Dari Zonasi ke Domisili, Menjadi Solusi atau Komplikasi?

Dari Zonasi ke Domisili, Menjadi Solusi atau Komplikasi?

Ilustrasi - sekolah. (Gambar: pixabay.com)

Oleh : Rahmat Zacky

Sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mulanya digagas dengan tujuan mulia untuk pemerataan kualitas pendidikan, namun kebijakan ini menjadi sorotan dan menuai banyak kritik. Sejak pertama kali diterapkan pada 2017 melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 dan disempurnakan pada 2018, kebijakan ini bertujuan menghilangkan eksklusivitas sekolah favorit, mendekatkan lingkungan sekolah dengan keluarga siswa, serta membantu distribusi guru yang merata. (Kompas.com, 2024). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhadjir Effendy, bahkan berharap semua sekolah menjadi sekolah favorit dan tidak ada lagi sekolah dengan mutu rendah, namun kenyataan di lapangan seringkali berbeda dari harapan. (Tempo.co, 2023)

Penerapan sistem zonasi didasari oleh keinginan untuk mengatasi kesenjangan kualitas antara sekolah yang dianggap "favorit" dengan sekolah lain. Dengan sistem zonasi, diharapkan tidak ada lagi "kasta" sekolah dan diskriminasi layanan pendidikan. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini justru melahirkan berbagai permasalahan baru, laporan Ombudsman pada Juni 2024 mencatat setidaknya 12 masalah yang muncul, mulai dari kelalaian operator, pemalsuan surat keterangan domisili, hingga dugaan intervensi oknum komite dan pejabat, menurut Kompas.com, 2024. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan luhur zonasi belum sepenuhnya tercapai dan bahkan membuka celah bagi praktik-praktik yang merusak integritas PPDB.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengumumkan pergantian nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).   Perubahan ini diumumkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Peraturan Nomor 3 Tahun 2025, yang ditetapkan pada 26 Februari 2025. (Ombudsman.go.id, 2025). Perubahan ini dilakukan sebagai upaya Kemendikdasmen untuk menyempurnakan sistem penerimaan siswa. Menurut Staf Ahli Kemendikdasmen, Biyanto, sistem domisili dirancang untuk mengantisipasi manipulasi data yang sering terjadi selama sistem zonasi, seperti praktik menumpang Kartu Keluarga (KK) agar bisa diterima di sekolah favorit. Dengan sistem ini, penerimaan murid baru akan didasarkan pada kedekatan jarak dari tempat tinggal siswa, bukan lagi berdasarkan wilayah administratif yang kaku. (Detik.com, 2025)

​Meskipun perubahan dari sistem zonasi ke domisili bertujuan untuk mengatasi masalah seperti pemalsuan data, sistem ini masih menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Isu-isu mendasar seperti terbatasnya daya tampung sekolah dan kurangnya pemerataan kualitas pendidikan di setiap wilayah masih menjadi masalah utama yang memicu ketegangan sosial. Ini menunjukkan bahwa perbaikan sistem penerimaan saja tidak cukup untuk menjamin keadilan pendidikan secara menyeluruh.

Kisruh di Bukittinggi, Pagar Sekolah Digembok, Harapan Siswa Terhempas

Ketidakpuasan terhadap sistem zonasi pernah terjadi di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada tahun 2023, pagar SMAN 3 Bukittinggi disegel warga karena puluhan calon siswa yang berada di zonasi sekolah tersebut tidak diterima, seperti dilaporkan (Kompas.com, 2023) dan (Tribunnews.com, 2023). Sebanyak 54 calon siswa yang telah diverifikasi dinyatakan tidak tertampung karena keterbatasan daya tampung sekolah, menurut video dari video YouTube Liputan6. Akibatnya, aktivitas belajar mengajar di sekolah terganggu dan pihak sekolah terpaksa mengalihkan pembelajaran via daring. Pihak sekolah bahkan berencana mengubah gudang menjadi kelas tambahan untuk menampung lebih banyak siswa. ( Youtube Liputan6, 2023).

