Alam Terkembang Jadi Tuba

Langgam.id - September tahun ini, udara bersih. Berbeda dengan beberapa September sebelumnya saat langit kelam dan udara penuh dengan racun.
.
Kita dituba kabut asap, istriku.
Kau keluhkan mata gatal, asma dan lubang hidung
serasa
menghisap asap kompor puluhan sumbu terbakar
kehabisan minyak.
.
Penggalan puisi di atas ditulis oleh penyair Esha Tegar Putra. Puisi itu ditulis di Padang pada September 2015 saat Sumbar dicekik kabut asap akibat pembakaran hutan, sebagaimana banyak wilayah lain di Indonesia. Judul puisi itu: Dituba Kabut Asap.

Sungguh tak berlebihan jika Esha memberi kata ‘Dituba’ pada judul puisinya. Orang yang dituba (ditubo) tidak mati seketika itu juga dibuatnya, tapi menyiksanya perlahan-lahan sebelum orang itu mati.
.
Begitu juga cara kerja kabut asap yang menuba tidak hanya masyarakat di Sumbar tapi sebagian besar Sumatera dan Kalimantan pada September 2015 itu. Ia mengandung berbagai partikel berbahaya seperti gas karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO), sulfur oksida (SO2), dan nitrogen oksida (NO2).

Kualitas udara berada di bawah ambang batas wajar, bahkan telah mencapai level sangat membahayakan untuk dihirup. Sepanjang musim asap 2015 itu, udara macam itulah yang kita hirup.
.
Daya rusak asap itu tidak main-main. Pada 2016, sekelompok peneliti dari Harvard University Columbia memperkirakan telah terjadi sebanyak kurang lebih 100.000 kematian prematur akibat menghirup asap kebakaran besar 2015. Dan 90% dari jumlah kematian itu berada di Indonesia.

Meski sebagian besar korbannya orang dewasa, laporan-laporan tentang kematian Balita juga muncul pada tahun itu.
.
BNPB mengumumkan 43 juta orang terkena dampak dan 500.000 orang mengalami infeksi pernafasan serius akibat kabut asap tahun 2015 itu. Di Sumbar sendiri ribuan orang menderita ISPA, termasuk di Padang yang pada Oktober tahun itu, tercatat sedikitnya 7800 warga menderita ISPA.

Sementara pengumunan resmi pemerintah mengatakan hanya 19 orang korban meninggal di seluruh Indonesia akibat kebakaran hutan 2015 itu.
.
Empat tahun kemudian, pada 2019, pembakaran hutan lagi-lagi terjadi. Sekitar 900.00 orang Indonesia diperkirakan menderita ISPA karenanya. Masyarakat Sumbar pun sekali lagi ikut kena tuba, dengan daya rusak yang tentu saja tak jauh berbeda. Ribuan orang di berbagai Kabupaten di Sumbar dilaporkan terserang ISPA pada tahun itu.

Saya yakin pembaca masih sangat ingat betul bagaimana rasanya harus menghirup racun setiap hari selama musim asap 2019 itu. Kerongkongan kering dan gatal, sesak napas, demam, mual dan pusing.
.
Bahkan untuk kedua kalinya, setelah kabut asap 2015, kita menyaksikan salah satu kejadian paling ganjil dan memilukan dalam sejarah Sumbar yang serba hebat itu: orang-orang membeli udara bersih untuk dihirupnya.

Kelompok yang rentan terhadap kabut asap, seperti penderita asma dan orang usia lanjut, harus mengeluarkan uang ekstra untuk mendapat oksigen. Itu jika mereka sanggup membeli, jika tidak? Wallahuallam.

Tidak cukup sampai di situ, kabut asap beracun itu adalah ancaman langsung bagi generasi akan datang. Anak-anak yang terpapar kabut asap tidak hanya dapat membuat anak gampang sakit-sakitan hingga dewasa, lebih parah dari itu, kabut asap juga mengakibatkan gangguan perkembangan otak anak terutama anak di bawah usia 6 tahun.

Artinya, satu generasi terancam mengalami gangguan kecerdasan. Dekadensi permanen di depan mata.

Di Tengah Ekosida

Para ahli lingkungan memberi gambaran betapa buruk keadaan seperti itu: kita tengah berada dalam ekosida. Yaitu suatu kondisi terancamnya kelangsungan hidup sebagian besar umat manusia sebagai akibat dari pengrusakan alam besar-besaran, termasuk pembakaran hutan.

Kita tengah berada dalam fenomena global ‘pembantaian massal’ akibat kerakusan perusahaan-perusahaan besar dan otoritas yang abai terhadap keselamatan lingkungan.

Di Indonesia kita bisa melihat dengan mata telanjang betapa berbelitnya proses hukum untuk membuat jera perusahaan-perusahaan besar yang ditengarai menjadi dalang pembakaran hutan di Riau, Jambi atau Kalimantan. Sejak 2015 pemerintah bahkan terkesan menunda-nunda proses hukum tersebut.

Kecaman dari organisasi pegiat lingkungan dan aktivis kemanusiaan di tingkat global dan nasional seperti angin lalu saja. Badan Restorasi Gambut yang dibentuk untuk menanggulangi persoalan kabut asap ini, terancam dikebiri jika RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR.

Di hadapan itu semua, kita nyaris tak bisa melakukan apa-apa.

Ruok atau Pokok?

Saat dicekik kabut asap 2015 dan 2019 yang lalu itu, kita juga tak bisa apa-apa kecuali bercarut pungkang sambil berharap udara kembali bersih dengan cepat.

Saat itu wakil rakyat yang kita pilih sebagai penyalur aspirasi nyaris tak terdengar suaranya. Hampir tidak ada kita mendengar desakan serius terhadap pemerintah pusat untuk menghukum berat perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan, misalnya. Apakah karena mereka bisa dengan mudah membeli oksigen atau terbang keluar negeri mencari udara bersih? Entahlah.

Saat ini adakah upaya serius menangani persoalan kabut asap beracun itu agar dalam tahun-tahun ke depan kita tidak lagi terpaksa menghirup racun? Malahan sepertinya banyak yang setuju-setuju saja dengan RUU-Cipta Kerja yang jika disahkan berpotensi sekali memperparah kebakaran hutan.

Sungguh berbeda dengan heboh tempo hari antara Pemprov ditambah DPRD Sumbar dengan otoritas di Riau terkait bagi hasil PLTA Koto Alam. Saat itu banyak sekali yang bersemangat mengecam provinsi tetangga, bahkan harga diri masyarakat Sumbar sampai dibawa-bawa. Begitu juga dalam kasus Ade Armando serta Puan Maharani yang oleh sebagian orang Sumbar dirasa menyinggung keminangan.

Kalau soal harga diri dan identitas, sungguh banyak pihak yang bersuara. Lain sekali jika menyangkut isu-isu seperti pengrusakan lingkungan. Padahal keselamatan lingkungan bertalian erat dengan nyawa dan nasib generasi penerus. Apakah keminangan itu masih punya arti kalau generasinya cacat otak gara-gara menghisap asap beracun itu?

Seperti Pahat, Ditokok Baru Bergerak

Gambaran buruk yang diberikan para ahli lingkungan di atas bukan tidak mungkin menjadi kenyataan, jika kondisi seperti ini dibiarkan terus. Sejak kebakaran hebat pada 1997, sebagaimana wilayah lainnya, Sumbar secara berkala terus dituba asap beracun.

Tahun ini mungkin kita beruntung. Tapi sama sekali tidak ada jaminan kalau tuba itu tidak akan datang lagi di kemudian hari.

Dan saat ia datang mencekik kita semua, apakah kita harus kembali pasrah?

Seharusnya negara menjadi alat bagi kita untuk menjamin terpenuhinya hak-hak mendasar termasuk hak untuk mendapat udara yang bersih. Dengan memilih Wakil Rakyat, Presiden dan Kepala Daerah, alat itu seharusnya sudah bekerja untuk kita.

Namun kenyataannya tidak begitu. Alat itu harus kita ‘tokok’ pula supaya bergerak demi kepentingan kita, kalau tidak ia hanya akan diam: diam-diam bekerja demi kepentingan sedikit orang. (*/)

Baca Juga

TANAH ULAYAT TOL PADANG-PEKANBARU
Wacana Penghapusan Insentif Guru Dalam Model Fungsi Utilitas
BNPB: Korban ke-25 Banjir dan Longsor di Pesisir Selatan Ditemukan, 4 Orang Lagi dalam Pencarian
BNPB: Korban ke-25 Banjir dan Longsor di Pesisir Selatan Ditemukan, 4 Orang Lagi dalam Pencarian
Kunjungi Warga Terdampak Banjir Sumbar, Anies Serahkan Bantuan Paket Sembako
Kunjungi Warga Terdampak Banjir Sumbar, Anies Serahkan Bantuan Paket Sembako
Menteri Sosial Sambangi Lokasi Bencana di Pesisir Selatan
Menteri Sosial Sambangi Lokasi Bencana di Pesisir Selatan
Tingkatkan Kualitas Program Siaran Televisi di Sumbar, KPI Pusat Sambangi Unand
Tingkatkan Kualitas Program Siaran Televisi di Sumbar, KPI Pusat Sambangi Unand
Banjir dan Longsor di Sumbar, BNPB: 19 Orang Meninggal dan 7 Orang Hilang
Banjir dan Longsor di Sumbar, BNPB: 19 Orang Meninggal dan 7 Orang Hilang