Dari Dinasti Politik Sampai Monopoli Kekuasaan

Dari Dinasti Politik Sampai Monopoli Kekuasaan

Antoni Putra, Peneliti di Pusat Studi hukum dan kebijakan Indonesia

Pelaksanaan pilkada 2020 di tengah pandemi Virus Corona (COVID-19) tidak hentinya menjadi perdebatan, sekali pun hari perhelatan pesta demokrasi pemilihan pemimpin di daerah itu telah berlalu. Banyak cerita yang perlu di ulas. Diantaranya persoalan dinasti politik yang memunculkan monopoli kekuasaan di daerah.

Dalam hal dinasti politik, terdapat 158 kandidat di 270 daerah yang melakukan Pilkada teridentifikasi jadi bagian politik dinasti. Jumlah ini jauh meningkat bila dibandingkan Pilkada 2015 yang hanya ada 52 kandidat yang terindikasi politik dinasti di 269 daerah penyelenggara pilkada.

Beberapa elite politik bahkan berhasil membentuk simpul dinasti politik baru melalui kemenangan kerabat mereka dalam pilkada. Dinasti politik yang dibangun Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya, anak dan menantunya, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution berada di urutan pertama perolehan suara pilkada di Solo dan Medan.

Dinasti Ratu Atut Choisiyah juga kembali berjaya dan membertahankan dominasi politik melalui keunggulan Ratu Tatu Chasanah di Kabupaten Serang, Tanto Warsono Arban di Kabupaten Pandeglang, dan Pilar Saga Ichsan di Tangerang Selatan. Khusus untuk Pilar Saga Ichsan di Pilkada Tanggerang Selatan, ia berhasil mengungguli perolehan suara yang juga merupakan calon terindikasi dinasti politik, yakni Rahayu Saraswati yang merupakan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Siti Nur Azizah yang merupakan anak Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Secara hukum, memang tidak ada larangan terhadap politik dinasti. Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan menghapus pasal antipolitik dinasti pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan syarat calon kepala daerah tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.

Itu terjadi karena MK melalui putusan Nomor 33/ PUU-XIII/2015 menyatakan inkonstitusional Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Pasal 7 huruf r itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28i ayat 2 UUD 1945. Ketentuan pasal 7 huruf r itu dinilai deskriminatif karena terhadap mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahan.

Tapi dari segi demokrasi, politik dinasti merupakan ancaman karena membelokkan angan-angan demokrasi. Demokrasi membutuhkan adanya kesempatan yang terbuka dan adil bagi seluruh warga negara tanpa memandang latar belakang keluarga untuk dapat ikut ambil bagian di Pemilu. Selain itu, dinasti politik juga berpotensi menciptakan oligarki, nepotitisme, dan rentan melahirkan perkara korupsi.

Monopoli Kekuasaan

Dinasti politik di pilkada 2020 juga berpotensi menyebabkan terjadinya monopoli kekuasaan oleh ayah dan anak. Hal ini terjadi di Kabupaten Solok Selatan karena perolehan suara Khairunnas-Yulian Efi berada di urutan pertama pilkada. Sebelumnya, Zigo Rolanda yang merupakan anak Khairunnas terpilih menjadi Ketua DPRD Solok Selatan di Pemilu 2019.

Tentu persoalan ini merupakan alarm bahaya yang menuntut kita semua (masyarakat) untuk waspada. Rasa curiga terhadap pemerintah perlu ditingkatkan. Sebab walaupun kekuasaan telah didistribusikan pada tiga entitas yang berbeda, kekuasaan tetap tidak lepas dari kecenderungan yang korup. Apa lagi bila kekuasaan eksekutif dan legislatif berada ditangan orang-orang yang berasal dari keluarga yang sama.

Dari sudut pandang hukum, memang tidak ada larangan kepala daerah dan pimpinan DPRD memiliki pertalian darah. Tapi monopoli kekuasaan ini berpotensi menyebabkan rusaknya kualitas pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi tidak berjalan dengan baik serta rawan terjadinya korupsi.
Jauh-jauh hari, Lord Acton (1834-1902 M) mengatakan bahwa “Power Tend To Corrupt”. Pernyataan ini mengindikasikan adanya kecenderungan pemegang kekuasaan eksekutif memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Tidak jauh berbeda dengan Lord Acton, Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (2013) juga mengatakan bahwa tidak ada larangan untuk melakukukan monopoli kekuasaan, namun kekuasaan di satu orang atau satu keluarga memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan.

Sebab di era desentralisasi dan otonomi daerah, kekuasaan daerah lebih besar. Pejabat pemerintahan di daerah harus berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan yang patut sebab bisa melebihi kepatutan dan godaan akan datang.

Bila kekuasaan kekuasaan eksekutif dan legislatif di desain agar terciptanya sistem checks and balances berada di tangan yang sama, maka prinsip ini tidak akan berjalan. Dan itulah yang akan terjadi di Kabupaten Solok Selatan. Sistem checks and balances akan berada pada posisi terlemah atau bahkan tidak akan berjalan sama sekali.

Oleh: Antoni Putra
Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Baca Juga

Ketua KPU Kota Padang, Riki Eka Putra mengatakan, bahwa pihaknya sudah membuka pendaftaran pemantau pemilihan Pilwako
KPU Buka Pendaftaran Pemantau Pilwako Padang 2024, Ini Syaratnya
Gosip Online
Gosip Online
Langgam.id - Guspardi menyebut pihak yang menuduh UU Provinsi Sumbar bisa menjadi dasar penerapan perda syariah adalah Islamofobia.
Guspardi Gaus Apresiasi Mendagri yang Tolak Gubernur Jakarta Dipilih Presiden
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Medsos, Reuni dan Perceraian
Medsos, Reuni dan Perceraian