Minangkabau sesungguhnya, kaya dengan ragam musik tradisi. Mulai dari daerah yang jamah dengan sawah di "darek", menyusur ombak berhasut-sahut di tepian pantai. Sebut saja, seperti dendang Darek, dendang Pauah, indang Pariaman, Salawat dulang, sirompak, hingga musik palayaran dan rabab Pasisia.
Namun, meski kaya dengan ragam musik tradisi dari berbagai wilayah, orang Minang punya "universalitas". Walaupun beda dalam struktur antropomorfis dan ciri geografis, orang Minang punya satu kesatuan nafas yang menceritakan suka dan duka, semangat dan pentingnya hidup. Hal itu kata Mahdi, menjadi penanda dimulainya era musik modern Minang.
Agusli Taher mengatakan, era musik modern Minang bermula dari kelahiran karya Asbon Madjid, yang dijuluki "Bapak Musik Minang Modern" melalui orkes Gumarang. Mulai dari puncak popularitas Gumarang dari 1956 - 1964, sampai pada era komposer musik Minang yang masih kreatif sampai saat ini.
Mengutip R. Anderson Sutton, seorang peneliti musikologi Amerika Serikat, Mahdi Bakar menyebut, era kebangkitan musik Minang modern punya gejala yang mirip dengan kehadiran musik Dangdut di Indonesia. Rhoma Irama seperti dijelaskan R. Anderson Sutton melahirkan genre musik dangdut, mendapat pengaruh kuat dari suara (sounds) musik rock barat (western rock) dan genre "orkes Melayu", yaitu musik berasal dari daerah perkotaan Sumatera Utara dan Sumatera Barat "orkes gamad".
Demikian pula hal serupa terjadi pada Asbon Madjid yang melahirkan genre musik "pop Minang" melalui Orkes Gumarang, mendapat mengaruh dari genre musik Hawaian seiring dengan pengaruh musik-musik Amerika Latin yang diakrabinya.
Hal serupa, tulis Mahdi, juga dialami Rhoma Irama yang mengakrabi musik rock Barat sebelum mengenal baik musik Orkes Melayu Sumatera Utara dan Orkes Gamad dari Sumatera Barat.
Tumbuh dan berkembangnya musik, tidak terlepas dari berbagai kemungkinan pengaruh. Pengaruh itu melahirkan sesuatu yang baru, baik beraspek humanistik, maupun beraspek estetika yang dikonstruksikan dalam bentuk musik sebagai wujud artistikanya.
Agus Taher dalam wawancara dengan Langgam.id di kediamannya pada akhir 2022 lalu mengatakan, perubahan utama yang terjadi lewat revolusi Asbon Madjid dan orkes Gumarang utamanya terletak pada kekuatan beat dan warna musik dibandingkan kekuatan lagu.
Ia melanjutkan, ini berkaitan dengan obsesi Asbon: "Lagu Minang harus mendunia". "Secara arif dan brilian personil Gumarang memang pas menentukan pilihan bahwa beat dan hentakan musik akan lebih komunikatif hadir di antara beragam etnik, bahkan mampu merambah keluar Indonesia," kata Agus.
Menurutnya, itu juga yang terjadi dengan musik India, blues, country, rock 'n roll, cha-cha, samba dan lain-lain. Kekuatan beat dan musik memang lebih mampu mendunia dibandingkan kekuatan lagu.