Jejak koreografi tari dari koreografer asal Sumatra Barat dengan basis kebudayaan Minangkabau hingga hari ini terus dapat dibaca. Keterbacaan terhadap koreografi tersebut, meskipun terkadang sulit untuk melihat bagaimana model dan hasil koreografinya, dapat dilacak secara kesejarahan.
Namun hari ini satu hal paling merisaukan bagi para pelaku tari, bagaimana faktor kesejarahan tersebut tidak membuat koreografi muda hari ini terstimulus dan dapat menguarkan gagasan baru untuk terus melakukan eskplorasi, supaya pembacaan terhadap kesejarahan tari (kontemporer) dari Sumatra Barat terus berlanjut.
Persoalan keberlanjutan tersebut, menjaga ritme proses penciptaan tari bagi koreografer muda, lalu membangun sebuah festival sebagai ruang untuk menguji hasil proses penciptaa, barangkali perihal utama yang ingin dituju oleh Festival MenTARI yang akan dilaksanakan tanggal 6-8 April 2021 di Universitas Negeri Padang.
Secara gagasan dan konsep, festival ini dapat dikatakan kuat dan matang meskipun kita belum dapat melihat bagaimana gagasan dan konsep tersebut digarap, dipertontonkan pada publik, dan bagaimana publik merespon nantinya.
Tidak hanya itu, sesuai dengan tujuan dari Festival MenTARI sebagai platform untuk membangkitkan potensi tari di Sumatera Barat dengan basis proses penciptaan, kita dapat melihat ketahanan sepuluh (10) koreografer muda terpilih nantinya. Tidak hanya dalam proses festival hingga pertunjukan berlangsung, tapi setelah proses festival berakhir.
Festival MenTARI tidak hadir dari kekosongan akan sebuah persoalan. Festival ini merupakan kelanjutan atau salah satu luaran setelah dibentuknya Sekoci (Serikat Koreografer Cahaya Indonesia) dalam format komunitas.
Serikat ini didirikan oleh para koreografer, praktisi, dan pelaku tari dari Sumatera Barat dan tanah rantau dengan kerisauan yang sama dan kesadaran untuk mendorong perkembangan tari yang lebih baik dari Sumatera Barat dan Indonesia. Mereka adalah Indra Yuda, Susas Rita Loravianti, Joni Andra, Herlinda Mansyur, Ali Sukri, dan Hartati.
Festival ini secara gagasan juga merupakan ruang rekacipta untuk mengisi kekosongan atau upaya regenerasi pelaku tari di Sumatera Barat. Karena hampir 15 tahun belakangan, menurut pandangan pelaksana festival, jarang sekali terdengar nama dan karya koreografer muda yang muncul dan konsisten berkarya dari Sumatera Barat, baik di ajang nasional apalagi internasional.
Beberapa nama koreografer muda muncul-tenggelam, terdengar samar. Penyelenggara agaknya berharap dapat mengisi kekosongan karya koreografer Sumatera Barat beberapa tahun belakangan dalam berbagai iven melalui Festival MenTARI.
Juga dapat menelisik kembali potensi penciptaan tari di Sumatera Barat yang selama ini terabaikan.
Membuat Ruang Menantang
Sekoci memandang terputusnya generasi tari Sumatera Barat salah satunya karena tidak adanya ruang yang menantang bagi mereka untuk menciptakan karya. Kalaupun ada hanya dalam bentuk lomba yang sifatnya tidak memberikan rangkaian proses penciptaanyang matang.
Lomba yang dibuat alakadarnya sudah dapat dipastikan tidak membuat para koreografer berkembang dengan baik dan menemukan karakter mereka masing-masing. Akhirnya mereka seperti tertinggal dari kemajuan, atau tidak melihat perkembangan tari yang ada.
Untuk itulah Sekoci melalui Festival MenTARI menganggap sebuah fondasi festival dengan basis prose penciptaan tari penting kehadirannya di tengah krisis regenerasi koreografer Sumatra Barat. Dalam hal ini, festival MenTARI menggunakan metoda mentoring selama tiga bulan belakangan sebelum para koreografer muda terpilih tersebut menghadirkan karya mereka ke hadapan publik.
Koreografer muda potensial ditunjuk oleh board festival berdasarkan potensi, perkembangan selama ini, dan potensi-potensi yang patut diperlihatkan kepada dunia tari Indonesia.
