“Pergerakan kerak bumi, bukan hanya karena sifatnya yang tidak terduga kedatangannya, tetapi juga karena kekuatannya yang besar, yang dapat menyebabkan kehancuran yang sangat besar. Saat terjadi gempa bumi, tanah berguncang, bergetar, atau bergelombang. Sering melangkah juga guncangan atau gundukan. Guncangan bumi tidak hanya merambat melalui daratan, tetapi juga melibatkan air, menciptakan gelombang kehancuran yang menghantam kehidupan manusia."
Penggalan tulisan seismolog di masa colonial, Simon Willem (S.W) Visser, pada buku berjudul Eknopt Leerboek der Natuurkundige Aardrijkskunde, terbitan 1930, menyebut Danau Singkarak jalur (tempat) sesar yang rentan; bukan tanah yang merekah atau pergeseran kerak bumi, tetapi juga ancaman gelombang besar.
Visser mensejajarkan kerentanan Danau Singkarak dengan Teluk Sagami di Jepang. Dua kawasan ini pernah sama-sama menjadi hiposenter gempa, yang kemudian melahirkan gelombang besar. Teluk Sagami pada bulan September 1923, sedangkan Danau Singkarak pada 28 Juni 1926.
Panel Surya akan Mengapung di Danau Singkarak?
Bulan Desember 2023, momentum penting bagi transisi energi di Indonesia tercipta melalui penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara PLN dan ACWA Power, perusahaan energi asal Arab Saudi. Proyek besar ini mencakup pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di Danau Singkarak, Sumatera Barat, dan Waduk Saguling, Jawa Barat.
PLTS Terapung Danau Singkarak berkapasitas 50 MWac/76 MWp bernilai Rp.900 miliar akan mengapung pada area 49 Ha di kawasan Danau Singkarak yang masuk di wilayah Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Adapun nagari-nagari yang menjadi landaan panel surya penghasil setrum itu adalah Padang Laweh Malalo, Sumpur, dan Batu Taba.
Keberadaan PLTS ini juga berdampak pada nagari-nagari lain di Kecamatan Batipuh dan X Koto. Nagari-nagari tersebut menjadi lintasan transmisi sebelum berlabuh di Gardu Induk Padang Panjang, sekira 18 kilometer dari area panel surya mengapung.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, optimistis bahwa proyek ini akan menjadi langkah maju dalam memanfaatkan potensi energi surya Indonesia. “Pengembangan PLTS terapung ini menjadi revolusi pengembangan energi baru terbarukan dalam negeri. Kami berharap proyek ini mampu memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan bisnis EBT di Indonesia,” ujar Darmawan, sebagaimana dikutip dari rilis resmi PLN.
CEO ACWA Power, Marco Arcelli, menyebut kerja sama ini sebagai perjalanan transformatif. “Kami memecahkan tantangan transisi energi ini bersama-sama. Membuat berbagai inovasi baru dan menciptakan kolaborasi yang baik untuk masa depan dunia,” tegas Marco.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara pengembangan infrastruktur dan keberlanjutan lingkungan. “Pembangunan PLTS ini harus menguntungkan masyarakat, tidak merusak lingkungan dan ekosistem Danau Singkarak, serta membuka lapangan pekerjaan,” ujar Andre.
Klaim keberhasilan pembangunan PLTS Terapung di Cirata, Jawa Barat tentu tak bisa dijadikan narasi pembangunan PLTS Terapung Danau Singkarak, mengingat danau tektonik ini memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda. Luasan permukaan danau yang akan digunakan memang relatif kecil, yaitu hanya 0,45 persen dari total luas danau 10.780, namun secara geologis, Danau Singkarak adalah sel patahan Sumatra pada segmen Sianok.
paling krusial tentu saja geomorfologi dan ekosistem Danau Singkarak.
Sel-sel sesar gempa yang menggerogoti perut Danau Singkarak adalah ancaman nyata. Setidaknya tercatat dua kali gempa besar yakni tahun 1926 dan 2007, mendatangkan tsunami.
Tsunami Danau Singkarak 1926
Sebagai salah satu danau terbesar di Sumatra Barat, Danau Singkarak menyimpan kerentanan yang signifikan terhadap gempa. Letaknya yang berdekatan dengan zona sesar aktif menjadikannya titik rawan bencana. Kerusakan yang mungkin terjadi tidak hanya melibatkan tanah yang merekah atau pergeseran kerak bumi, tetapi juga ancaman gelombang besar yang dapat melanda pemukiman di sekitarnya, mengulang tragedi masa lalu seperti tahun 1926 dan 2007.
Gempa bumi dahsyat pada 28 Juni 1926, yang memicu fenomena tsunami di danau tersebut. Air Danau Singkarak tiba-tiba meninggi, nyaris menyentuh pucuk pohon kelapa di kawasan seperti Tembok dan Kacang (wilayah Solok), serta Malalo dan Batu Tabal (Tanah Datar). Gelombang tinggi yang menyerupai tsunami ini terjadi akibat penurunan tanah di beberapa titik sekitar danau, sebagaimana diabadikan dalam foto oleh ilmuwan S.W. Visser. Perubahan drastis pada permukaan air ini membenamkan tumbuhan dan merusak dinding danau di sejumlah lokasi.
Menurut Visser, gelombang besar yang terjadi di Danau Singkarak disebabkan oleh dorongan lempeng tektonik. Energi gempa bumi tidak hanya merambat melalui daratan, tetapi juga melalui air, menciptakan gelombang besar seperti yang dirasakan di kapal-kapal laut atau danau. Visser menyamakan fenomena ini dengan tsunami yang terjadi setelah gempa Simeulue pada 1907 di pesisir Sumatra bagian utara atau tsunami Jepang yang melanda daratan setelah gempa besar.
Kerentanan Danau Singkarak terhadap gempa bumi terletak pada lokasinya yang berada di jalur patahan aktif. Hiposenter atau pusat gempa bumi yang terletak di bawah kerak bumi memicu episentrum di permukaan, di mana dampak guncangan terasa paling parah. Wilayah ini berada dalam jalur sesar Sumatra yang dikenal aktif secara tektonik.
Dampak gempa bumi dapat diukur dengan berbagai metode, salah satunya skala Rossi-Forel yang mencatat tingkat keparahan dari I (terdeteksi oleh alat) hingga X (bencana besar). Pada 1926, kawasan di sekitar Danau Singkarak diperkirakan mengalami tingkat kehancuran yang signifikan, terlihat dari kerusakan bangunan dan perubahan lanskap.
Danau Singkarak, dengan segala keindahannya, adalah pengingat bahwa keindahan alam harus selalu diimbangi dengan kewaspadaan terhadap risiko geologi yang melekat. Fenomena tsunami akibat gempa bumi di danau ini adalah bukti bahwa alam memiliki kekuatan untuk mengubah lanskap dalam sekejap mata.
Gempa bumi di Danau Singkarak tahun 1926 memberikan pelajaran penting tentang pentingnya memahami dinamika geologi dan kerentanannya terhadap bencana. Selain memengaruhi ekosistem, gempa juga memiliki dampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Dalam konteks rencana pembangunan PLTS Terapung, apakah sudah menimbang-nimbang kerentanan itu?
Penulis, Sekretaris Patahan Sumatra Institute