Langgam.id - Sabtu (7/8/2021) ini, Kota Padang memperingati ulang tahun ke 352. Ada sepenggal cerita di balik penanggalan yang ditarik menjadi hari lahirnya ibukota provinsi Sumatra Barat ini.
Masa pandemi yang tak kunjung reda, turut mengubah ritual perayaan Kota Padang. Tak tampak lagi api suluh bergelora, arakan dalam pawai telong-telong. Ini biasanya menjadi adat dalam tiap perayaan hari jadi Kota Padang. Cukup meriah.
Wali Kota Padang Hendri Septa menyebutkan, peringataan hari jadi Kota Padang tahun ini menjadi penggerak untuk terus melawan pandemi covid-19.
Ia pun mengajak seluruh warga bersatu menjadikan Kota Padang yang tangguh, kuat di segala kondisi, termasuk saling mengingatkan dan menjaga akan bahaya covid-19.
“Tetap bersemangat untuk melawan pandemi covid-19. Kita juga tidak boleh berpangku tangan dan tetaplah berprestasi,” kata Hendri Septa.
Sementara itu, rapat paripurna peringatan Hari Jadi Kota Padang ke-352 tahun juga akan digelar di Gedung DPRD Kota Padang secara luring dan daring.
Hendri Septa menyebut, rapat paripurna secara luring hanya akan diikuti pimpinan DPRD bersama anggota, gubernur, wali kota, forkopimda dan para penerima penghargaan.
Baca Juga: Hari Jadi Kota Padang ke-352, Hendri Septa: Mari Tetap Semangat Lawan Pandemi
Sementara kepala OPD, camat dan lurah dan jajaran serta stakeholder terkait lainnya akan mengikuti secara daring di kantornya masing-masing.
Lalu, bagaimana muasal ditetapkannya 7 Agustus sebagai hari kelahiran Kota Padang?
Pada Januari 1986, Wali Kota Padang Syahrul Ujud, terpikir untuk hari jadi Kota Padang. Lalu, dibentuklah tim perumus Hari Jadi Kota Padang. Sejarawan LIPI Taufik Abdullah ditunjuk jadi ketua perumus.
Penjemputan hari lahir Kota Padang berakarkan sejarah yang menjalar dan momen yang monumental. Untuk itu, Taufik pun meminta sumbang saran sejumlah sejarawan atau mereka punya koleksi arsip tentang sejarah Padang.
Sebagaimana diketahui, Padang adalah entripot terpenting di pantai barat Sumatra sejak dulu kala. Kota yang berbiak dari pinggir muara Batang Arau ini, sudah berkenalan dengan bangsa lain. Mulanya hubungan niaga, dan kemudian berlanjut wilayah terjajah. Dari bangsa Aceh hingga bangsa Eropa.
Salah seorang yang memiliki peran penting dalam penetapan hari lahir Kota Padang adalah Rusli Amran. Diplomat yang lahir di Padang tahun 1922 ini, dikenal memiliki akses sumber sejarah yang melimpah dan fasih dengan sejarah Padang.
Lama bekerja di Biro Luar Negeri, terutama belahan Eropa, Rusli banyak menumpulkan arsip Padang dan juga Sumatra Barat dari timbunan arsip di Belanda.
Rusli kemudian menyarankan, penetapan hari lahir Padang haruslah beririsan dengan peristiwa heroik. Artinya, rakyat menentang penjajahan.
Maka itu, pada 17 Januari 1986, Rusli membeberkan sejumlah peristiwa heroik, antara lain, 13 Februari 1667, diadakannya pembicaraan antara utusan Yang Dipatuan (Raja Minangkabau berkedudukan di Pagaruyung), dengan wakil Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Kemudian pada 18 September, merujuk pada Urang Kayo Kaciak diangkat sebagai Panglima oleh VOC dan diakui Yang Dipatuan.
Dua saran ini kemudian tersisih, setelah Rusli mengemukan sejarah yang benar-benar paling heroik, ketika rakyat dari Kuranji-Pauh, Koto Tangah, menyerang loji Belanda di pinggiran sungai Batang Arau. Peristiwa ini bertitimangsa 7 Agustus 1669. Persis 352 tahun lalu.
Rusli menyampaikan arugementasi soal hari itu dalam jalinan korespondensi dengan Taufik Abdullah.
Surat yang dikirim pada 26 Januari 1986 tersebut, Rusli menjelaskan, Orang-rang Pauh, Kuranji, dan Koto Tangah terus mengusik, bahkan menganggu stabilitas VOC di kawasan Muaro Batang Arau, yang menjadi bandar dagang.
Dua loji VOC yang menjadi simbol kekuasaan Belanda diserang dan dibakar hingga hanya bersisa nama dan cerita.
Menurut Rusli dalam buku Padang Riwayatmu Dulu, serangan itu merugikan pihak Belanda sebesar 28.000 gulden.
“Seorang yang disebut bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak penyerangan,” tulisnya.
Menurutnya, penyerangan loji memperlihatkan kehendak rakyat tidak mau kebebasan dagangnya diganggu seperti zaman Aceh sebelumnya.
Dikatakannya, tahun serangan yakni 1669, jatuh di kala VOC mengakui resmi bahwa kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda sepanjang pantai Minangkabau dipegang oleh Yang Dipatuan di Pagaruyung.
Sedangkan wakil VOC di Padang bertindak hanya sebagai pucuk pemerintahan saja.
Untuk memperkuat usulan 7 Agustus 1669 ini, Rusli merujuk pada sumber seperti De Oost-Indische Compagnie op Sumatra in de 17e eeuw, karangan N. Mac Leod.
Freek Colimbijn dalam buku Paco-Paco (Kota) Padang, juga menguatkan, tanggal 7 Agustus 1669, sebagai hari kelahiran Kota Padang, bertepatan dengan peristiwa serangan orang Pauh dan Koto Tangah ke Bandar dagang VOC di Muaro Batang Arau.
Meski urusan niaga Belanda di Padang mendapat restu penuh dari Raja Minangkabau, namun berkali-kali orang-orang dari Koto Tangah dan Pauh, kadang dengan bantuan Aceh, menyerang pos perdagangan Belanda di kawasan pelabuhan Batang Arau. Puncaknya berakhir dengan keberhasilan di tanggal 7 Agustus, 352 tahun silam.
“Terlepas dari kekuasaan Raja Minangkabau dan pedagang perantara yang berasal dari pesisir, secara de facto Padang tetap berada ditangan penjajah asing hingga kemerdekaan,” tulis Freek.