Bahaya "Bohirkrasi" Politik bagi Demokrasi

Bahaya "Bohirkrasi" Politik bagi Demokrasi

Sidi Boby Lukman Piliang (Foto: Dok. Pribadi)

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang tinggal menghitung hari. Tahapan pelaksanaan Pilkada yang sempat tertunda karena pandemi Covid-19 tersebut juga sudah kembali dimulai sejak 15 Juni silam. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat-pun bahkan sudah mengajukan tambahan dana kepada Kementrian Keuangan agar pelaksanaan Pilkada dapat dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku disaat masa adaptasi kebiasan baru (new normal).

Pada setiap pelaksanaan Pilkada, tentu saja ada beberapa hal yang menarik dibahas. Selain siapa pasangan calon yang akan dicalonkan, partai politik mana yang akan membentuk koalisi pengusung serta yang paling menarik berapa biaya yang harus disediakan oleh pasangan calon untuk mengantarkan mereka menjadi pemenang di Pilkada tersebut.

Pertanyaan terkait besaran biaya ini selalu muncul saban kontestasi pemilu kepala daerah. Sudah bukan rahasia bahwa pasangan calon harus menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk biaya pemenangan. Ada ratusan item pembiayaan yang harus dipatuhi dan tidak boleh tidak disiapkan.

Darimana uang biaya Pilkada itu dialokasikan? Jelas ini perkara rumit. Bagi calon yang punya uang, tentu tidak terlalu masalah. Dengan sumber pendanaan pribadi, mereka bisa membiayai sendiri semua kebutuhan yang dicantumkan. Mulai dari pendaftaran ke partai politik, sampai pembiayaan jika terjadi gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi bagi paslon yang berduit cekak, mereka harus memutar otak agar semua biaya bisa ditunaikan. Tak jarang, sepasang calon kepala daerah bahkan harus berutang kepada pihak pihak lain yang tentu saja berkonsekuensi pada munculnya "tagihan" politik dikemudian hari.

Tentu saja ini adalah sebuah fenomena buruk bagi sebuah proses demokrasi. Selain buruk, hal ini juga merupakan penanda bahwa kualitas politik dan demokrasi kita masih harus dan perlu ditingkatkan kembali. Politik kita kian terjebak dalam transaksional dari hulu hingga ke hilir. Jika hulunya saja sudah keruh, maka hilirnya pastilah akan serupa pula.

Biaya politik yang mahal, serta pendidikan politik yang rendah ditambah dengan lemahnya kesadaran publik akan bahaya politik uang membuat pilkada dan suksesi politik akan menjadi santapan para bohir politik. Masyarakat dan juga politisi akan terjebak dalam "bohirkrasi" demokrasi yang berakibat demokrasi akan dikuasai para "bohir" yang membawa kepentingan kelompoknya semata tanpa memedulikan nasib masyarakat.

Praktik dan keterlibatan tokoh berkantong tebal dalam politik tentu bukan hal baru pula. Dalam beberapa pelaksanaan Pilkada di daerah mereka bahkan ikut serta sebagai peserta dan memenangkan pemilihan. Namun demikian, sampai saat ini belum ada riset spesifik yang membuktikan bahwa kemenangan calon yang didukung sumber daya keuangan besar itu menang karena dukungan dananya.

Hal itu bisa dimaklumi karena di beberapa daerah, pemilih sudah berani menentukan sikap berbeda dengan memilih calon yang mereka sukai dan percaya untuk menjadi pemimpin selama lima tahun periode yang ditetapkan.

Menyoal kembali hal tersebut, praktik "bohirkrasi" politik ini tentu adalah sebuah praktik yang sulit dibasmi. Jelas tidak mudah karena masyarakat terlanjur menerjemahkan politik masih sekedar sebuah proses sirkulasi lima tahunan dan belum dipandang sebagai sebuah proses suksesi kepemimpinan kualitatif dimana publik mencari dan memilih pemimpin yang berkualitas. Pilkada masih dipandang dan atau setidaknya selalu demikian dalam beberapa kali pelaksanaannya di tanah air sebagai sebuah momentum perhelatan demokrasi kuantitatif semata. Kemenangan pasangan calon diukur dengan raihan suara terbanyak tanpa isi dan kualitas calon yang sebenarnya dibutuhkan.

Hal ini yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik "bohirkrasi" politik yang terjadi di semua level termasuk dikalangan elit partai politik dengan adanya praktik mahar politik antara masing masing calon berpasangan yang diduga kuat melibatkan elit partai pengusung. Selain itu, praktik ini didukung oleh ketidakmampuan partai politik mempersiapkan kader untuk dijadikan sebagai tokoh kepada pemilih. Partai politik memiliki besar karena ketidakmampuan tersebut.

Tentu saja muncul keinginan untuk membasmi politik uang yang merusak demokrasi. Jika ingin membuat demokrasi berkualitas maka membereskan hulunya adalah sebuah keharusan. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah penguatan sistim pendidikan dan rekrutmen kader di partai politik. Harus diakui bahwa masyarakat sebagai pemilih masih dipandang oleh partai politik sebagai entitas yang terpisah dan masih menjadi objek demokrasi lima tahunan. Padahal jika parpol sukses membangun kesadaran "bersama" tersebut, salah satu hambatan bagi perbaikan demokrasi sudah terlewati dan hulunya sudah relatif bersih.

Kesadaran bersama bahwa suksesi Pilkada bukan lagi menjadi milik segelintir elit politik dan pasangan calon dan Pemilih harus dijadikan sebagai titik awal bagi pencerahan hilir sebuah demokrasi yang berkualitas.

Partai politik juga harus menghentikan dan tidak lagi mengedepankan pendekatan pragmatisme politik yang hanya menguntungkan segelintir pengurus parpol. Karena itu, mengaktifkan dan mereformasi sistem rekrutmen dan kaderisasi partai adalah sebuah keharusan agar tidak terjebak dalam politik transaksional yang memancing para bohir berkepentingan jangka pendek memanfaatkan Pilkada untuk kepentinga politik mereka sendiri.

Harus diakui bahwa selama ini aturan yang membatasi dana kampanye paslon serta aturan bahwa dana dana kampanye diaudit oleh lembaga auditor yang kredibel dan berintegritas serta terpercaya sudah cukup meminimalisir adanya praktik mahar dan politik uang. Namun hal itu tetap harus diikut sertai dengan melakukan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan semua komponen masyarakat untuk melakukan sosialisasi mengenai bahaya politik uang dalam Pilkada.

Oleh karena kesadaran menyeluruh bahwa politik bukan sekedar jual beli pilihan di bilik suara perlu ditegaskan kembali dalam kehidupan demorkasi di tengah masyarakat. Menempatkan pemilih sebagai entitas dan subyek penting dari sebuah penyelenggaraan pesta demokrasi adalah sebuah keharusan agar output dari penyelenggaraan pemilihan adalah sebuah hasil yang maksimal dan berkualitas meski tidak akan pernah bisa memuaskan semua pihak. Namun setidaknya, sebuah proses yang baik dan tertata akan menghasilkan produk politik yang berkualitas pula. (***)

 

*) Pekerja Politik dan Media,
Staf Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2016-2019

Baca Juga

Gosip Online
Gosip Online
Jokowi Sumbar, pengamat,
Dinamisnya Pencalonan Presiden
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Peluang Perti dalam RPJPN 2025-2045
Medsos, Reuni dan Perceraian
Medsos, Reuni dan Perceraian
Menyoal Seleksi Pejabat Eselon Pemerintah Daerah
Menyoal Seleksi Pejabat Eselon Pemerintah Daerah
"Masjid Singgah" dan Keberagaman Kelas Menengah
"Masjid Singgah" dan Keberagaman Kelas Menengah