Materi mentoring terdiri dibangun dari lima aspek; koreografi, gagasan, musik tari, artistik dan dramaturg. Metoda ini dan festival ini dilaksanakan dengan harapan, selain para koreografer dapat mengembangkan kemampuan dan wawasan tari, juga dapat mengkomunikasikan gagasannya dengan baik serta dapat bersaing dengan koreografer lainnya di Indonesia.
Tentu saja mereka akan diminta mengembangkan pengetahuannya tentang akar budaya sendiri dan dapat bicara persoalan global melalui budayanya.
Melalui postingan di media sosial Festival MenTARI @festival_men_tari kita dapat melihat prosedur mentoring bagi para koreografer muda tersebut berlangsung. Mulai dari kegiatan yang diistilahkan dengan “Ruang Reka” kita dapat melihat bagaimana penyelenggara festival mendampingi para koreografer muda terpilih belajar untuk menyampaikan gagasan mereka terhadap penciptaan tari hingga mengasah visi artistik mereka dalam sebuah pertunjukan.
Para koreografer muda terpilih pun didampingi oleh beberapa orang mentor yang diistilahkan dengan “Teman Berproses”, di mana mereka intens melakukan diskusi dan menggali lebih dalam kehendak yang ingin dihadirkan para koreografer muda di atas panggung pertunjukan.
Teman Berproses dalam mentoring ini terdiri dari lima orang yang masing-masing mereka mempunyai kapasitas dan kemampuan berbeda dalam melihat tari. Mereka adalah Hanafi, Adinda Luthvianti, Taufiq Adam, Heru Joni Putra, dan Hartati—dari perupa hingga koreografer.
Selama Januari hingga Maret kelima Teman Berproses ini medampingi sepuluh koreografer terpilih dalam Festival MenTARI untuk menguatkan dan memberi pandangan terhadap ide-ide yang ingin dihadirkan dalam bentuk tari.
Proses mentoring yang lebih serupa laboratorium bersama ini diistilahkan dengan “Belakang Layar” yang kemudian juga menjadi tema besar dalam festival. Tema ini dianggap sebagai kunci bagaimana program dijalankan dan berkaitan dengan latar belakang penyelenggaraan festival.
Penyelenggara menganggap kerja-kerja belakang layar menjadi penting ketika hendak membangun ekosistem koreografer dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekaryaan.
Penyelenggara juga membangun kerja-kerja antar disiplin, pengalaman manajerial pertunjukan, proses membangun jaringan dan membangun jejaring ekosistem pentonton.
Dalam catatan penyelenggara, lima aspek (koreografi, gagasan karya, dramaturgi tari, musik tari, artistik) merupakan aspek-aspek yang diberikan pada koreografer muda sekaligus menghubungkannya dengan ide atau gagasan mereka hingga menjadi sebuah konsep karya tari.
Dengan artian, lima orang “teman berproses” merupakan seniman sekaligus mentor yang kapabilitas mereka sesuai dengan lima aspek tersebut dan mendampingi proses penciptaan selama tiga bulan. Sejauh ini, mentoring dilakukan secara daring dalam satu minggu dengan 5 materi.
Koreografer hadir dikelas mentoring dengan membawa ide/gagasan mereka membongkar dan mendiskusikan dengan mentor terkait. Dalam satu bulan pertama materi konsep karya sudah harus selesai, bulan kedua mentoring sudah dalam bentuk presentasi dengan pertemuan bersama mentor dua minggu sekali, karena koreografer telah bekerja dengan penari.
Pada bulan ke tiga pertemuan dua minggu sekali dengan bahasan lebih kepada hal-hal artistik pendukung atau menentukan keputusan terakhir yang berkaitan dengan artistik atau pemanggungan.
Tujuan metoda mentoring ini dianggap agar setiap koreografer dengan ide dan gagasannya betul-betul digiring ke proses penciptaannya masing-masing.
Sehingga fungsi mentor tidak hanya untuk membuka cakrawala mereka tapi juga membantu mengurai proses dan teman diskusi para koreografer. Dengan harapan, metoda ini langsung menjadi praktik berkarya yang intensif, efisien, dan sistimatis.
Dan akhirnya, 6-9 April ini kita akan melihat garapan dari 10 koreografer muda Sumatra Barat. Mereka adalah: Afrizal, David Putra Yudha, Muthia Ranti, Hendri, Ipraganis, Denny Maiyosta, Nurima Sari, Marya Danche, Safrini, Yesriva Nursyam.
Dengan harapan semoga proses pertunjukan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Sekoci melalui Festival MenTARI: menjaga iklim regenerasi koreografer tari Sumatra Barat.