuk penyokong gerakan pemurnian ini dengan sebutan orang-orang Padri. Gerakan ini akhirnya disudahi dengan perdamaian antara kaum Padri dengan tokoh adat. Perdamaian ini mengikrarkan pertalian adat dengan syara’ yang diikat dengan sebuah falsafah terkenal Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Ringkasnya, usaha Tuanku nan Renceh sebagai sebuah gerakan sosial dipandang berhasil mengubah tatanan masyarakat dan mengubah pola prilaku hidup masyarakat Minangkabau.
Dari sini dapat dipahami, bahwa semangat perubahan itu mucul dari kalangan “santri” Minangkabau. Dengan kemampuan ilmu agama dan kemampuan beladiri yang tangguh meraka mencoba melakukan perbaikan. Bekal selama belajar di surau sebagai lembaga pendidikan terlihat digunakan dengan merdeka.
Pascapadri, tradisi kesantrian terlihat berubah dan bergeser ke arah yang lebih smooth. Tradisi kesantrian mulai terserap dalam subkultur muslim Minangkabau dengan sebutan Urang Siak. Sebutan ini hidup dalam sebuah tradisi sosial Masyarakat Minangkabau.
Sepanjang waktu, terlihat peran Urang Siak dalam tradisi yang berasosiasi dengan upacara-upacara adat dan upacara keagamaan, seperti upacara Baralek Perkawinan (Pesta Perkawinan), Batagak Pangulu (Upacara Pengangkatan Datuk/Penghulu Adat) dan upacara-upacara lainnya yang meniscayakan kehadiran Urang Siak dalam rangkaian acara tersebut.
Pelajaran
Pelajaran untuk hari ini adalah, pertama; keterlibatan santri pada masalalu dalam persoalan-persoalan nyata masyarakat terlihat jelas karena mereka bukan semata bagian dari subkultur masyarakat Islam atau subkultur pendidikan Islam saja. Tetapi aksi mereka berangkat dari kesadaran sebagai anggota masyarakat yang luas.
Kedua: dalam situasi yang genting dan menuntut perubahan seperti kasus-kasus yang diurai di atas, tersedia dua pilihan, yaitu versi lunak (persuasif) ala Tuanku nan Tuo, atau versi keras dan radikal ala Tuanku nan Renceh (1803) dan KH Hasyim Asy’ari (1945). Bahwa bagaimanapun, perbedaan itu merupakan sebuah pilihan aksi yang sama-sama menunjukkan kepedulian dan keberpihakan mereka terhadap masyarakat.
Oleh sebab itu, santri milineal sekarang jika sudah memiliki kesadaran sebagai masyarakat mestinya juga memilih cara untuk mengunjuk aksi-aksi perubahan. Jika santri-santri Sekolah Teknologi Menengah (STM) dan Santri Perguruan Tinggi memilih jalan pintas demonstrasi turun ke jalan, maka santri-santri yang fokus mendalami ilmu-ilmu agama mesti mencari jalannya sendiri yang lebih sesuai dengan tradisi yang dibangun di tempat ia belajar. Selamat Hari Santri Nasional.
Oleh: Muhammad Nasir, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang