Syahdan, di sebuah daerah di Turki ada seorang petani muda yang bernama Husein. Ketika menikah dengan seorang perempuan di desanya, dua pengembara cendekiawan dan intelektual datang di pesta pernikahannya. Dua pengembara itu diberi kehormatan duduk satu meja dengan pasangan pengantin.
Mereka berdua mulai berdiskusi tentang tafsir Alquran, teologi, sejarah, serta banyak mengutip kata-kata para ulama dengan pelbagai kitab karangan mereka. Husein takjub dengan dua orang pengembara dan berhasrat ingin belajar serta menjadi cendekiawan.
Husein menghabiskan malam pertama dengan istrinya dan keesokan paginya ia mengutarakan keinginannya untuk belajar ke Istanbul. Ia meminta istrinya mengurus lahan pertanian sampai kembali pulang. Sejak saat itu dia digelari Husein si gila karena meninggalkan istrinya yang cantik dan masih muda hanya karena ingin menuntut ilmu.
Husein belajar di Istanbul selama dua puluh tahun dan merasa ilmunya sudah cukup mumpuni di segala bidang agama. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang kampung dan kembali tinggal bersama istrinya. Setelah perjalanan panjang, dia beristirahat di sebuah kampung yang berjarak satu hari perjalanan dari kampungnya.
Di kampung tersebut dia menginap di rumah salah seorang petani. Sehabis makan malam, petani itu bertanya kepada Husein tentang pembelajarannya. Dia bercerita dengan bangga karena belajar selama 20 tahun dari cendekiawan-cendekiawan terkemuka di Istanbul.
Petani tersebut bertanya, “Jikalau begitu, coba engkau jelaskan kepadaku apa awal dari kebijaksanaan?” Husein menjawab, “Para alim mengatakan awal kebijaksanaan adalah percaya kepada Tuhan.” Petani itu membantah, "Bukan. Bukan itu jawaban yang benar.” Husein mendalilkan jawabannya dengan pelbagai pendapat dan pemikiran para cendekiawan tersohor namun petani itu selalu menolak jawabannya.
Husein bertanya, “bagaimana kau tahu jawabannya tidak benar?” Petani menjawab,“Aku bisa mengajari mu tetapi butuh waktu 1 tahun.” Husein yakin dan setuju untuk belajar dengan petani tersebut. Keesokan harinya petani tersebut mengajak Husein bekerja di ladang dan dia melakoninya selama satu tahun sebagai rutinitas harian.
Setelah lewat masa 1 tahun dan tiba masanya untuk kembali ke kampungnya, Husein bertanya kepada petani tersebut, “Apakah sesungguhnya awal dari kebijaksanaan?” Petani itu menjawab, “Awal kebijaksanaan adalah kesabaran.” Husein marah dan merasa dipermainkan dengan jawaban sederhana yang seharusnya dengan mudah diutarakan. Petani itu menjawab lirih, “Engkau ternyata belum paham walau sudah belajar sedemikian lamanya. Tetapi engkau sudah masuk ke awal pemahaman.” Dengan rasa kecewa dan marah Husein beranjak pulang.
Tatkala Husein sudah dekat dengan rumahnya, dia melihat kembali istrinya. Namun istrinya sedang duduk dan membelai kepala seorang laki-laki muda yang berwajah tampan. Hatinya panas, emosinya memuncak, dan kecemburuan menguasainya. Dia mengambil sebilah belati dan ingin menghunjamkannya. Namun dia teringat masa 1 tahun belajar kesabaran. Belati itu kembali disimpannya dan dia pergi ke masjid untuk salat isya.
Di masjid tidak ada satupun yang mengenalinya. Sewaktu salat isya akan dimulai, dia melihat pemuda yang dibelai istrinya tadi menjadi imam. Setelah salat, Husein bertanya kepada salah satu jemaah, “Siapakah imam tadi?” Orang itu menjawab, “Itulah Jamal, anak Husein si gila.” Orang itu bercerita, “Jamal lahir sembilan bulan setelah kepergian ayahnya dan ibunya memberikan pendidikan terbaik sehingga dia mampu menjadi imam dan menjadi orang alim di kampung tersebut.”
