Langgam.id – Cahaya lembut berpendar di dinding galeri, memantul pada deretan foto berbingkai yang merekam denyut kehidupan beragama dan beradat di ranah Minang. Dari ritus Manyaratuih Hari hingga balimau menjelang Ramadan, dari gema badikie dan shalawat dulang hingga gerak halus Indang Tuo, semuanya seolah berbicara tentang Islam yang hidup dalam napas budaya. Suasana itu hadir dalam pameran etnografi karya Edy Utama bertajuk “Islam di Minangkabau: Surau dan Ritus Keberagamaan di Sumatera Barat, yang berlangsung selama sepekan (24-31 Oktober 2025) di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat.
“Ada sekitar 200 foto yang dipamerkan, yang dibuat antara tahun 2005-2025, yang disusun dalam bentuk esai-esai foto,” ujar Bung, sapaan akrab Edy Utama.
Bagi Edy, yang telah puluhan tahun memotret denyut kehidupan masyarakat adat dan religius Minangkabau, karya-karyanya adalah rekaman dari pertanyaan-pertanyaan lama: mengapa masyarakat Minang bisa bernegosiasi dengan nilai Islam, dan bagaimana keduanya saling menguatkan tanpa saling meniadakan.
Mengutip Azyumardi Azra (1988), Edy menyebutkan, meski surau adalah warisan Hindu-Budha , namun kemudian diintegrasikan paska masuknya Islam ke Minangkabau. Bahkan dalam perkembangannya, surau adalah lembaga Islam terpenting, yang telah menjadi episentrum pengajaran Islam yang menonjol. Surau juga merupakan titik tolak Islamisasi Minangkabau.
Surau juga mejadi pusat tarekat yang sekaligus memainkan peran sebagai benteng pertahanan Minangkabau dalam merespons berkembangnya dominasi kekuatan kolonial Belanda.
“Surau dikembangkan menjadi lembaga pendidikan agama Islam dan adat Minangkabau. Surau dapat dikatakan sebagai ruang pertemuan yang paling intensif antara adat Minangkabau dan agama Islam,” bebernya.
Melalui pameran ini, masyarakat yang datang bisa melihat visual ‘hidup’ ritual bakaua, arak sadakah padi, doa tulak bala, yang merupakan ritus keberagamaan dalam kehidupan budaya agraris umat muslim Minangkabau.
Ketiga ritus ini memperlihatkan, bagaimana umat muslim Minangkabau bersyukur dan memohon pertolangan Allah SWT secara bersama-sama, agar pertanian mereka berhasil dan terhindar dari marabahaya.
Bertahannya ritus dalam tradisi budaya agraris ini, disebabkan hubungan yang begitu kental antara dunia tarekat dengan budaya agraris. Menurut Cristine Dobbin (1992), di ke-18 banyak guru tarekat yang menjalani hidup sebagai petani. Ritus akhir abad keberagamaan lainnya adalah haul, sebuah ritual memperingati hari wafatnya seorang tokoh agama.
Dalam pameran etnografi kali ini, Bung Edy menghidupkan rekaman peristiwa haul yang disebut basapa dalam lembaran foto. Kegiatan basapa berpusat di makam Syekh Burhanuddin di Ulakan.

Menurut Edy, pada puncak basapa, puluhan ribu pengikut tarekat Syattariyah dari berbagai pelosok Minangkabau menziarahi makam Syekh Burhanuddin. Haul berikutnya adalah ziarah kubur ke makam salah seorang tokoh tarekat Naqsyabandiyah Minangkabau, Syekh Maulana Malik Ibrahim AlKhalidi, Surau Batu Kumpulan, Pasaman, yang dikenal dengan panggilan Inyiak nan Balinduang.
Foto menarik lain yang ditampilkan Edy adalah prosesi pengukuhan Pucuak Syarak dengan gelar Kari Ibrahim, yang posisinya berdampingan dengan Pucuak Adat dalam struktur kepemimpinan umat muslim minangkabau.
Selain itu, penikmat karya fotografi bernuansa etnografi juga disuguhi ritus kematian, yang disebut Manyaratuih Hari serta ritus balimau memasuki bulan suci Ramadan.
Ada pula ritus Maulid Nabi, perayaan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, dengan berbagai atribut seperti bungo lado dan juadah, serta semangat partisipasi masyarakat lokal yang luar biasa. Dihadirkan potret seni bernafaskan Islam seperti badikie, barabano dan shalawat dulang dan Indang Tuo.
Pameran etnofotografi ini juga meluaskan cakrawala dengan menghadirkan kekayaan visual dari ritus serak gulo yang dipraktikkan oleh masyarakat keturunan India di Masjid Muhammadan, Padang, serta tradisi batabuik yang telah mengakar kuat dalam kehidupan budaya masyarakat di Padang Pariaman.
