Langgam.id - "Jarang sekali, musik itu hanya bunyi semata. Acap kali, ia merupakan pengakuan manusia, sejarah kemanusiaan."
Demikian dikatakan Musikolog Belgia Jules van Ackere, sebagaimana dikutip Prof. Mahdi Bakar dalam pengantar Buku "Perjalanan Panjang Musik Minang Modern" yang ditulis Agusli Taher.
Pakar musik kelahiran tahun 1914 itu menyebut, musik sering kali menceritakan suka dan duka manusia, semangatnya dan kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, bagaimanapun wujudnya bunyi, penggambaran, perasaan, prinsipnya yang tertinggi adalah: keindahan.
"Musik bukanlah benda mati melainkan organisme yang hidup. Sebuah tema tidak hanya mempunyai sebuah struktur, tapi mengandung pula isi dan nilai perasaan. Musik adalah dokumen psikologis," kata Ackere.
Mahdi Bakar, Guru Besar Pengkajian Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa di Institut Seni (ISI) Padang Panjang, memahami pernyataan Ackere ini sebagai gambaran terhadap apa yang hidup dari sebuah musik.
"Walau apa yang kita dengar dan nikmati sehari-hari itu tak memiliki wujud fisik untuk dipandangi, namun kita bisa merasakan dalamnya nilai keindahan yang berhasut-sahut lewat nada dan irama," tulisnya.
Itu semua tersusun dalam bentuk rangkaian nada, berbingkai harmoni, bergelombang dinamika, berpautan tempo, bersentakan irama, mengusung arti (meaning) dan makna (meaning of meaning), bersayatkan sastra, yang kita sebut musik dalam wujudnya sebagai "keindahan".
"Musik sebagai sesuatu entitas merupakan ekspresi kehidupan manusia, baik berlokus personal maupun berlokus sosial," tulis Mahdi.
Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri, bahwa entitas musik adalah bahagian dari nilai-nilai kehidupan manusia, baik sebagai pelaku, maupun sebagai penikmat.
Ada kisah dan perjalanan yang ditempuh suatu entitas musik, kala ia menjadi digandrungi dan digemari masyarakat. Saat membahas budaya Minangkabau, misalnya, tak terelak, ada cerita kesenian dan musik di sana.