Usai salat isya, dia kembali ke desa petani yang mengajarinya. Sembari berlutut dan membungkuk ke arah petani dia berseru, “terimakasih guruku. Kau sudah selamatkan hidupku dan keluargaku.” Akhirnya dia kembali bersama istri dan anaknya.
Cerita mengenai Husein si gila merupakan cerita popular di kalangan ahli sufi. Cerita itu saya nukil dari buku ‘Sufi Talks: Teaching of an American Sufi Sheikh,’ karangan Robert Frager. Menurut Frager, seorang mursyid seringkali mengajari para salik dengan menuturkan cerita hikmah. Pesan dari cerita lebih membekas daripada menuturkan teori jelimet dan ruwet. Toh, hikmah hidup kadang berawal dari cerita-cerita tanpa aksara. Lihatlah begitu banyaknya Alquran memberi pembelajaran dengan cerita dan peristiwa.
Ramadan mengajarkan tentang praktik kesabaran. Mengambil hikmah dari cerita Husein, kesabaran tidak butuh teori. Kesabaran butuh praktik dan amalan berkelanjutan. Tidak mudah, berliku, penuh onak dan duri, namun berbuah manis dalam kehidupan. Orang yang sabar adalah orang yang bisa mengendalikan diri.
Dihitung dengan kitab mu’jam mufahras lil alfaazhil quranil karim, kata “sabar” dengan pelbagai derivasinya terulang sebanyak 103 kali di dalam Alquran dan merupakan asma Allah yang sering kali disebut. Setidaknya itu bisa dijadikan argumentasi teologis betapa pentingnya sikap sabar.
Ramadan dengan ibadah puasanya datang dengan tuntutan-tuntutan kesabaran. Datang memberi kesan agar orang tidak terjerumus pada penghambaan yang tertukar.
Penghambaan yang sejatinya hanya kepada Allah acapkali tertukar dengan penghambaan terhadap hawa nafsu dan kepongahan duniawi. Manusia terkadang abai dengan yang Maha Pencipta dan beralih pada yang dicipta. Kadang dikuasai oleh diri sendiri dan tak mampu menguasai diri. Allah menciptakan akal, namun ada yang mempertuhankan akal, sehingga menghijab mata batinnya untuk terfokus pada pencipta akal.
Semua orang berpotensi menjadi Husein yang gampang obsesif dengan kilau kecendekiawanan. Bergelut dengan teori serba canggih, terbaru, dan keilmuan yang rumit berkelindan. Lupa dengan pelajaran berharga yang tak pernah diajarkan secara formal yaitu, bersabar. Sangat klise, bukan? Iya, tetapi terlalu banyak contoh yang mempertunjukkan orang-orang tersohor musnah terkapar karena abai dengan kesabaran.
Ramadan kali ini datang dengan cara yang tidak biasa. Dunia sedang diterpa oleh awan pandemi covid-19. Seorang muslim tetap wajib menjalankan ibadah puasa ramadan dengan segala haru biru masalah keduniaan. Lalu, apakah itu mengurangi makna ramadan? Tidak. Ramadan sejatinya datang dengan keheningan dan ketenangan yang tertanam dalam hati.
Ibadah puasa merupakan ibadah privat dan ekslusif antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ibadah puasa tidak bisa ditampilkan dengan bermacam citra dan polesan. Dia menjadi rahasia intim antara makhluk dengan sang Khalik. Dimensi privasi dalam ibadah puasa merupakan salah satu cara tuhan mendidik manusia untuk bertanggung jawab dan sabar mengembannya.
Kesadaran hakiki yang muncul dalam ibadah puasa adalah kesadaran tentang ke-Maha Hadir-an Tuhan (omni-presence). Tuhan mengawasi segala kesombongan, dosa zahir dan batin, setan-setan yang bersemayam dalam tubuh, dan setan-setan yang tercipta dari prilaku manusia, semuanya tidak pernah akan luput dari pantauan-Nya.
