Langgam.id - Lembaga Swadaya Masyarakat Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, mencatat adanya 80 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Sumatra Barat (Sumbar). Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah KDRT dan kekerasan seksual.
Terkait banyaknya laporan itu, Plt direktur Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti meminta agar DPR RI jangan lagi menunda dan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
"Ada harapan besar masyarakat kepada DPR RI untuk segera melakukan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini sudah mulai digagas sejak tahun 2014 atas dasar pentingnya payung hukum yang komprehensif tentang penghapusan kekerasan seksual," katanya, Jumat (27/11/2020).
Nurani Perempuan sebagai lembaga layanan sangat merasakan berbagai tantangan dalam melakukan penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual, sehingga sangat diharapkan kebijakan dapat menjadi solusi dalam pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2019 Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia sebesar 406.178 kasus jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2018, sebesar 348.466 kasus.
Sedangkan data yang dicatat oleh Nurani Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Sumbar pada tahun 2017 ada 132 kasus, tahun 2018 sebanyak 154 kasus, tahun 2019 sebanyak 105 kasus. Sementara tahun 2020 hingga November awal sebanyak 180 kasus yang dilaporkan. Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah KDRT dan kekerasan seksual.
"Berbagai tantangan masih ditemukan oleh Nurani Perempuan dalam melakukan penanganan dan pemulihan korban. Terutama ketika korban memerlukan penanganan medis dan psikologis, sedangkan korban tidak memiliki jaminan kesehatan," ujarnya.
Kondisi pandemi covid-19 menurutnya juga memberikan dampak bagi layanan pemulihan korban, karena ketika korban mengakses pemulihan menggunakan Jaminan Kesehatan atau BPJS maka pemulihan akan tertunda karena rumah aakit membatasi pengunjung. Jika pemulihan dilakukan secara mendiri maka biaya cukup mahal dan korban tidak mampu.
Pengalaman Nurani Perempuan di masa pandemi ini, salah satu korban dampingan Nurani Perempuan yang mengalami perkosaan dan tertular penyakit menular tertunda pemulihannya karena pandemi covid-19. Begitu juga dengan layanan psikologisnya.
"Kekerasan seksual sangat mengancam keberlangsungan hidup korban, ketika korban tidak mendapatkan penanganan dan pemulihan yang komprehensif maka korban sangat rentan mengalami tindakan kekerasan seksual kembali," ujarnya. (Rahmadi/ABW)