Langgam.id - Pembahasan Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditunda oleh pemerintah. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menampung masukan yang lebih banyak dari masyarakat.
Praktisi Hukum Miko Kamal meminta DPR membuka kepada publik siapa penulis naskah akademik RUU yang banyak ditolak itu. Dosen Universitas Bung Hatta (UBH) Padang tersebut menilai naskah akademik yang menjadi dasar RUU tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung manipulatif.
"Setelah membaca dengan seksama naskah akademik dan draft RUU HIP, kontroversial RUU yang diusulkan oleh DPR ini bersumber dari naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung memanipulasi fakta sejarah," katanya, dalam keterangan tertulis, Senin (22/6/2020).
Ia mengatakan, naskah akademik yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, merupakan perintah dari undang-undang. Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 mengatur itu.
Miko memberi catatan. "Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 diklaim tentang dasar negara diterima secara aklamasi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)."
Menurutnya, klaim itu tidak benar. "Sebagaimana catatan sejarah, pidato tanggal 1 Juni 1945 adalah usulan pribadi Soekarno, bukan ketetapan BUPK. Soekarno sendiri menyatakannya di dalam transkrip pidatonya."
Ia mengutip pidato itu. Kata Soekarno, "Saudara-saudara! 'Dasar Negara' telah saya usulkan lima bilangannya." Pada kalimat yang lain, Soekarno juga mengulangi lagi: "Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia merdeka yang abadi." Ada kata "usulkan" di sana.
Miko mengatakan, setelah Bung Karno dan tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya menyampaikan usulan, BPUPK mengeluarkan keputusan Tanggal 22 Juni 1945 yang melahirkan Piagam Jakarta. Seterusnya pada 18 Agustus 1945 Pancasila ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Yaitu Pancasila yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.
Bagian pidato Soekarno tentang Ketuhanan yang Berkebudayaan, menurut Miko, juga dipenggal secara serampangan. Kemudian dijadikan rujukan oleh penulis naskah akademik. Pada halaman 4 naskah akademik tertulis: "Prinsip Indonesia Merdeka, dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah keTuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain."
Menurut Miko, pidato Bung Karno, masih ada sambungannya yang jika disatukan, maknanya akan berbeda. "Soekarno pada ujung paragraf pidatonya menyampaikan, ‘Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa’."
"Perhatikan dengan seksama sambungan kalimat Soekarno itu. Soekarno menyebut dengan tegas bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah asas negara Indonesia merdeka," kata Miko.
Penulis naskah akademik RUU HIP, menurutnya, juga mengarahkan makna dari terminologi Ketuhanan yang Berkebudayaan. Menurut pembuat naskah akademik, bangsa Indonesia dalam beragama tidak boleh egois.
Untuk mendukung pemaknaan itu, menurutnya, penulis naskah akademik (halaman 23) juga mengutip pidato Soekarno. Selengkapnya berbunyi: "Pada prinsipnya segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoism agama."
Lagi-lagi, lanjut Miko, kutipan ini tidak utuh. Serupa dengan cara mengutip bagian pidato Soekarno ketika menjelaskan terminolog Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Ia kemudian mengutip sambungan pidato itu. Kata Soekarno di ujung paragraf pidatonya itu, "Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan".
Makna negara yang bertuhan yang disampaikan Soekarno terdapat pada kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip ketuhanan adalah: "Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya".
"Pidato Soekarno pada bagian ini sebenarnya sangat jelas. Beliau menginginkan negara merdeka yang akan didirikan adalah negara yang bangsanya beragama sesuai dengan kepercayaan masing-masing," kata Miko.
Menurutnya, di tangan penulis akademik, karena pidato Soekarno tidak dikutip secara utuh, diksi “tidak egoism agama” bisa bermakna lain. Misalnya, agama itu sama.
"Jika memang benar ini maksudnya, bagi sebagian besar umat beragama (terutama umat Islam) pikiran ini sangat tidak pantas. Semua agama yang diakui negara pasti tidak sama dalam pandangan para pemeluknya masing-masing. Bagi pemeluk Islam sudah jelas panduannya di dalam Surat Al-kafirun ayat 6: ‘untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku’," tulis Miko.
Menurutnya, berangkat dari naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, RUU HIP kemudian memuat materi yang bertentangan dengan Konstitusi.
Miko mengatakan, di dalam Konstitusi (bagian Preambule) tertulis jelas bahwa dasar negara yang disepakati oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah Pancasila. "Bukan Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 7 ayat 3 RUU," tuturnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bertepatan dengan hari disetujuinya konsep Pembukaan atau Mukaddimah UUD 1945 oleh BPUPK (22 Juni 1945, 75 tahun yang lalu), Miko mengimbau DPR sebagai inisiator RUU HIP untuk membuka kepada publik siapa saja yang menjadi penulis naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung manipulatif tersebut.
"Dengan dibukanya informasi penting ini, akan membantu kita membuka kotak pandora RUU kontrovesial. Jika pembahasannya diteruskan dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara," tulisnya. (*/SS)