Ini Mei, bulan penuh nostalgik dan heroik bagi mahasiswa '98. Entah ikut demonstrasi entah tidak, yang jelas patutlah mengenang kembali masa-masa 22 tahun silam. Demonstrasi di berbagai kota itu akhirnya memaksa Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun harus turun tahta.
Rasanya baru kemarin, rusuh tak menentu negeri ini, munculnya pahlawan kesiangan, hingga orang-orang mengaku reformis. Sementara itu, mahasiswa yang saban hari turun ke jalan, menyemut, harus kembali kuliah, tamat dan jadi sarjana, selanjutnya mencari kerja.
Runtuhnya rezim Orde Baru, dimulainya era reformasi. Entah apa pula yang direformasi, yang jelas satu dua tuntutan ketika demonstrasi memang terkabulkan. Kebebasan pers, kebebasan berekspresi, turunkan Soeharto, mencabut dwifungsi Abri. Sedangkan penegakan hukum, melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPU dan beberapa badan baru, sedangkan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), masih juga terjadi.
Soeharto turun tahta, 21 Mei 1998. Gegap gempita disambut di seluruh negeri. Reformasi seperti membawa harapan baru yang bagi Emha di dalam buku "Saat-Saat Terakhir Bersama Soeharto, 2,5 Jam di Istana" (Bentang, 1998), seperti dua orang melihat titik hitam yang satu berpendapat, itu burung dan yang satu lagi kerbau. Keduanya ribut, hingga sampai kelihatan dari dekat. Setelah dekat, yang berpendapat burung tak kuasa membenarkan fakta seekor burung, sedangkan yang berpendapat titik itu adalah kerbau tetap nyinyir, walaupun dari titik hitam itu ada yang terbang. Begitulah reformasi, seperti sesuatu yang memberi harapan perubahan besar untuk hidup lebih baik di negeri ini. Tetapi kehidupan berbangsa-bernegara tak banyak berubah.
"Common enemy" bernama Soeharto memang jatuh dari kursi kekuasaan tetapi harapan itu seperti titik hitam di kejauhan, yang belum ada kepastian wujudnya. Begitu banyak harapan diberikan oleh orang-orang berkepentingan melanggengkan kekuasaan tetapi senyatanya hingga hari ini, kemiskinan, ketidakadilan, ketidaksejahteraan, ketidakmakmuran, masih ada di sekitar kita.
BJ. Habibie (1936-2019) dalam "Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (THC, 2006) mengungkapkan beberapa harapan menurut jalan pikirannya yang cerdas sayangnya tak banyak bisa dilakukan di tengah masa transisi. Bayang-bayang sebagai wakil presiden yang menggantikan Soeharto membuat tak bisa berkutik untuk maju, laporannya tak diterima legislatif.
Momentum Reformasi
Kini kita hidup di alam kebebasan buah dari perjuangan reformasi. Semua orang bisa berpendapat, berekspresi tanpa ketakutan yang berlebihan seperti masa Orde baru. Semua punya kesempatan untuk mengaktualisasi diri dalam berbagai bidang, termasuk kesempatan meraih kekuasaan.
Kini hari-hari kita harus di rumah karena ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kini kita dalam suasana menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan 1441 H. Inilah momentum untuk reformasi diri.
Ibadah puasa di bulan Ramadan, ibadah yang diwajibkan kepada orang-orang beriman (QS. 2: 183-187). Bulan terbaik dari seribu bulan. Tempat menempa diri untuk lebih jujur, sabar dan ikhlas, dalam menjalani kehidupan ini. Berbeda dengan tahun lalu, kini kita dihadapkan pula Pandemi Covid-19, penempaan diri agar menjadi pribadi yang tangguh, bersih, lebih berat lagi.
Semua penempaan itu tambah berat lagi dengan godaan untuk memberi komentar dengan sengkarut disinformasi, silangsengkarut prasangka, rumor, isu, penilaian sesat, persepsi serabutan, kepada pemerintah yang kedodoran sedang menyelamatkan tatanan karena Pandemi Covid-19. Hoax dan fakenews bersileweran silih berganti.
Media sosial kita masih bergemuruh dengan kekecewaan, kemarahan, caci-maki, yang begitu jauh dari sifat-sifat baik yang hendak dicapai dalam bulan suci ini. Masih begitu banyak yang melontarkan pendapat dan menilai tidak bersetia pada objektivitas keadaan sesungguhnya, melainkan dengan dasar kepentingan dan malahan dengan ketergesa-gesaan.
Begitulah gemuruh di media sosial kita hari ini, termasuk di dalam ruang percakapan, yang selalu ada orang dengan angkuh, sombong, merasa lebih tahu terhadap suatu hal. Tidak ada kesabaran sedikitpun untuk mendengar dan belajar sebelum mengomentari. Nauzubillah.
Di balik semua itu, masih ada harapan. Ada orang-orang yang terpanggil untuk berbuat baik. Menjalani perintah Rasulullah, "khairunnâsi anfa’uhum lin-nâs.” Sebaik-baik manusia itu yang bermanfaat bagi orang lain. Bantuan demi bantuan mengucur kepada kaum papa yang membutuhkan. Saling berbagi di bulan suci, seperti tahun-tahun sebelumnya. Ramadan kali ini tentu sangat penting berbagi kepada mereka terdampak lebih parah atas Pandemi Covid-19. Semoga kebaikan tersebut menjadi amal ibadah yang diganjarkan segera oleh Allah Swt.
Terakhir, sembari mengenang tentang sejarah runtuhnya sebuah kekuasaan, pelajaran penting pada hari-hari ke depan adalah, mengubah diri menjadi lebih baik dari hari ini. Membaca masa lampau sebagai modal untuk mengubah diri (QS.59:18). Ada bahasa gaulnya yang beberapa waktu lalu sangat sering diungkapkan, hijrah! Pindah dari keadaan yang baik ke keadaan yang lebih baik. Itulah orang-orang yang beruntung, tidak sama dari tahun ke tahun. Harus ada perubahan dengan untuk melakukan reformasi diri, melakukan format ulang perspektif, melalui penempaan kesabaran, kejujuran dan keikhlasan. Semua itu adalah formulasi bathiniyah. Nyatanya, reformasi ke dalam diri lebih baik dari pada menyorak perubahan tetapi diri sendiri tidak mau berubah. Selamat menunaikan ibadah puasa, selamat reformasi diri.[]
Dr. Abdullah Khusairi, MA, dosen di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang