Langgam.id - Syekh Ibrahim Musa lengkapnya bernama Syekh Ibrahim bin Musa bin Abdul Malik Parabek. Ia adalah salah satu ulama besar Minangkabau pada awal hingga pertengahan abad ke-20. Di Parabek, masjid dan madrasah warisan karya Syekh Ibrahim masih berdiri hingga kini.
Parabek adalah salah satu jorong di Nagari Ladang Laweh, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam. Letaknya sekitar dua kilometer dari Jalan Raya Padang-Bukittinggi, di sebelah kiri setelah Padang Lua menuju Kota Bukittinggi.
Wartawan Senior Fachrul Rasyid HF dalam profil Inyiak Parabek di Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) menulis, Ibrahim lahir pada 12 Syawal 1301 Hijriah. Saat dikonversi ke tahun masehi, tanggal ini bertepatan dengan 4 Agustus 1884 Masehi. Namun Buku "Ensiklopedi Minangkabau" (2005) yang diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau menulis, tanggal lahirnya 15 Agustus 1884.
Ibrahim adalah putra satu-satunya kedua orang tuanya. Ayahnya bernama Musa bin Abdul Malik dan ibunya Maryam. "Sejak dari kecil telah diajarkan kepadanya Alquranul Karim sampai berumur 13 tahun," tulis Fachrul.
Setelah itu, Ibrahim Musa berguru ke beberapa ulama. Mulai dari Syekh Mata Air di Pakandangan, Pariaman, ia belajar ilmu nahu dan ilmu sharaf selama setahun. Pelajaran dilanjutkan ke Tuanku Angin di Batipuh Baruah, Tanah Datar. Di sini Ibrahim muda belajar ilmu fiqih - matan minhaj selama setahun.
Pelajaran dilanjutkan ke Batu Taba, kemudian kepada Syekh Abbas Ladang Laweh juga selama setahun. Tafsir Alquran, ia pelajari pada Syekh Abdul Shamad di Biaro, Ampek Angkek. Berlanjut pada Syekh Jalaludin Al-Kasai di Sungai Landia, Banuhampu dan seterusnya kepada Syekh Abdul Hamid di Talago, Payakumbuh.
Menjelang usia 20 tahun, ia sudah menyelesaikan pelajaran kepada banyak guru. Namun, ia merasa masih belum cukup. Apa lagi saat itu suasana polemik perbedaan paham di tengah umat sedang hangat. Ditambah tekanan penjajahan Belanda yang makin berat.
Ibrahim Musa muda memutuskan untuk menambah ilmu ke Mekkah. Ia berangkat bersama kakaknya Abdul Malik pada Rajab 1320 Hijriah, atau sekitar tahun 1902.
Di Mekkah, Ibrahim Musa belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Muhammad Jamil Jambek (belajar ilmu falak), Syekh Ali Bin Husein, Syekh Muchtar Al-Jawy dan Syekh Yusuf Al-Hayat.
Situs resmi Thawalib Parabek (thawalib-parabek.sch.id) menyebut, Ibrahim Musa muda menuntut sekitar 9 tahun di Mekkah. Ia kemudian pulang ke kampung halaman pada tahun 1910. Sementara, beberapa literatur lain menyebut sekitar 6,5 tahun.
"Langkah pertama beliau, membuka pengajian-pengajian. Walau secara berhalaqah, beliau dapat menghimpun pengikut yang banyak. Murid-murid datang dari nagari-nagari lain di lingkungan Parabek," tulis Fachrul Rasyid.
Namun, ia masih perlu menambah ilmu. Sehingga memutuskan kembali berangkat ke Mekkah untuk menambah pengetahuan agama. Ia berangkat bersama isterinya Syarifah Gani dan putranya Thaher Ibrahim.
Saat Syekh Ibrahim sedang berada di Mekkah untuk periode kedua itu, Perang Dunia I meletus. Situasi yang berdampak ke Mekkah, tak memungkinkan ia melanjutkan pelajaran. Hanya dua tahun di Mekkah, Syekh Ibrahim Musa memutuskan kembali ke Tanah Air.
Syekh Ibrahim kemudian membuka pengajian halaqah yang diberi nama Muzakaratul Ikhwan pada 1916. Buku Ensiklopedi Minangkabau menyebut, meski menggunakan sistem halaqah, Syekh Ibrahim memberi kesempatan kepada murid-muridnya untuk berdiskusi membahas berbagai masalah. Setelah itu, baru ia bahas dengan menggunakan dalil Alquran dan hadits. Sistem diskusi ini sama dengan yang diterapkan dengan pelajaran di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang yang diasuh Syekh Abdul Karim Amrullah.
Pada 14 Agustus 1919, berdiri organisasi pelajar Muzakaratul Ikhwan menyusul organisasi Sumatera Thawalib yang berdiri di Surau Jembatan Besi. Organisasi di Parabek menjadi tempat para pelajar berdiskusi, belajar berpidato, berdebat dan berpikir mandiri. Organisasi ini kemudian juga mendirikan Majalah Al-Bayan.
Organisasi ini kemudian melebur jadi satu dengan perkumpulan di Surau Jembatan Besi dengan nama Sumatera Thawalib. Hal itu disepakati pada 15 Februari 1920, setelah pertemuan kedua surau dihadiri Syekh Ibrahim Musa, Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Djamil Djambek sebagai tuan rumah.
Sumatera Thawalib Parabek kemudian mengubah metode belajar ke sistem kelas pada 14 September 1921. Kelak, pada 1940 kurikulum juga dibenahi. Mata pelajaran umum seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Ilmu Ukur, Aljabar dan Ekonomi dimasukkan ke kurikulum menambah mata pelajaran agama.
Tahun 1924, Sumatera Thawalib Parabek sudah punya asrama dengan kapasitas 100 orang pelajar. Murid Parabek datang dari berbagai penjuru di Sumatra dan semenanjung Malaka.
Pada 1933, Syekh Ibrahim Musa membangun kembali Masjid Jami' Parabek yang roboh karena gempa Padang Panjang 1926. Masjid selesai pada 1935. Namun, pada 1937, Sumatera Thawalib Parabek dapat musibah. Asrama terbakar. Tapi pada 1938 berhasil kembali dibangun dengan konstruksi lebih baik.
Fachrul Rasyid menulis, prinsip yang ditanamkan Syekh Ibrahim kepada murid-muridnya, tidak boleh terpaku satu mazhab saja dan menutup mata pada yang lain. Prinsip yang ditanamkan itu, "Matangkanlah satu-satu, lalu ambil yang lain untuk jadi perbandingan. Jangan menutup diri pada satu mazhab saja."
Prinsip serupa diterapkan Syekh Ibrahim Musa dalam berdakwah. Ia tak pernah menyoal perbedaan mazhab yang sering jadi perdebatan ulama kaum tua dan kaum muda pada saat itu. Ini membuat Syekh Parabek bisa diterima oleh hampir semua ulama dari berbagai mazhab. Sikapnya ini dinilai, bisa sedikit meredam polemik yang terjadi antara ulama pembaharu dengan kalangan tradisi.
Syekh Ibrahim Musa berdakwah dengan bahasa yang lemah lembut. Ia menguasai segala cabang ilmu agama Islam, sejak dari ilmu Bahasa Arab (nahwu, sharaf dan balaghah), fatsir, hadits, fiqih dan ushul fiqih.
Karena banyak bekas muridnya terjun ke pergerakan politik, Sumatera Thawalib Parabek pernah dipantau intel Pemerintah Hindia Belanda. Namun, mereka tak menemukan bukti. Tak ada pelajaran politik di Parabek. Setelah itu, Belanda mencoba jalan lain dengan menawarkan subsidi. Tawaran yang ditolak dengan halus oleh Syekh Ibrahim. Syekh Ibrahim Musa terus mengembangkan madrasah dengan semangat kemandirian. Ia sendiri mendirikan toko buku-buku berbahasa Arab di Bukittinggi untuk menambah penghasilan.
Pada 10 Oktober 1940, Syekh Ibrahim mendirikan Kulliyatuddiayanah di Parabek sebagai kelanjutan Sumatera Thawalib. Lembaga ini kemudian menghasilkan guru dan ulama yang menyebar ke berbagai daerah di Sumatra, Kalimantan dan Malaysia.
Murid-muridnya yang belajar di Sumatera Thawalib sebelum itu, juga banyak yang menjadi ulama dan aktivis pergerakan. Di antaranya adalah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Haji Sirajudin Abbas, Mansur Daud Datuk Palimo Kayo dan Adam Malik yang kelak menjadi wakil presiden.
Syekh Ibrahim Musa Parabek aktif di berbagai organisasi. Ia ikut mendirikan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) bersama Dr. Abdullah Ahmad, Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek dan sejumlah ulama lainnya. Di zaman Jepang, pada 1942 ia mendorong berdirinya Majelis Islam Tinggi yang menghimpun persatuan ulama. Setahun setelah itu, ia membangun laskar rakyat Sumatra dan memimpin Hizbullah dan Sabilillah.
Bersama Ismail Lengah, Khatib Sulaiman dan Syekh Djamil Djambek, Syekh Parabek juga ikut mendirikan Gyugun, relawan yang dilatih militer oleh Jepang. Kelak, dalam perang kemerdekaan pasca-1945, mantan Gyugun yang menjadi angkatan perang serta laskar-laskar menjadi tulang punggung perjuangan rakyat di Sumatra Barat.
Inyiak Parabek pada 1946 juga ikut menjadi anggota badan pengurus bakti emas, untuk membeli senjata ke luar negeri bersama Bung Hatta dan Tuangku Syafii.
Di masa damai, Sumatera Thawalib Parabek terus berkembang. Inyiak Parabek sendiri sempat menjadi anggota Badan Konstituante Republik Indonesia tahun 1956 dari Partai Masyumi. Ia duduk di badan yang bertugas menyiapkan konstitusi baru itu bersama sejumlah ulama dan tokoh dari daerah pemilihan Sumatera Tengah, termasuk Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang mewakili Partai Perti.
Syekh Ibrahim Musa Parabek wafat pada Kamis, 25 Juli 1963 malam. Ulama besar ini dimakamkan keesokan harinya di komplek Masjid Parabek diantar ribuan murid-muridnya dan masyarakat. Sumatera Thawalib Parabek yang ia dirikan masih terus aktif hingga kini mendidik generasi hari ini. (HM)