Langgam.id - Syekh Daud Rasyidi, salah satu ulama besar yang berperan memajukan pendidikan dan dakwah Islam di Ranah Minang pada awal abad ke-20. Berbasis di Surau Balingka, Syekh Daud Rasyidi menembus batas pergaulan ulama lintas mazhab, berupaya mempersatukan para ulama.
Daud Rasyidi lahir pada 1297 Hijriah atau bertepatan dengan 1880 Masehi di Balingka, IV Koto, Agam. "Ayahnya adalah Rasyidi, seorang ulama serta pemuka adat. Ibunya bernama Nanti, seorang wanita alim dan taat beribadah," tulis Herman L, penulis profil Syekh Daud Rasyidi, dalam Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981).
Di usia dini, Daud Rasyidi sudah belajar mengaji pada kedua orang tua. Setamat Alquran, dengan kakaknya Abdul Latif, Daud yang masih berusia 7 tahun belajar ke Solok Selatan pada Syekh Musthafa Sungai Pagu. Mereka belajar ilmu nahu, sharaf, fiqih dan membaca kitab. Di samping itu, Daud kecil juga belajar keterampilan menjahit.
Pada usia 15 tahun, Daud Rasyidi diajak kakaknya Abdul Latif naik haji ke Mekkah disamping memperdalam pengetahuan agama dan tilawatil Qu'ran. Sekembali dari Mekkah, Haji Daud Rasyidi masih terus mencari ilmu.
Ia kemudian belajar pada Syekh Muhammad Thaib Singkarak yang berdomisili di Belakang Tangsi, Padang. Malam ia belajar, siang hari Haji Daud mencari nafkah dengan menjahit. Dua tahun kemudian, ia lanjutkan belajar pada H. Zaibidi di Pasa Gadang.
Di Pasa Gadang pula, ia mulai mengajar mengaji kepada anak-anak beserta nahwu, sharaf dan fiqih. Selanjutnya, ia pindah mengajar ke Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Ia menggantikan kakaknya Haji Abdul Latif yang sakit-sakit, untuk mengajar di surau Haji Abdullah Ahmad itu.
Pada 1906, mendengar Syekh Abdul Karim Amrullah baru pulang dari Mekkah, ia datang ke Sungai Batang, Maninjau. Ia pun belajar pada ulama yang juga dipanggil Haji Rasul itu, meski usia hampir sepantaran. Keduanya memang kemudian menjadi sahabat dan berhubungan sangat dekat.
"Menurut keterangan Syekh Daud Rasyidi sendiri, beliau adalah murid ayahku juga. Baik seketika sama-sama belajar kepada Syekh Ahmad Khatib di Mekkah, ataupun setelah pulang ke Minangkabau," tulis Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam "Ayahku" (1982).
Namun, kemudian keduanya menjadi sahabat yang dekat. Umur keduanya memang hampir sama. Syekh Daud Rasyidi, menurut Haji Rasul adalah pribadi yang ikhlas, jujur dan miskin. "Pantangnya menadahkan tangan meminta pertolongan kepada orang lain untuk dirinya. Persamaan nasib kami menyebabkan sangat eratnya hubungan kami," katanya, seperti dikutip HAMKA.
Setelah sempat dua tahun belajar pada Haji Rasul, sambil tetap mengajar di Surau Jembatan Besi, Haji Daud Rasyidi kembali berangkat ke Mekkah atas bantuan kakaknya Haji Abdul Latif.
Di Mekkah, ia kemudian belajar pada Syekh Ahma Khatib Al-Minangkabawi. Memperdalam ilmu tasawuf, fiqih, tauhid, Bahasa Arab dan berbagai ilmu lainnya. Di tanah suci ia mendengar kabar kakaknya Haji Abdul Latif meninggal dunia sehingga digantikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah.