Situasi serupa terulang di SMAN 5 Bukittinggi, setelah sistem “zonasi” dirubah menjadi “domisili”, pada hari pertama sekolah di tahun 2025. Gerbang sekolah digembok warga sebagai bentuk protes karena puluhan anak-anak dari daerah setempat tidak diterima, sebagaimana diberitakan (Detik.com, 2025) dan (Kompas.com, 2025) Masyarakat yang mengatasnamakan Parik Paga Nagari Limojorong menuntut kejelasan dan kemudahan akses pendidikan, mengingat tanah tempat SMAN 5 berdiri adalah tanah ulayat dengan kesepakatan awal bahwa warga lokal akan diprioritaskan, berdasarkan laporan video YouTube Padang TV. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat dijadwalkan turun tangan untuk memediasi persoalan ini. (YouTube Padang TV, 2025).

Insiden di SMAN 3 dan SMAN 5 Bukittinggi ini menjadi gambaran nyata bagaimana sistem zonasi maupun sistem domisili, alih-alih memberikan pemerataan, justru menciptakan ketegangan sosial. Janji-janji pemerataan akses pendidikan dan penghapusan diskriminasi terasa jauh panggang dari api ketika anak-anak yang secara geografis dekat dengan sekolah justru gagal diterima. Meskipun sistem zonasi dan domisili memiliki niat baik, kini telah menjelma menjadi masalah yang lebih kompleks. Bukannya menghilangkan "sekolah favorit," justru memicu kecurangan seperti pemalsuan Kartu Keluarga dan praktik jual beli kursi, seperti yang pernah ditemukan di Karawang Barat menurut Tempo.co. Daya tampung sekolah negeri yang terbatas juga menjadi kendala serius, seperti yang disorot oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang menemukan bahwa daya tampung di jenjang SMP dan SMA/MA/SMK sangat minim dibandingkan jumlah calon peserta didik. (Tempo.co, 2023).

Lantas, perlukah sistem domisili ini diganti? Melihat berbagai persoalan yang timbul, saya berpendapat bahwa pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan berani mengambil langkah strategis. Mencabut sistem domisili secara total mungkin bukan jawaban instan, tetapi mempertahankannya tanpa perbaikan fundamental juga bukan solusi. Dikutip dari Sukabumi Update 2023, salah satu opsi yang patut dipertimbangkan adalah memperkuat jalur prestasi dan juga menerapkan sistem undangan seperti yang diusulkan oleh JPPI, di mana setiap anak usia sekolah langsung mendapatkan undangan untuk melanjutkan pendidikan, ketimbang "rebutan bangku" yang sangat kompetitif. Selain itu, pemerintah harus sungguh-sungguh memastikan pemerataan kualitas sekolah di setiap wilayah, baik dari segi sarana prasarana, tenaga pengajar, maupun kurikulum. Tanpa pemerataan kualitas yang nyata, istilah "sekolah favorit" tidak akan pernah hilang. (Sukabumi Update, 2023).

Sudah saatnya kita menyadari bahwa solusi pendidikan yang adil dan merata tidak cukup hanya dengan mengubah sistem penerimaan, tetapi harus dimulai dari akar masalahnya: memastikan setiap sekolah, di setiap daerah, memiliki kualitas yang sama baiknya. (*)

Rahmat Zacky, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Universitas Andalas

Tag:

Baca Juga

SPMB tahun ajaran 2025/2026 dimulai pada Senin (16/6/2025). Tahapan pertama dimulai dengan pra pendaftaran bagi calon siswa SMP
SPMB di Padang Dimulai 16 Juni, Diawali Pra Pendaftaran SMP Bagi Calon Siswa dari Luar Kota
Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) SD dan SMP Kota Padang tahun ajaran 2025/2026 dibuka mulai pada pertengahan Juni 2025. Proses pendaftaran
SMPB SD dan SMP di Padang Dibuka Juni, Ini Tahapan dan Jadwalnya
PPDB kini berganti menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti pun
PPDB Kini Berganti Jadi SPMB, Ada 4 Jalur Penerimaan Murid Baru
Sebanyak 361 daya tampung masih tersedia di 23 SMP negeri di Padang. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Padang kembali membuka
Masih Tersedia 361 Daya Tampung Lagi di 23 SMP Negeri di Padang, Ini Rincian Tiap Sekolah
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Padang masih membuka Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk SMP negeri.
Disdikbud Padang Buka PPDB untuk 2 SMP Filial, Tersedia 192 Daya Tampung
Sebanyak 361 daya tampung masih tersedia di 23 SMP negeri di Padang. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Padang kembali membuka
10 SMP Negeri di Padang dengan Peminat Terbanyak di PPDB Tahap II