“Kehadiran kedua ritus ini memperkaya narasi pameran tentang praktik ritual dalam kehidupan umat muslim Minangkabau. Undang-undang Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017, menetapkan ritus sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan (OPK),” ungkap Edy.
Dalam penjelasan undang-undang, ritus antara lain dimaknai sebagai tata cara pelaksanaan upacara yang didasarkan pada nilai tertentu, dilakukan secara terus-menerus dan diwariskan pada generasi berikutnya. Melalui berbagai praktik ritus itulah kita dapat melihat, peran masyarakat adat Minangkabau dalam menopang kegiatan ritual yang dilaksanakan secara berkelanjutan tersebut.
Persoalan Agama di Minangkabau juga Urusan Niniak Mamak
Tema pertautan Islam dan adat di Minangkabau yang diketengahkan Edy dalam bentuk foto, tak terlepas dari kerisauannya soal kehidupan beragama di Sumatra Barat, terutama dalam konteks keminangkabauan. Ia sering dengar kata bid’ah dilontarkan oleh pemuka agama dalam menyikapi aktivitas keagamaan yang bersinggungan dengan kebudayaan.
Nah, dalam risetnya justru Edy menemukan bagaimana pelbagai ritual atau ritus keagamaan, terlaksana berkat dukungan struktur niniak (ninik) mamak.
“Saya menemukan beberapa kasus, misal peringatan kematian Syekh (Inyiak) Balinduang Surau Batu, setiap tahun ada perayaan dengan nama Alek Surau Batu. Yang kerja keras melayani tamu yang berziarah saat haul Syekh Balinduang adalah 36 penghulu di (Nagari) Koto Kaciak. Masing-masing penghulu wajib menyediakan kancah untuk memasak. Bahkan dalam kenyataannya ada sampai bikin 50 kancah, karena ada beberapa penghulu yang menyediakan lebih dari satu kancah,” ungkap Edy.
Syekh Balinduang Surau Batu adalah gelar untuk Maulana Syekh Ibrahim atau dikenal juga dengan Syekh Kumpulan atau Syekh Ibrahim al-Khalidi.Beliau adalah seorang ulama besar, mursyid tarekat Naqsyabandiyyah dari Nagari Koto Kaciak, Kecamatan Bonjol, Pasaman. Beliau adalah guru agama bagi banyak ulama lain dan memiliki pengaruh besar dalam pengembangan tarekat Naqshabandiyah di Nusantara. Di samping itu juga berperan dalam palagan Perang Paderi.
Dalam karya-karya yang dipajang Bung Edy, juga tampak perayaan kematian. Misalnya ritus kematian yang disebut Manyaratuih Hari di Solok yang begitu sumarak. Nah, dalam hal ini, perempuan sebagai pihak semenda dari suku yang meninggal yang mengarak juadah (jamba).
“Yang terjadi di Solok, hampir semua orang bawa Jamba atau juadah itu perempuan yang jadi sumando (semenda). Misal yang kawin dengan Chaniago, dia yang bawa juadah atau Jamba. Di sini, niniak mamak sangat berperan,” tukas Edy.
Di Sijunjung, katanya lagi, acara berkaul yang diadakan setiap tahun dilakukan pemotongan seekor kerbau, dimana menjadi tanggung jawab 16 penghulu di sana.
“Apa ini makna ungkapan sarak mangato, adaik mangatai,” ucap Edy dalam sesi diskusi pada pengujung pameran di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat, Jumat (31//10/2025).
Syarak mangato, adaik mamakai adalah prinsip filosofis Minangkabau yang berarti syariat (ajaran Islam) yang berkata atau memberi perintah, sedangkan adat yang memakai atau melaksanakannya.
“Persoalan agama bukan sekedar persoalan ulama, tapi juga niniak mamak. Saya kira melihat hubungan. Problemnya kerap dicaps bidah dengan melihat praktik di permukaan. Padahal di belakang praktik ritual, hampir semuanya penghulu berperan besar. Ini saya belum tuntas melakukan pengamatan,” terang Edy.
Ketua panitia pameran, Muhammad Taufik, menyebut ketika gagasan pameran etnofotografi Edy Utama muncul, maka pikiran kembali ditarik pada apa yang ditulis Akbar Salahuddin Ahmed, seorang antropolog Muslim asal Pakistan.
Salah satu buku antropolog yang juga dikenal sebagai pengarang cum penyair dan sineas ini adalah Living Islam: From Samarkand to Stornoway. Dalam buku itu, Ahmed menyoroti Living Islam sebagai sebagai fenomena keberadaan dan praktik Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat muslim (living Islam) atau Islam sebagai peradaban yang hidup dan berdenyut dalam ruang sosial, budaya dan sejarah.
Fokus Ahmed adalah menyigi Islam dari praktik ke teks, bukan sebaliknya, sebagaimana yang juga dipotret dalam lensa Bung Edy. Artinya Ahmed tidak mendokumentasikan apa yang tertulis dalam fikih. Menariknya Ahmed dalam studi ini satu sisi menyuguhkan Islam realitas (praktik sosial) kemudian membandingkannya dengan islam idealitas. Artinya ia ingin menunjukkan di mana masyarakat muslim mampu hidup dengan ideal dan di mana tidak.
“Namun kekuatan buku ini adalah kemampuan Ahmed menunjukan realitas Islam yang mungkin akan membuat marah Muslim bahkan Nonmuslim karena keitiqamahannya menjaga otentisitas, akurasi bahkan dia tetap mencatat sesuatu yang secara pribadi tidak disetujuinya, tanpa memoles atau menutup-nutupi,” beber Taufik.
Menurut Taufik, karya-karya yang dipentaskan Edy Utama adalah sebagai bentuk living Islam yakni Islam yang hidup di tengah masyarakat, bukan Islam yang berhenti di teks.
“Apa yang dilakukan Bung Edy adalah living Islam dari kacamata lensa kamera. Ia memotret bukan hanya ritual, tapi napas kehidupan, bagaimana Islam di Minangkabau tumbuh bersama adat,” ujar Taufik.
Menurutnya, pameran ini bukan sekadar dokumentasi visual, tetapi ajakan untuk merefleksikan ulang cara pandang terhadap budaya sendiri. “Dari foto-foto itu, kita diajak menyadari bahwa membangun kebudayaan tidak bisa hanya di hilir. Kita harus kembali ke hulunya, ke nilai-nilai, ke spiritualitas yang dulu menjadi sumber kekuatan Minangkabau,” tambahnya.
Merawat Hulu, Menjernihkan Muara Kebudayaan
Pameran fotografi yang digelar Edy lebih dari sekadar foto, melainkan sebuah renungan: bagaimana menjernihkan hilir kebudayaan dengan memperbaiki hulunya.
“Budaya itu ibarat sungai. Ada hulunya dan ada muaranya. Sekarang kita sibuk mengurus muara seperti atraksi seremonial, festival, promosi, tapi lupa memelihara hulunya, yaitu spiritualitas dan nilai,” ujar Edy Utama dalam pembukaan pameran Etnografi Islam Minangkabau.
“Saya mulai dari kekaguman,” katanya pelan. “Saya menelusuri Tabut, basafa, tarekat Syattariyah berpuluh tahun. Banyak hal yang dianggap kontroversial ternyata dirawat oleh orang Minang dengan penuh kearifan. Inilah kekuatan hulu budaya kita kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan akar.”
Dalam paparannya, Edy Utama menyinggung bahwa banyak kebijakan kebudayaan kini berhenti di tataran diplomasi dan seremonial. Padahal, esensi kebudayaan adalah ketahanan dari dalam, bukan kemegahan di luar.
“Kita sering memainkan budaya untuk kesenangan, bukan untuk ketangguhan. Padahal, silat misalnya, bukan untuk mengalahkan orang, tapi untuk mempertahankan martabat. Itu benteng hidup,” ujarnya tegas.
Ia mengajak pemerintah dan pelaku budaya untuk melihat kebudayaan dengan pendekatan etnografis, menyelami kehidupan masyarakat, bukan sekadar menampilkannya di panggung.
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah menilai karya Edy Utama memberi ruang refleksi bagi pemerintah daerah dalam membangun kebijakan kebudayaan yang lebih bermakna.
“Kita perlu menata kembali kebudayaan dari hulunya. Kekuatan Minangkabau bukan pada simbolnya, tapi pada nilai dan spiritualitasnya,” ujarnya, disela pembukaan pameran etnofotografi Edy Utama.

“Hulu kebudayaan ya Islam itu sendiri, Maka tulah yang apa, adat yang ada di kita disesuaikan dengan hulu itu sendiri, itu makanya Islam di Minangkabaukan,” Mahyeldi menambahkan.
Nah, sambungnya, bagaimana proses hulunya nilai-nilai Islam itu menyatu dalam bentuk kebudayaan, dalam bentuk tulisan, dan kemudian juga dalam bentuk keseharian masyarakat di Minangkabau. “Dan kan itu yang dituangkan dalam falsafah Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) itu sendiri,” ucapnya.
Menurutnya, Edy Utama menghadirkan kelindan akulturasi yang sudah berjalan lama. Misalnya potret masjid atau surau yang ditampilkan Edy Utama.
“Karya yang mengabadikan salah satu masjid menunjukkan ada Eropanya, ada Indianya, ada Turkinya, juga ada Minangnya, semua itu dipadukan,” kata Mahyeldi, disela-sela pembukaan pameran etnofotografi Edy Utama, Jumat (24/10/2025).
Dia juga melihat dalam dunia kesenian yang hidup di Sumatra Barat terutama Padang juga memadukan ragam kebangsaan atau etnis. Di kawasan Pondok misalkan ada seni gambang, kemudian juga ada Balanse Madam kesenian dari suku Nias di Padang.
“Jadi itulah, jadi memang orang Minang ini, memang mengakomodasi, kemudian itu menghadirkan suatu yang menarik. Nah itulah, sudah seperti itu Minangkabau di dalam, makanya dalam faktanya, ketika ada permasalahan bangsa, ini karena Minang yang tampil untuk menyelesaikan. PDRI misalnya kan, itu kan Minang yang tampil,” bilang Mahyeldi.
Kehadiran pameran Bung Edy, Mahyeldi berharap menginspirasi banyak orang dan juga Sumbar sendiri.
“Keanekaragaman dan kemudian itu diinspirasi oleh Indonesia Islam, karena memang juga ya, Islam yang ada ke Nusantara ini kan juga berasal dari daerah-daerah berbeda-beda, nah itu juga dihadirkan di Sumatra,” tukas Mahyeldi.
Sementara itu, tokoh budaya Mak Katik memberikan tanggapan lugas dan hangat.
“Saya sangat setuju dengan Bung Edy. Pejabat kita banyak mengambil muaranya saja seperti rumah gadang, gonjong, songkok. Tapi hulunya, yakni nilai dan keaslian, sering dilupakan. Hulu itulah yang harus kita gali kembali,” tuturnya.
Menariknya, pameran ini juga menyita perhatian mahasiswa internasional asal Nigeria yang tengah belajar di UIN Imam Bonjol Padang.
Ibrahim Ismail, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, mengaku terkesan dengan harmoni antara Islam dan budaya di Sumatra Barat.
“Saya menikmati sekali acara ini. Budaya Islam di sini terasa hidup, penuh keramahan. Di Nigeria, Islam lebih formal. Di sini saya melihat Islam yang menyatu dengan adat. Ini luar biasa,” katanya.

Mahasiswa asal Nigeria lain, Adam Rabiu Awal dan Umarfaruq Muhammad Gambo, menambahkan bahwa pengalaman mereka di Sumatra Barat menunjukkan bagaimana Islam dan budaya bisa saling memperkaya, bukan bertentangan. “Di sini kami melihat Islam yang indah dan manusiawi,” kata Umarfaruq.
Malam itu, di antara foto-foto dan percakapan hangat, tersirat pesan sederhana namun dalam: kebudayaan adalah sungai kehidupan. Jika hulunya kering dan tercemar, maka muaranya tak akan pernah jernih.
“Hulu spiritualitas Minangkabau adalah kekuatan kita,” kata Edy Utama menutup malam itu. “Dan itu mulai kita tinggalkan. Sudah saatnya kita pulang ke hulu, menjernihkan muara kebudayaan yang mulai keruh.”
Pameran etnofotografi Bung Edy berlangsung seminggu dikunjungi ribuan orang. Mulai dari penikmat seni, budayawan, wartawan, akademisi, mahasiswa, hingga para pelajar. Namun, banyak asa yang terbentang dalam diskusi cair yang dibentangkan pada hari terakhir pameran, Jumat (31/10/2025) malam.

Akademisi dan peneliti asal Sumatra Barat yang mengajar di Universitas Leiden, Belanda, Surya Suryadi menilai karya-karya foto Edy Utama ini penting dalam merawat khazanah budaya Minangkabau. Menurutnya karya pendokumentasian secara visual penting untuk menjadi harta karun sejarah ke depannya. Ia mencontohkan bagaimana Belanda sangat serius untuk pendokumentasian visual, bahkan punya proyek memvideokan aktivitas hari ke hari beberapa kota di Indonesia.
“Mungkin 100 tahun lagi, kalau kita ingin belajar atau meneliti tentang budaya dan sejarah kita, harus ke Leiden, Belanda,” celetuknya.
Ketua Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Zulqaiyyim misalnya, berharap pameran ini juga di bawa ke tengah gelanggang kampus. Menurutnya, kalau ditampilkan di arena seperti kampus, ini akan membuat orang (mahasiswa) tercengang-cengang, mengingat ini realitas yang terlihat dari perspektif sejarah.
Secara sosiologis, katanya, Islam di Minangkabau ada merasa lebih murni, lebih saleh, lebih beriman, sementara foto-foto yang ditampilkan realita sosial.
“Oleh karena itu, kita menyarankan pameran jangan terbatas di sini, tapi dibawa ke kampus,” pungkasnya.