Setelah empat tahun di tanah suci, ia pulang kampung halaman. Ia disambut oleh masyarakat Balingka dan dibuatkan surau. Seterusnya, diminta mengajar di surau tersebut mulai 1913. Tak berapa lama, makin banyak orang datang berguru kepadanya, termasuk muridnya yang dulu sempat berguru di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Syekh Daud Rasyidi sangat disenangi dan dihargai masyarakat. "Sebab, Inyiak Daud terlebih dahulu memperlihatkan sifat yang patut ditiru-teladani. Dia memakai ilmu padi, 'makin berisi makin tunduk'. Dia tahu adat di kampung. Dia menghormati masyarakat terlebih dahulu, sebelum dia menerima penghormatan," tulis Herman L.
Tiga tahun kemudian, pada 1916, ia mendapat musibah. Suraunya hanyut dihantam banjir bandang yang terjadi di Balingka. Setelah musibah itu, ia melepas muridnya untuk belajar pada Syekh Ibrahim Musa Parabek yang baru pulang dari Mekkah. Ia sendiri ikut dalam perjalanan bersama Syekh Abdul Karim Amrullah ke Semenanjung Malaka. Sementara, masyarakat kembali membangunkan surau untuk beliau.
"Hatinya sangat tabah. Tidak sedikit juga berubah mukanya seketika ditimpa cobaan," tulis HAMKA.
Ketabahan serupa ia tunjukkan saat tiga orang dekatnya ditangkap Pemerintah Hindia Belanda. Anaknya Mansur Daud (MD Datuk Palimo Kayo yang kelak menjadi Ketua MUI Sumbar), menantunya H. Jalaludin dan anak kakaknya Mukhtar Luthfi ditangkap karena aktif dana organisasi politik Permi.
Buku "Ensiklopedi Minangkabau" (2005) yang disusun Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau menulis, dalam berdakwah, Syekh Daud Rasyidi berupaya menghilangkan khilafiyah dan perbedaan pendapat yang terjadi di tengah masyarakat. Meski ia mengamalkan mazhab Syafii, tapi ia tak pernah menyalahkan mazhab yang lain.
Sikapnya yang toleran, membuat Syekh Daud Rasyidi bisa bersahabat dengan semua ulama yang saat itu sering berpolemik dengan keras. "Ia menentang perbedaan paham antara ulama kaum muda dan kaum tua," tulis Herman L.
Selain di surau, ia juga rajin berdakwah berkeliling Ranah Minang. "Tak berhenti-henti beliau menjalani seluruh Sumatera Barat, menyuruh memperbaiki tempat beribadat. Dan pantangnya pula meminta.. Kadang-kadang saku-sakunya tidak berisi. Tidak ada penyewa mobil. Beliau tidak keberatan berjalan kaki," tulis HAMKA.
Pada 1941, Syekh Daud Rasyidi menjadi salah satu penggagas pertemuan ulama dan pemimpin Islam di Padang yang menentang Ordonansi Sekolah Liar yang akan diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Di zaman Jepang, Syekh Daud Rasyidi menjadi yang salah seorang yang paling kuat mendorong persatuan para ulama. Sehingga terbentuklah Majelis Islam Tinggi (MIT).
Syekh Daud Rasyidi berpulang setelah merdeka, saat masih dalam susana perang kemerdekaan. "Tanggal 27 Januari 1948, yakni 27 hari setelah Syekh Djamil Djambek meninggal dunia. Syekh Daud kembali dari Batusangkar memberikan pelajaran dan semangat agama. Beliau singgah di Bukittinggi hendak memberikan penerangan pula di surau Syekh Djambek," cerita HAMKA.
Sebelum itu, Syekh Daud mengimami Salat Magrib. Di rakaat kedua, setelah duduk tasyahud pertama, ia tak sanggup berdiri, tertelungkup dan di situ beliau meninggal dunia. Syekh Daud Rasyidi kemudian dimakamkan di sebelah makam sahabatnya Syekh Muhammad Djamil Djambek, di komplek surau tersebut.
Pergaulannya yang luas dan niatnya yang kuat untuk mempersatukan, masih terus ia wariskan hingga kini. Salah satu putranya, Buya Mansur Daud Datuk Palimo Kayo meneruskan perjuangannya sebagai ulama. (HM)