Langgam.id - Di lereng Gunung Marapi, desa tua itu tak hanya sekedar memanjakan mata dengan keelokkan alamnya, namun di desa terindah versi Budget Travel tersebut, sebuah masjid tua bernama Masjid Tuo Ishlah masih berdiri kokoh hingga saat ini, bahkan di masjid itu air hangat yang bisa digunakan untuk berwudu selalu mengalir.
Masjid dengan ukuran 16x24 meter itu dikelilingi Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau), meskipun tak sebanyak di Nagari Seribu Rumah Gadang, rumah adat di sana juga masih termasuk asli, belum ada perombakan yang mengubah bentuk dasarnya.
Catatan Abdul Baqir Zein dalam bukunya berjudul Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia menyebutkan, Masjid Tuo Ishlah didirikan oleh salah seorang ulama yang berperan besar dalam pengembangan ajaran agama Islam di Minangkabau, yaitu Syekh Burhanuddin.
Masjid tua itu didirikan atas persetujuan Tuangku Nan Barampek, yaitu Tuangku Labai, Tuangku Katik Basa, Tuangku Aji Manan dan Tuangku Kali Bandar. Dibangun oleh sejumlah tukang/pekerja dibawah pimpinan Datuak Garang.
Arsitektur Masjid Tuo Ishlah tergolong unik, dengan mengadopsi gaya arsitektur Dongson di dataran tinggi Tibet. Hal itu dapat dilihat dari bentuk atap serta setiap sisi bangunan masjid itu memiliki banyak jendela.
Di sisi kiri, terdapat 6 jendela, begitupun di sisi kanannya. Atapnya memiliki bentuk bertingkat-tingat (berundak-undak) sama dengan masjid tua lainnya di Minangkabu, dengan ukuran berbeda. Untuk atap terbesar ini ada empat tingkat, atap menengah sebanyak tiga tingkat dan atap kecil dua tingkat.
Masjid itu disangga oleh empat tiang (tonggak) utama yang terbuat dari Kayu Andaleh, dengan melambangkan Tuanku Nan Barampek. Kemudian, juga terdapat empat tiang penyangga berukuran lebih kecil. Jadi, total keseluruhan tiang penyangga sebanyak delapan buah.
Empat tiang penyangga yang berukuran lebih kecil yaitu untuk melambangkan Urang Nan Ampek Jinih, yaitu Penghulu (pemimpin kaum atau suku), Manti (Ahli Adat), Malin (Ahli Agama) dan Dubalang (Urang Bagak) atau yang berperan sebagai penjaga nagari di Minangkabau.
Dari segi fisik, Masjid Ishlah tekah mengalami dua kali perbaikan (renovasi), pertama tahun 1920 dan terakhir tahun 1994, sehingga masjid yang semula beratap ijuk sudah diganti dengan seng.
Biaya renovasi masjid itu merupakan swadaya dari masyarakat dan perantau, dengan dana sebesar Rp108 juta.
Masjid yang berada di Desa Terindah Pariangan itu letaknya cukup strategis dan mudah ditemukan, jaraknya sekira 50 meter dari jalan utama Padang Panjang-Batusangkar.
Tidak hanya itu, Masjid Tuo di Luhak Nan Tuo itu juga memiliki keunikan tersendiri dari masjid-masjid tua lainnya di Minangkabau, yaitu dialiri air hangat yang dapat digunakan untuk berwudu ataupun mandi, dan sangat sayang untuk dilewatkan jika kita berkujung ke lokasi tersebut.
Aliran air hangat yang ada di masjid itu terdiri dari empat pincuran (aliran air) yang diberi nama Rangek Barang, Rangek Tujuah Pincuran, Rangek Gaduang, dan Rangek Songo.
Cerita dari salah seorang warga setempat, Amrin Narin (55) yang sempat saya wawancara 2016 lalu, dari empat aliran atau lebih dikenal dengan nama pemandian oleh masyarat sekitar, terdiri dari 3 pemandian umum untuk laki-laki dan 1 pemandian umum untuk perempuan.
“Pemandian Rangek Barang itu khusus untuk kaum perempuan, letaknya di seberang jembatan Masjid Tuo Ishlah. Dan pemandian Rangek Tujuah Pincuran difungsikan sebagai tempat ambil wudu yang terdiri dari tujuh Picuran (Tempat keluar air/Pancuran-red) air panas dan air dingin,” ujar Amrin.
Lalu, untuk Rangek Sango dan Rangek Gaduang khusus digunakan untuk pemandian kaum laki-laki. “Tempat pemandian itu di Minangkabau merupakan indentitas sosial dalam bermasayarakat, dan ini kita gunakan untuk umum,” jelasnya.
Dari empat pincuran/aliran air hangat itu, Rangek Sango yang memilki air yang lebih panas dari yang lainnya.
Selain air hangat, di sana juga terdapat pincuran/aliran air dingin. “Kalau kita ibaratkan, sudah seperti hotel di pemandian ini, ada air hangat dan dinginnya,” kata Amrin.
Lalu, di sekitar lokasi masjid juga terdapat beberapa surau yang dijadikan sebagai tempat-tempat pengajian, selain dipusatkan di Masjid Tuo Ishlah. Surau-surau itu merupakan milik kaum (suku) yang bermukim di daerah tersebut. Masing-masing suku biasanya minimal memiliki satu surau. (ZE)