Langgam.id - Bangunan masjid beratap anjungan tiga tingkat yang terletak di Jorong Sipisang, Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam merupakan salah satu masjid tertua di daerah setempat. Masjid yang kini bernama Nurul Hikmah Sipisang itu telah berdiri sejak 2 abad silam.
Penyuluh Agama Kecamatan Palupuh, Afriadil Hamsyah menuturkan Masjid Nurul Hikmah Sipisang berdiri pada tahun 1815. Masjid yang pada awal berdiri beratap ijuk itu rampung dibangun pada 1821.
“Masjid ini merupakan salah satu masjid tuo di Kecamatan Palupuh, masjid ini dibangun masyarakat Sipisang dengan cara swadaya,” ujarnya dikutip dari AMCNews, Kamis (11/3/2021).
Masjid Nurul Hikmah Sipisang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Selain beratap ijuk, bentuk atap dibuat bertingkat dengan tiga anjungan. Kini, atap masjid sudah diganti dengan berbahan seng.
“Atap masjid ini memiliki keunikan tersendiri, yakni atapnya yang bertingkat atau baanjungan,” katanya
Selain itu, masjid berukuran 12×11 meter itu memiliki satu tonggak tua atau tunggak macu yang terbuat dari kayu. Menurut keterangan Afriadil, kayu tonggak tuo itu berasal dari rimbo Kelok Madang Jambu, dengan panjang lebih kurang 15 meter.
Baca juga: Cerita Si Sabariah, Romeo dan Juliet dari Sungai Batang Agam
Lebih lanjut diceritakan, menurut keterangan tetua setempat, ada cerita tersendiri tentang tonggak tua yang digunakan. Selain harus diangkut dari jarak 1,5 KM, kayu tersebut juga diselimuti cerita spiritual.
“Saat kayu itu diambil, kayu tersebut berbunyi seperti suara kerbau dan masyarkat tidak dapat untuk menarik kayu tersebut walaupun sudah ditambah orang yang menariknya,” ucap Afriadil
Lalu, sambungnya, dipanggil Inyiak Syekh Jamal Ibrahim yang dikenal juga dengan Inyiak Linduang Surau Batu Kumpulan. Setelah beliau datang beliau memukul (malacuik) sebanyak 3 kali, baru kayu itu dapat ditarik oleh masyarkat ke lokasi pembangunan masjid.
Disaat tonggak itu akan dipasangkan (ditagakan), masyarakat juga tidak bisa mengangkat kayu tersebut. Lalu Inyiak Syekh Jamal Ibrahim dipanggil kembali untuk membantu mengangkat kayu tunggak tuo itu.
“Syekh Ibrahim menumpukan tumit ke kayu, setelah itu baru masyarakat bisa memasangkan tunggak tuo masjid tersebut,” ujarnya.
Selain sarat cerita spiritual, masyarakat setempat juga memperoleh pengalaman, bahwa dari dulu sampai tahun 80an kalau ada masyarakat yang berkata kata tidak pantas di dalam masjid, di malam harinya akan terdengar suara gemuruh dari dalam masjid.
Baca juga: Sejarah Masjid Sipisang dan Suluknya Jemaah Naqsyabandiyah di Agam
Ditambahkan Afriadil, pada tahun 1920 atap Masjid Nurul Hikmah Sipisang ditukar menggunakan seng oleh masyarakat setempat. Dikatakan, kondisi masjid saat ini masih baik dan tetap digunakan oleh masyarakat sebagai tempat ritual keagamaan.
“Selain itu di masjid ini juga dijadikan tempat pembinaan generasi muda, tempat bermusyawarah, tempat do’a syukuran setelah panen padi, sedangkan untuk shalat Jum’at, shalat lima waktu, shalat tarawih dan shalat hari raya dilakukan di masjid baru yang dibangun bersebelahan dengan masjid ini,” terangnya.
Masjid Sipisang juga menjadi salah satu masjid yang menjadi saksi pengembangan Tarekat Naqsyabandiyah di daerah itu. Secara gotong royong, di daerah Sipisang didirikan sebuah masjid yang penamaannya mengikuti nama tempat masjid didirikan. Hal itu sebagaimana lazimnya tipikal penamaan masjid atau surau di Minangkabau.
Eksistensi Masjid Sipisang tidak hanya untuk melakukan shalat lima waktu maupun tempat dilangsungkannya aktivitas sosial keagamaan lainnya. Masjid ini juga dijadikan tempat suluk bagi pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Terutama bagi mereka yang berdomisili di daerah tersebut.(*/Ela)