Langgam.id - Abdullah Khusairi menjadi doktor ke-1.151 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Mantan jurnalis Padang Ekspres itu berhasil mempertahankan disertasi berjudul "Diskursus Islam Kontemporer di Media Cetak, Kajian Terhadap Radikalisme dalam Artikel Populer Surat Kabar Harian Kompas dan Republika (2013-2017).
Dengan begitu, lelaki kelahiran Sarolangun, Jambi 16 April 1977 silam, resmi menyandang gelar doktor setelah dinyatakan lulus dalam dalam sidang yang digelar Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, Senin (16/7/2019) kemarin.
Bang Dul, begitu sapaannya akrabnya, sehari-hari mengajar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN IB Padang. Ia meraih doktor lewat beasiswa Ministry of Religion Affair (MORA) Kemenag RI tahun 2016 yang meraih nilai cumlaude dalam waktu tiga tahun.
Sebelum menjadi dosen, karir Abdullah Khusairi berawal dari seorang reporter Harian Pagi Padang Ekspres. Setelah itu, ia terus berproses di perusahaan pers jaringan Jawa Pos Grup itu.
Di kancah media massa, Bang Dul pernah menjabat sebagai Redpel Edisi Minggu Padang Ekspres. Setelah itu, ia juga pernah menjadi Manajer Program dan Produksi Padang TV. Lalu, Pemimpin Redaksi Padang Today, Wakil Pemimpin Redaksi Posmetro Padang.
Saat masih jadi jurnalis, Khusairi juga sempat jadi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang. Semasa kuliah, ia juga aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus UIN IB Padang.
Dalam disertasinya, Abdullah perpandangan bahwa saat ini, setelah kehadiran media sosial (medsos), banjir informasi semakin besar dan akhirnya menjadi kekuatan sosial politik ekonomi.
Medsos telah menempati urutan pertama bagi publik dunia untuk mendapatkan informasi dan beropini. Contohnya, aksi 411 dan 212 yang diklaim menghadirkan jutaan orang di Jakarta merupakan dampak dari penggunaan medsos.
Ia mengutip dari Bill Kovack dan Tom Rosenstiel yang mengatakan bahwa perkembangan industri media informasi ditandai dengan lahirnya beragam medium informasi. Lantas, informasi menyebar begitu cepat. Namun, akurasi, validitas, dan kebenaran sering kali ditumpangi oleh kepentingan penyebar berita tersebut.
"Karenanya penting dilakukan cross check, verifikasi, yang dalam bahasa agama Islam disebut tabayyun," tulis Bang Dul dalam disertasinya.
Ia juga memaparkan alasan kenapa memilih dua media cetak Harian Kompas dan Harian Republika dalam disertasinya. Menurutnya, pilihan tersebut dilandasi hasil pemetaan dan pertimbangan dari corak pemberitaan
dan kepemilikan media. Keduanya juga media cetak meanstream yang terbit setiap hari.
"Kedua media memiliki latar belakang penerbitan berbeda. Harian Kompas diterbitkan oleh aktivis agama Katolik dan didukung beberapa jenderal militer. Sedangkan Harian Republika diterbitkan kalangan aktivis agama Islam," katanya.
Kedua media ini sangat kontras dalam bidang latar belakang ideologis. Kompas merupakan harian Cina-Jawa Katolik yang independen dan dikenal dengan jurnalisme akomodatif. Sedangkan Harian
Republika dapat dipandang sebagai media cetak berhaluan ideologi Islam.
Hasil disertasinya menyimpulkan bahwa Harian Kompas menerbitkan artikel
populer tentang radikalisme dengan perspektif moderatisme, humanisme, dan
harmoni, namun bermuatan puritanisme dan liberalisme.
Sedangkan Harian
Republika menerbitkan artikel populer tentang radikalisme dengan perspektif
puritanisme, namun bermuatan liberalisme dan moderatisme.
"Diskursus pemikiran Islam kontemporer, khususnya tentang radikalisme akan diterbitkan di Harian Kompas dan Harian Republika ketika ada peristiwa berdasarkan teori news value dalam ilmu jurnalistik," tulisnya.
Di dalam penelitian tersebut, ia menyarankan agar akademisi tidak hanya menulis di
jurnal-jurnal ilmiah yang akses pembacaannya terbatas pada ruang-ruang ilmiah dan tidak sampai ke ruang publik (public sphere).
Penulis-penulis artikel populer Islam Kontemporer, khususnya tentang radikalisme tidak sampai hitungan seratus penulis. Bila merujuk kepada kepentingan publik, hajat ilmu pengetahuan publik, keberlangsungan bangsa dan Negara dan pencerdasan umat, sangat dibutuhkan banyak penulis artikel populer yang cakap untuk memerjuangkan wacana dan kepentingan umat.
Ia juga menyarankan kepada Harian Kompas menyiapkan redaktur khusus Islam Kontemporer agar bisa mengorbit lebih banyak barisan penulis baru. Sehingga tidak hanya mengandalkan cendekiawan-cendekiawan ternama yang mapan dan sibuk.
Sedangkan untuk Harian Republika, ia menyarankan agar membangun karakter media yang moderat dan tidak berorientasi pada jalan dakwah yang formal dan mengerdilkan keluasan siar. (Rahmadi/RC)