Berbukalah, Karena (telah) Berpuasa

Berbukalah, Karena (telah) Berpuasa

Aulia Rahmat, Dosen Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang

Setiap yang berpuasa, pasti menghendaki berbuka. Namun, apakah ketika berbuka kita memang benar berbuka karena berpuasa, atau hanya karena dorongan haus dan lapar semata?

Setiap yang berpuasa akan merasa gembira ketika mendekati waktu berbuka. Hal ini secara tekstual digambarkan dalam sebuah hadits riwayat Muslim nomor 1151, bahwa orang yang berbuka puasa mempunyai dua kebahagiaan yang bisa ia rasakan, yaitu kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya karena puasa yang dilakukannya. Hadits ini secara jelas menggambarkan orientasi dan motivasi kebahagiaan tersebut. Namun, apakah sebagian besar dari kita memang berbahagia berbuka karena pasal yang sama?

Masalahnya, bagaimana mengukur niat berbuka seseorang? Bukankah niat itu berada pada tatanan abstrak? Apakah ada indikator yang valid untuk mengukurnya?

Lampiran GambarYa, memang belum ditemukan metode yang paling valid untuk mengukur niat seseorang. Meskipun demikian, ada beberapa indikator yang dapat diperhatikan untuk mendekatinya. Untuk itu, pekerjaan pertama adalah kita harus sepakat bahwa Rasulullah SAW merupakan contoh teladan bagi seluruh umat Islam dalam upaya menyempurnakan akhlak. Jika hal ini sudah disepakati, maka tahapan yang kedua adalah dengan menyimak beberapa hadits yang menguraikan tata cara Rasulullah SAW berbuka.

Terkait dengan hal ini, salah satu hadits yang paling viral dijadikan rujukan adalah hadits shahih yang diriwayatkan Ahmad (3/163), Abu Dawud nomor 2356, Ibnu Khuzaimah (3/277, 278), Tirmidzi 93/70), At-Tirmidzi nomor 696, Ad-Daruquthni nomor 2278, Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/597 nomor 1576, dan Al-Baihaqy (4/239). Matan hadits tersebut menyatakan bahwa Rasulullah SAW berbuka dengan beberapa ruthob (kurma matang namun masih basah) sebelum melakukan sholat, jika tidak ada ruthob maka dengan beberapa tamr (kurma matang kering), jika itu tidak ada maka beliau meminum air beberapa kali tegukan.

Jika diinterpretasikan menggunakan pendekatan gramatikal, hadits ini mendeskripsikan bahwa pilihan menu berbuka Rasulullah SAW adalah dengan kurma atau air, tergantung ketersediaannya. Hal ini dapat dipahami karena kondisi geografis di daerah tersebut. Pemahaman ini kemudian mengglobal dan mengkonstruksi pemahaman bahwa berbuka yang paling afdhol adalah dengan kurma, sehingga membuat kurma menjadi komoditi bisnis yang cukup menjanjikan.

Pemahaman tersebut pada satu sisi, ada benarnya. Namun, di samping hal tersebut, ditemukan juga sebuah pandangan lain yang sedikit berbeda dalam menyikapi dan memaknai hadits tersebut. Meminjam teori Soroush tentang penyempitan dan pengembangan pemahaman agama, kita akan menemukan cara pandang yang berbeda terhadap hal ini. Pada ranah fiqh dan ushl fiqh—terutama dalam penerapan metode qiyas—teori ini berperan penting.

Hidangan berbuka Rasulullah SAW dalam hadits tersebut secara eksistensinya menunjukkan kesederhanaan kualitas dan kuantitas menu dalam berbuka. Pilihan menu beberapa butir kurma atau segelas air menunjukkan bahwa menu berbuka yang ideal bukanlah makanan pokok. Jika kita mengacu pada menu skeleton (kerangka menu), kualitas dan kuantitas menu berbuka Rasulullah SAW bisa dikategorikan sebagai menu pembuka atau appetizer. Merujuk pada model dan pola makan orang Arab, yang lazimnya menggunakan gandum dan roti sebagai hidangan utama (main course), pilihan menu berbuka Rasulullah SAW menjadi menarik untuk diperhatikan.

Lantas, apa hubungannya?

Waktu berbuka bersamaan dengan waktu masuknya shalat maghrib. Kondisi inilah yang kemudian menjadi pembeda sekaligus tolok ukur niat berbuka. Sebagaimana yang sama-sama diketahui, bahwa durasi pelaksanaan shalat maghrib adalah yang terpendek dibanding 4 shalat wajib lainnya. Ditemukan dua pendapat utama terkait durasi waktu pelaksanaan shalat maghrib.

Pendapat pertama dari kalangan Malikiyah, al-Auza’i dan Imam Syafi’i berdasarkan hadits riwayat Nasai nomor 526, bahwa waktu maghrib hanya satu waktu saja, yaitu sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurat, melakukan adzan, iqamah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat kedua dari Sufyan ats-Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi serta sebagian pengikut mazhab Syafi’i yang merujuk pada hadits riwayat Muslim nomor 612, bahwa waktu maghrib berakhir beriringan dengan hilangnya sinar merah pada saat matahari tenggelam. Terlepas dari perbedaan pendapat ini, sebuah kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa durasi shalat maghrib sangat singkat.

Pada kondisi ini, terlihat bahwa pilihan menu berbuka Rasulullah SAW mengisyaratkan efisiensi waktu karena bersamaan dengan waktu shalat maghrib. Ketika azan berkumandang, Rasulullah SAW menyunatkan untuk menyegerakan berbuka dengan hidangan kecil tanpa harus melalaikan waktu shalat maghrib. Pada kondisi yang sempit ini juga, kita dihadapkan pada dua pilihan. Apakah kita akan berbuka sekadarnya untuk membatalkan puasa, kemudian melaksanakan shalat maghrib; atau melanjutkan berbuka dengan makanan pokok yang membutuhkan waktu relatif lebih lama serta menunda shalat maghrib?

Hakikat manusia sebagai makhluk yang berkesadaran—dengan kuasa mutlak pada pilihan bebas yang bertanggung jawab—terhadap pilihan yang dibuat akan menjadi penting dan sangat menentukan. Pada kondisi ini, ide-ide Heidegger tentang “mistik” keseharian menjadi terlihat sangat bermakna. Hal-hal sederhana yang kita lalui setiap harinya, ternyata mempunyai makna tersendiri. Setiap aktivitas yang dilakukan akan mencerminkan apakah kita masih memiliki diri kita sendiri atau tidak. Tentu saja, hati dan niat merupakan aktor utama dalam menentukan pilihan yang diambil pada saat berbuka.

Niat—sebagaimana yang dimaksud dalam hadits riwayat Bukhari nomor 1 dan riwayat Muslim nomor 1907—akan menentukan balasan terhadap perbuatan yang dilaksanakan. Memang tidak mudah menakar niat secara detail dan pasti. Namun paling tidak, sikap dan pilihan yang diambil pada saat azan maghrib berkumandang menjadi sedikit banyaknya akan menggambarkan.

Berangkat dari serangkaian ide-ide yang terurai sebelumnya, pada bagian akhir ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jika kita mengambil pilihan kedua—yaitu melanjutkan berbuka dengan makanan pokok yang membutuhkan waktu relatif lebih lama serta menunda shalat maghrib—maka sesungguhnya motivasi berbuka masih dikarenakan dorongan rasa lapar. Artinya, kita berbuka masih karena dorongan hasrat dan hawa nafsu. Kegembiraan yang didapatkan adalah kegembiraan karena kembali dapat makan dan minum sepuasnya, bukan berbahagia karena puasa pada hari itu selamat sampai waktunya.

Hingga pada akhirnya, semua pertanyaan dan jawaban kembali kepada diri kita sendiri. Sudahkah selama dua pertiga Ramadhan ini kita berbuka karena berpuasa, atau hanya karena ingin menghilangkan rasa haus dan lapar belaka?

-nec scire fast est omnia-


Aulia Rahmat, Dosen Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang, saat ini sedang menempuh studi Doktor Hukum pada Universitas Islam Indonesia.

Baca Juga

Zakat fitrah merupakan zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadan, sebelum
Kapan Waktu Terbaik Melaksanakan Zakat Fitrah?
Bulan Ramadan 1445 Hijriah akan memasuki 10 malam yang terakhir. Oleh karena itu dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dengan berdzikir,
4 Amalan Agar Dapat Meraih Kemuliaan Lailatul Qadar
Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selama bulan Ramadan. Salah satu ibadah sunnah yang biasa dilakukan yaitu salat tarawih.
Begini Sejarah Awal Mula Penamaan Salat Tarawih
Sebanyak delapan warung makan ditertibkan oleh personel Satpol PP karena memfasilitasi makan siang di tempat. Penertiban itu dilakukan
Buka Siang Hari Ramadan, 8 Warung Makan di Padang Ditertibkan
Sahur merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin melaksanakan ibadah puasa. Saat sahur menjadi salah satu momen yang
Apakah Masih Boleh Makan Sahur di Waktu Imsak? Begini Penjelasannya
Bulan puasa identik dengan pasar Ramadan atau orang Minangkabau menyebutnya pasar pabukoan. Pasar pabukoan menjual berbagai macam takjil
Dekat dengan Kampus Unand, Pasar Pabukoan Kapalo Koto Tawarkan Ragam Menu Berbuka