Langgam.id - Jumlah tiang atau tukang/pekerja yang turut serta membangun masjid masih menjadi tanda tanya yang dikaitkan dengan penamaan rumah ibadah tua yang berada di Kenagarian Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu, Kabupaten Solok Selatan, yaitu Masjid 60 Kurang Aso.
6o Kurang Aso berarti 60 kurang satu, kata Aso berasal dari kata esa yang berarti satu. Jadi, yang dimaksud 60 Kurang Aso adalah 60 kurang 1, dalam jumlah bilangan yaitu 59.
Berdasarkan catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, mencatat bahwa penamaan masjid itu diambil dari jumlah tukang yang membangun masjid yang telah berumur lebih kurang 300 tahun tersebut.
Jadi, awal mula masjid itu dinamai Masjid 60 Kurang Aso karena pekerja yang membangun rumah ibadah itu berjumlah 60 orang, kemudian, salah satu dari mereka meninggal dunia. Maka, penamaan masjid itu merujuk terhadap hal itu.
Namun, juga disebutkan, bahwa nama Masjid 60 Kurang Aso diambil dari jumlah tiang yang menyangga masjid itu. Jika dihitung, secara keseluruhan tiang itu berjumlah 59 buah, yang diyakini sebagai perwujudan dari jumlah Penghulu Induk orang Sungai Pagu. Mereka inilah yang berperan aktif secara gotong royong membangun masjid tersebut, begitu catatan yang kita dapatkan.
Tidak hanya itu, awal berdiri Masjid 60 Kurang Aso juga masih belum menemukan titik pasti. Hingga saat ini, hanya masih dalam tahap perkiraan, yaitu lebih kurang 300 tahun.
Informasi yang ada dalam catatan BPCB Sumbar, yang didasari terhadap informasi dari masyarakat setempat atas nama Nuraini dengan umur lebih kurang 76 tahun, berasal dari Suku Jambak Koto Anyia, masjid itu telah ada sebelum tahun 1733 Masehi, karena rumah gadang beliau (kaum Inyiak Talanai) dibuat pada tahun 1733 Masehi.
Sedangkan masjid tersebut pada waktu itu telah ada menurut tutur Nenek beliau. Begitu juga kalau kita lihat keberadaan makam Syekh Maulana Sofi, seorang ulama besar di Sungai Pagu yang hidup antara tahun 1730 sampai tahun 1818 Masehi, posisi makam beliau terletak di Miqrob masjid, berarti masjid ini telah ada sebelum keberadaan beliau.
Seperti penamaan masjid itu, tahun berdirinya juga masih dalam tahap penelitian hingga saat ini, semoga data pastinya segera didapatkan.
Kemudian, terkait bentuk bangunan masjid, bangunan masjid itu konstruksi kayu dengan ukuran panjang 17 meter, lebar 17 meter dan tinggi 17 meter.
Kemudian, atap berbentuk limas bersusun tiga, mirip dengan atap bangunan Klenteng Cina, bahan atap pada awalnya terbuat dari ijuk dan telah beberapa kali diganti dengan seng.
Lalu, tonggak/tiang kayu berjumlah 59 buah, pada bagian tengah terdapat tonggak paling besar ukurannya disebut tonggak Machu (Mercu).
Dikabarkan, Tonggak Machu berasal dari sebatang pohon Juagh (Johar) yang ditebang di puncak bukit seberang Batang Suliti dan ditarik ke lokasi secara gotong royong berikut dahan dan daunnya.
Sementara, pintu masuk ke masjid bagian depan berjumlah dua buah dengan posisi berdampingan, cuma tidak terletak di tengah-tengah bangunan, tetapi bergeser ke kiri. Ukuran masjid itu 17 x 17 meter, yaitu melambangkan jumlah rakaat sholat wajib dalam sehari-semalam.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid 60 Kurang Aso juga dipergunakan sebagai tempat upacara adat, seperti upacara makan-makan Turun ka Sawah Mambantai Kabau Nan Gadang.
Masjid ini adalah perwujudan Adat Basandi Syarak-Syarak, Basandi Kitabullah. Bangunan masjid itu sarat dengan makna, pada setiap bagian bangunan tersirat lambang-lambang (falsafah) yang mengandung arti dan masih butuh penafsiran hingga saat ini.
Masjid 60 Kurang Aso juga termasuk salah satu benda cagar budaya yang mempunyai nilai kepurbakalaan yang cukup tinggi, baik bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Keberadaannya merupakan landmark bagi 'Nagari Saribu Rumah Gadang'. (*/ZE)