Dari hal itu, bisa terlihat para seniman di atas serta masyarakat kita tempo dulu di Minang, sudah sangat terbuka terhadap pembauran seni musik. Mereka lebih mengerti akan perlunya perbedaan dan kreativitas. Agar tidak terjadi stagnasi berkesenian, sebagai manifestasi dari "Basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko iduik".
Kemudian, mengutip kembali buku Agus, Pada tahun 1960-1963, lagu-lagu Minang makin membanggakan Sumatra Barat. Ketika orkes Kumbang Cari, tampil lain dengan kekhasan lagu dan pukauan vokal Nuskan Syarif dan Elly Kasim. Album perdananya dirilis tahun 1961, yang mengusung duet Nuskan Syarif dan Elly Kasim, meledak di tanah air melalui lagu Kumbang Cari dan Lamang Tapai.
Dalam periode yang hampir bersamaan dengan kemunculan Kumbang Cari, lanjutnya dalam buku, Oslan Hosen dengan Taruna Ria juga saling berpacu mencari tempat di hati orang Minang, di samping menjaring fans fanatik orkes Gumarang. Ketiga orkes Minang ini sama-sama berhasil menjaring penggemar.
Ketika orkes Taruna Ria bubar setelah itu, Oslan Hosen mendirikan orkes Osria, dan salah seorang pentolan grup Taruna Ria, Zaenal Arifin, akhirnya membentuk Zaenal Combo. "Kehadiran Zaenal Combo betul-betul membuat lagu lagu Minang semakin digemari oleh penikmat musik tanah air," tutur pencipta Kasiak 7 Muaro itu.
Meskipun demikian, ada perbedaan prinsip antara ekuatan orkes Gumarang dengan Kumbang Cari dan Taruna Ria ataupun Zaenal Combo. Orkes Kumbang Cari dan Taruna Ria tulis pria yang gemar membaca komik silat karya Kho Ping Ho ini, agak menganak emaskan lagu yang lebih ber-iro Minang dalam karya musiknya. Sehingga kehadiran Kumbang Cari dan Taruna Ria relatif lebih lokal spesifik. Berbeda dengan Gumarang yang suka memadukan lagu minang dengan musik ber-beat latin.
Padahal, tuturnya, bagi orang Minang, sulit mencari tandingan Nuskan Syarif sebagai pencipta lagu bernafaskan Minang. Hal ini pun diakui oleh Bapak lagu Minang modern, Asbon Madjid, papar Agus. Akan tetapi, orang non Minang lebih mudah menerima suguhan Gumarang dibandingkan Kumbang Cari, karena musik dan lagu Gumarang lebih universal. "Ilau-ilau khas Minang akan sulit ditemukan dalam lagu-lagu Gumarang, karena memang Asbon cs memformat musiknya bukan hanya untuk orang Minang," katanya menjelaskan. "Malah Asbon bilang: "Lagu Gumarang bukan untuk orang Padang, Pasisia, Pariaman, Darek, atau sub etnik Minang lainnya. Musik Gumarang dirancang untuk orang Sumatera Barat".
Selanjutnya, ketidakhadiran Kumbang Cari akibat penugasan Nuskan Syarif ke Irian Barat sebagai guru, selama tahun 1963-1967, posisinya makin digantikan oleh Zaenal Combo dengan suguhan musik yang lebih komersial.
"Dalam periode 1960-1970-an muncul beberapa penyanyi hebat seperti Yan Bastian, Tiar Ramon, dan Lily Syarif, akan tetapi semuanya masih berada di bawah bayang-bayang sang bintang, Elly Kasim," tutur Agus kepada Langgam.id
Pada periode itu, di jajaran pencipta lagu, Nuskan Syarif, Masrul Mamudja, dan Tarun Yusuf terbilang sebagai pencipta amat produktif, sekaligus melahirkan banyak karya-karya monumental. Selain itu lanjut Agus menerangkan, ada Yusaf Rahman dan Ibenzani Usman yang juga hadir dengan lagu-lagu kuat.
Secara khusus, dari periode 1955-1974, ada dua hal yang patut dicatat. Yaitu 1) bisnis musik pop Minang berpusat di Jakarta, dan 2) hampir tidak satu pun alat musik tradisional digunakan dalam setiap album yang dilepas ke pasaran. Menurut keterangan Agusli Taher, alat musik tradisional untuk pertama kali diintrodusir oleh Zaenal Combo ketika merekam album Elly Kasim di Singapura pada tahun 1975, ketika lagu Tambilang Tanti Batanti masuk dapur rekaman. Alat musik tersebut adalah saluang.
Keuntungan Zaman
Salah satu kritik yang sering muncul di masyarakat adalah karya musik pasca Gumarang dan Kumbang Cari cepat menghilang, tak lama setelah dipasarkan. Sementara lagu-lagu besutan orkes Gumarang dan Kumbang Cari tetap langeng sepanjang masa. Opini inipun menghendaki analisis dan pendalaman yang lebih komprehensif.