Hiruk pikuk sambutan terhadap ramadan terkadang hanya kamuflase manusia menampilkan identitas keimanannya. Siapa manusia yang bisa menakar entitas keimanan seseorang? Dengan apa dinilai? Apakah dengan indahnya festival dan parade kata-kata “maaf lahir batin” di awal dan di akhir ramadan melalui media sosial dan gawai masing-masing? Hakikatnya, ramadan adalah bulan keheningan.
Setiap manusia yang beriman harus masuk ke ruang khalwatnya serta bermukim di ruang refleksinya masing-masing sembari memuhasabah diri dan meningkatkan rasa cinta pada Tuhan. Berlatih dengan sungguh-sungguh untuk bersabar terhadap segala marabahaya, ujian, musibah, dan bencana yang datang. Mengambil pelajaran dan fokus pada potensi nikmat-nikmat Allah yang lebih besar, alih-alih meratapi yang telah terjadi, walau sekali lagi, kata sabar itu sangat klise.
Ramadan di tengah kondisi pandemi tentu lebih memberikan impresi yang mendalam. Pandemi ini membuat manusia kembali menjadikan ruang keluarga sebagai sentra peribadatan. Berpuasa bersama sembari mengikat tali-tali yang dulunya longgar karena keranjingan dengan tugas masing-masing. Di saat orang berpuasa sudah selesai dengan ekslusifitas ibadah dengan Tuhan, muncul kebijaksanaan lain yaitu, empati kepada sesama manusia.
Hikmah ibadah dalam Islam selalu memiliki dua dimensi, vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal merupakan jalur privat antara manusia dengan Tuhan, sedangkan dimensi horizontal merupakan sarana membangun hubungan antar sesama makhluk. Kepekaan sosial seringkali bertambah di bulan ramadan apalagi dengan iming-iming ganjaran pahala yang besar. Bagi orang yang mengejar kalkulasi pahala, ramadan adalah bulan yang tepat untuk hitung-hitungan. Bukankah begitu?
Kebanyakan kita tidak bisa bersabar dengan ketetapan-ketetapan Tuhan. Berharap pandemi ini cepat berakhir, namun tidak sabar menerapkan aturan-aturan kesehatan. Berharap Tuhan mengabulkan doa-doa, namun seringkali kecewa ketika belum dikabulkan. Ibnu Atha’illah di dalam ‘Al Hikam’ mengingatkan, “yang membuatmu kecewa ketika tidak diberi adalah karena engkau tidak memahami hikmah Allah di dalamnya.” Penolakan Tuhan terhadap doa hambanya bisa jadi merupakan pemberian yang terbaik.
Artinya apa? Kekecewaan itu lahir dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman. Tidak seorangpun yang bisa memahami hikmah Allah. Kebanyakan kita hanya bisa menduga tentang suatu hikmah. Oleh karena itu, kita butuh keyakinan bahwa hikmah Allah selalu lebih baik dari asumsi-asumsi kita.
Mengungkapkan kata-kata sabar untuk menghilangkan kesedihan itu benar-benar klise. Tetapi apalagi yang harus dikatakan selain kata-kata klise itu? Bukan kata-katanya yang salah, tetapi penerapannya yang sangat susah. Entah berapa tahun dan berapa peristiwa lagi yang harus dihadapi agar kita mampu memahami hakikat sabar.
Saking susahnya untuk bersabar, saya pun tidak sabar menutup risalah sederhana ini. pada akhirnya, remuk redamlah semua hawa nafsu dan berkhalwatlah dalam terpaan musibah, niscaya kemuliaan ramadan akan membawa ampunan buat kita semua. Bersabarlah dengan kata-kata ‘sabar’ yang tersebar dan bersabarlah membaca tulisan tentang ‘sabar’. Karena kita semua sedang belajar tentang “kesabaran”. (**)
Aidil Aulya, Dosen Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang