Langgam.id - Menyusuri aliran Batang Hari ke hulu dari Sungai Dareh, rombongan kabinet Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sampai di Abai Sangir pada 7 Januari 1949. Hari itu, tepat 72 tahun yang lalu dari hari ini, Kamis (7/1/2021).
Berbeda dengan gerilya sebelumnya dari Halaban ke Bangkinang dan selanjutnya ke Sungai Dareh, perjalanan kali ini punya tantangan berbeda. Sejumlah buku mencatat, salah satu rombongan PDRI diikuti seekor harimau Sumatra dalam perjalanan dari Sungai Dareh (kini wilayah Kabupaten Dharmasraya) ke Abai Sangir (kini wilayah Solok Selatan) tersebut.
Sejarawan Mestika Zed dalam Buku "Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia" (1997) menulis, perjalanan menempuh hutan belantara rombongan yang dipimpin Wakil Ketua PDRI Teuku Mohammad Hasan, terasa mencekam.
"Suasana ketakutan juga muncul dari kejadian-kejadian aneh, salah satu diantaranya, selama perjalanan, anggota rombongan PDRI selalu dikuti oleh harimau," tulis Mestika.
Ajip Rosidi dalam Biografi "Sjafruddin Prawirangegara: Lebih Takut kepada Allah SWT" (1986) menulis, selama perjalanan rombongan Mr. Teuku M. Hasan yang melalui jalur darat diikuti oleh seekor harimau dari jarak kira - kira 20 meter saja. "Harimau itu bertingkah ganjil: dia berjalan kalau rombongan berjalan, tetapi berhenti kalau rombongan berhenti," tulisnya.
Karena tak menggangu, tulis Ajip, sejumlah anggota rombongan menyimpulkan, harimau itu ingin mengawal dan menjaga keselamatan para pejuang kemerdekaan tersebut. "Di antara anggota rombongan ada yang menganggap bahwa harimau itu tidak lain adalah inyiak (datok) yang mengawal anggota rombongan demi keselamatan mereka dalam perjalanan. Kesimpulan demikian menimbulkan rasa tenteram di hati para anggota rombongan," kata Mestika.
Medan yang ditempuh oleh rombongan Hasan, menurutnya, juga berat. Para pejuang tersebut menghindari jalan kampung yang terbuka, karena khawatir kembali ditembaki "cocor merah" Belanda seperti dalam perjalanan sebelumnya.
Lebih dua pekan sebelumnya, Bukittinggi, Sumatra Barat dibom pesawat-pesawat Belanda dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Hal yang membuat para tokoh tersebut mendirikan PDRI dan mundur ke Halaban, Kabupaten Limapuluh Kota, pada 21 Desember.
Setelah membentuk kabinet pada 22 Desember, rombongan ini berangkat dari Halaban, pada 24 Desember 1948. Sejarawan Mestika Zed menulis, kabinet yang dipimpin Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara bergerilya hingga ke Bangkinang (kini masuk wilayah Riau).
Diburu pesawat-pesawat Belanda di Bangkinang, rombongan ini terus menuju ke selatan hingga Teluk Kuantan dan kembali masuk ke Sumbar lewat Kiliran Jao. Rombongan ini sampai di Sungai Dareh pada 1 Januari 1949.
Salah satu saksi mata, M. Thaib Angku Mudo, tokoh masyarakat Sungai Dareh yang sudah berumur 101 tahun saat diwawancarai sejumlah wartawan pada 7 Oktober 2019 mengatakan, selama di Sungai Dareh, Sjafruddin tinggal di Pesanggarahan dekat Pelayangan Ketiga di Pinggir Batang Hari.
Pada salah satu sore saat di sana, Sjafruddin sempat bertemu masyarakat dan berpidato. M. Thaib hadir saat itu. Ia datang bersama para pemuda Dharmasraya. Saat itu, ia merupakan pimpinan Barisan Fiisabilillah, salah satu laskar yang ikut berjuang bersama rakyat dan TNI.
Saat berpidato di pinggir Batang Hari, Sjafruddin menyampaikan, Pemerintahan PDRI bergerilya untuk melanjutkan perjuangan. Tak sama dengan hewan buruan yang sedang diburu."Kita bukan kijang yang diburu orang, bukan pula musang yang dicari orang," kata Sjafruddin, sebagaimana ditirukan M. Thaib.
Menurut Mestika, pada 3 Januari atau malam terakhir kabinet PDRI menggelar rapat di Sungai Dareh. Rapat tersebut menimbang tempat yang akan dituju dengan mempertimbangkan keamanan. "Akhirnya diputuskanlah untuk melanjutkan perjalanan ke Bidar Alam via Abai Sangir," tulis Mestika.
Pada 4 Januari, rombongan tersebut berangkat meninggalkan Sungai Dareh. Mestika menulis, saat berangkat menuju Abai Sangir, rombongan dibagi tiga. "Rombongan pertama , sekitar 20 orang , termasuk Ketua PDRI Sjafruddin , mendapat tenaga pengawal tambahan dari BPNK Sangir di bawah pimpinan Sersan Mayor Alwain Alamsyah," tulisnya.
Rombongan pertama ini, menuju Abai Sangir naik perahu menantang arus Batang Hari ke hulu. "Yang takut dengan risiko tenggelam atau hanyut, ikut rombongan kedua yang memutuskan lewat jalan darat."
Rombongan kedua dipimpin Wakil Ketua PDRI Teuku Mohammad Hasan. Ikut dalam rombongan ini, peralatan radio dan para teknisinya yang memang berisiko kalau harus lewat jalur sungai. Rombongan kedua inilah yang diceritakan sejumlah buku diikuti oleh harimau tersebut. Sementara Loekman Hakim bersama sejumlah pengawal melalui jalur memutar melalui Muaro Bungo, Jambi.
Baik rombongan Mr. Sjafruddin yang melalui jalur sungai maupun rombongan Mr. Hasan lewat jalan darat sampai di Abai Sangir pada 7 Januari 1949. Sementara, rombongan ketiga sampai sekitar dua pekan kemudian, saat kabinet PDRI sudah berbasis di Bidar Alam.
Dalam berbagai buku itu, tak ada pemaparan lebih rinci dan dalam perihal harimau tersebut. Kisah ini jadi salah satu misteri dalam pernak-pernik perjuangan PDRI. Namun, pada 2020, salah seorang tokoh silat di Sungai Dareh, Dharmasraya, membenarkan perkiraan para tokoh PDRI, bahwa harimau itu mengawal rombongan.
Edison Datuak Pucuak, salah satu guru Silek (Silat) Pangean Sungai Dareh dalam seminar "Dharmasraya di Lintasan PDRI" yang digelar Pemkab Dharmasraya pada Kamis (2/1/2020) menyebut, fenomena harimau yang mengawal rombongan pejuang, merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat setempat.
Menurutnya, jalur yang dilalui rombongan PDRI tersebut memang lintasan harimau Sumatra. Bila berniat baik, menurutnya, harimau tak akan mengganggu, malah akan membantu menunjukkan jalan bila tersesat. Ia percaya, rombongan PDRI kala itu, dibantu oleh para tetua silek Pangean.
Peneliti Sejarah Maiza Elvira mengkonfirmasi keterlibatan perguruan silat Pangean dalam perjuangan kemerdekaan di Sungai Dareh dan sekitarnya. Dalam tulisannya "Barisan Maut di Aliran Sungai Batanghari" di sumbarsatu.com yang memenangkan lomba menulis dalam "Festival Pamalayu" pada 2020, Elvira mengungkap, para pesilat pangean dalam laporan Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) disebut “Barisan Maut”.
Elvira menulis, intelijen Belanda melaporkan, adanya perlawanan alot dari kelompok pesilat kepada pasukan Belanda, ketika mereka mengejar Sjafrudin hingga ke Sungai Dareh. Kemampuan bela diri para pesilat tersebut dinilai "hampir tidak masuk akal".
Kearifan lokal tersebut diakui Edison Datuak Pucuak. Menurutnya, hingga kini, perguruan Silek Pangean masih "bersahabat" dengan harimau. Ia percaya, catatan sejarah yang menyebutkan tentang para pesilat dan harimau dalam perjuangan kemerdekaan itu, berhubungan dengan leluhurnya, para tetua silat Pangean. (HM)