Langgam.id - Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz menandatangani keputusan penting untuk wilayah Padang pada 1 Maret 1906 itu. Goresan tanda tangan tokoh Belanda yang pernah malang-melintang dalam Perang Aceh itu, menjadi titik tolak bagi wilayah di muara sungai Batang Arau tersebut.
Peristiwa itu terjadi tepat 116 tahun yang lalu dari hari saat tulisan ini ditulis pada Jumat (1/3/2019).
Sebelum itu, Padang tak disebut kota. Ordonansi yang kemudian diundangkan dalam lembaran negara pemerintahan kolonial dengan tajuk Staatsblad nomor 151 tersebut menjadikan Padang secara administratif resmi menjadi Kota.
Mardanas Safwan, Ishaq Taher, Gusti Asnan dan Syafrizal dalam Buku 'Sejarah Kota Padang' (1987) menulis, Padang kemudian dikenal sebagai Gemeente Padang. Gemeente dalam struktur pemerintahan Kerajaan Belanda adalah kota. Struktur itu yang kemudian diadopsi untuk wilayah koloni.
Menurut Mardanas dan tim, meski diterbitkan sejak 1 Maret, keputusan tersebut baru dijalankan pada 1 April 1906. Namun, agaknya guna efisiensi, jabatan Burgesmeester alias wali kota di tahun-tahun awal Padang menjadi kota dirangkap oleh Asisten Residen yang membawahi wilayah pesisir Sumatra Barat.
Gusti Asnan dalam Buku 'Memikirkan Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an' (2007) menulis, Padang saat itu, sudah berada dalam wilayah Gouvernement Sumatra's Westkust. Level wilayah pemerintahan kolonial tingkat provinsi ini lebih luas dari Provinsi Sumatra Barat saat ini.
Hal itu, karena wilayahnya juga meliputi Tapanuli dan Singkil. Baru pada 1905, dua wilayah tersebut lepas. Tapanuli berdiri sebagai sebuah keresidenan sendiri. Sementara, Singkil digabungkan ke Aceh.
Selain Keresidenan Tapanuli, mengutip Kielstra, guru besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas itu menyebut, Gouvernement Sumatra's Westkust terdiri atas Keresidenan Padangsche Benendenlanden yang membawahi pesisir Sumatra Barat saat ini, termasuk Padang. Juga, Keresidenan Padangsche Bovenlanden, yang membawahi wilayah Minangkabau di pedalaman.
Berdasarkan pasal 7 ordonansi yang mengesahkan Padang sebagai kota tersebut, juga didirikan lembaga perwakilan yang disebut Gemeente Raad van Padang. Anggotanya terdiri atas 19 orang. Namun, masih didominasi orang Eropa sebanyak 13 orang. Selain itu, ditambah empat orang Indonesia dan dua orang timur asing.
Meresmikan Padang jadi sebuah kota, disebutkan merupakan wujud desentralisasi. Hal ini upaya modernisasi pemerintahan ala Hindia Belanda pada zaman itu. Wali Kota Padang dalam aturan tersebut, bertanggung jawab kepada dewan ini.
Penerapan desentralisasi ini tak lepas dari diberlakukannya UU Desentralisasi Hindia Belanda pada 1903. Beleid ini disebut De Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie. UU yang baru disetujui di Belanda setelah tarik ulur pembahasan tak kurang dari 50 tahun.
Setelah 22 tahun jabatan wali kota dirangkap oleh asisten residen, baru pada 1928, Padang punya wali kota sendiri. Tentu saja wali kota orang Belanda. W.M Ouwerkerk menjadi burgemeester Padang sampai 1940. Ia digantikan D. Kaptyen mulai 1940 hingga Jepang masuk dan mengusir Belanda dari Padang pada 1942. Sehingga, hanya dua orang Belanda itu yang pernah menjadi wali
kota di Padang.
Dalam Jurnal Suluah (2013) yang diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, Gusti menulis, meski secara politik, tahun 1906 Padang mendapat status sebagai gemeente, namun secara ekonomi, pada kurun waktu yang sama Padang mulai mengalami kemunduran. Kejayaan kopi, sebagai urat nadi utama kejayaan Padang dapat dikatakan mulai berakhir. Aktivitas niaga di Kota Padang juga mengalami kemunduran.
"Penurunan ini semakin terasa pada dekade kedua, seterusnya pada dasawara ketiga dan tahun-tahun 1930-an. Kapal-kapal antarSamudera yang hingga akhir abad ke-19 masih menyinggahi Padang mulai mengalihkan pelayaran mereka ke kawasan Selat Malaka," tulisnya.
Mengutip Colombijn (1994), Gusti menulis, berbagai handelhuizen dan perusahaan yang sebelumnya beroperasi di Padang mulai pindah atau menutup usahanya. Beberapa konsulat perdagangan negara asing juga tutup dan memindahkan kegiatannya terutama ke Kota Medan.
Meski demikian, sebagai kota yang masih berperan sebagai pusat kegiatan politik pada tingkat keresidenan dan pusat kegiatan ekonomi, sosial dan budaya untuk wilayah Sumatra’s Westkust, sebetulnya Padang masih merupakan kota terpenting di bagian barat Sumatra.
"Karena itu perkembangan dan pembangunan kota masih tetap berlangsung sejak tahun-tahun permulaan abad ke-20," tulis Gusti.
Terlepas dari tonggak sejarah penting pada 1 Maret ini bagi Padang di masa lalu, masyarakat Kota Padang setelah merdeka tak menjadikan tanggal ini sebagai patokan hari ulang tahun ibu kota Sumatra Barat ini.
Pada 31 Juli 1986, DPRD Tingkat II Kotamadya Padang dengan suara bulat menetapkan 7 Agustus 1669 sebagai hari jadi kota yang pernah menjadi rebutan Belanda, Inggris dan Prancis tersebut.
Semangat heroisme menegakkan keadilan dan menolak kesewenang-wenangan pada 7 Agustus 1669, saat masyarakat Pauh, Koto Tangah dan Muaro menyerang dan mengepung loji milik VOC, dipatrikan sebagai semangat yang mesti jadi teladan hingga kini. (HM)